Tagas-tagas, Tambelo dan Tarian Hujan

Marintha Eky Wulansari 1 Januari 2012

Aku akui aku memang tukang makan, sedikit-sedikit akan merasa lapar apalagi kalau aktivitas padat. Sampai salah satu teman guru, menyebutku “Noken Wamena”. Noken Wamena itu adalah tas tradisional orang Papua yang terbuat dari rajutan benang atau kulit kayu. Noken biasanya berukuran kecil saat tidak terisi barang, tapi dapat memuat barang apapun dan melar....sesuai dengan banyaknya barang yang kita isikan ke dalamnya. Nah dia menyebutku Noken Wamena karena walaupun kelihatannya tubuhku kecil apalagi jika dibandingkan dengan penduduk lokal, tapi makanku banyak, he..

Sayangnya aku suka pilih-pilih makanan, apalagi kalau sayur-sayuran yang memiliki rasa pahit, seperti pare, bunga pepaya, daun beluntas, dan daun singkong. Iuh........kalau dulu ketika di rumah Ibuku sedang memasak masakan seperti itu maka, aku akan lebih memilih untuk masak mi instan atau makan di luar (maaf ya..Bu..). Eh ternyata aku merasakan akibat perbuatanku dulu saat di daerah penempatan ini, kalau saja waktu itu aku menuruti nasehat orangtuaku untuk tidak pilih pilih makanan, pasti akan lebih mudah bagiku untuk menyesuaikan diri disini.

Ya...di daerah penempatanku, di Distrik Kokas, di Kabupaten Fak-Fak, Papua Barat sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai petani sayur. Masyarakat disini memiliki menu favorit yang hampir setiap hari akan tersedia di meja makan. Menu favorit itu namanya tagas-tagas. Tagas-tagas itu adalah sayuran hijau gabungan dari daun patatas, daun kasbi, dan bunga pepaya. Hiya....pertama kali dipersilahkan makan dengan menu tersebut aku merasa seperti sedang mengikuti acara Fear Factor, yang sampai pada adegan ketika pesertanya dipaksa untuk makan makanan yang aneh-aneh, seperti usus sapi mentah, atau telur yang berusia ratusan tahun. Tapi akhirnya aku lolos dan berhasil menyelesaikan makanku sampai suapan terakhir, meskipun dengan mata yang terpejam-pejam menahan rasanya yang ditolak lidahku. Eh ternyata keesokan harinya menu yang samalah yang disajikan, keesokan harinya lagi-lagi si Tagas-tagas ini seakan-akan setia menungguku di atas meja makan. Namun setelah melewati masa perkenalan dengan si Tagas-tagas, sekarang dia berhasil mendapat tempat tersendiri di hatiku sebagai salah satu menu favoritku, yaitu nasi putih, tagas-tagas, dan sambal pala. Kalau menu ini yang tersedia maka aku bisa nambah makan sampai dua piring (dasar rakus ya...).

Nah selain tagas-tagas ada satu menu makanan lagi yang membuatku merinding saat pertama kali mencobanya, menu satu ini namanya Tambelo. Ceritanya begini, selepas aku memberikan les sore untuk anak-anak muridku segera aku menuju dapur untuk sekedar melihat mamaku sedang melakukan apa siapa tahu ada yang bisa aku bantu. Ternyata kala itu yang sedang memasak bukan mama melainkan bapak. Bapak sedang memasukkan sesuatu ke dalam kuali. Bentuknya panjang seperti cacing namun berwarna putih susu dan ada yang bewarna bening. Aku bergidik, urung aku membantu Bapak memasak. Aku malah memilih kabur. Tapi Bapak melihat gelagatku, dan segera memintaku untuk menghampirinya.Beliau menjelaskan binatang yang sedang dimasaknya itu namanya Tambelo. Tambelo adalah binatang sejenis cacing yang hidup di dalam batang manggi-manggi (pohon bakau) yang membusuk. Rasanya gurih sekali, masyarakat mempercayai bahwa Tambelo memiliki khasiat untuk meningkatkan stamina tubuh. Bahkan warga juga sering memakan Tambelo ini mentah-mentah, setelah dikeluarkan lumpur di dalam tubuhnya maka dicampurkan jeruk, cabai, dan garam langsung siap disantap. Persis seperti yang sedang didemonstrasikan Bapak di tengah-tengah penjelasannya tentang apa itu Tambelo. Kontan saja, aku yang tak menduga Bapak akan menyantap Tambelo itu mentah-mentah di depanku, aku langsung menjerit karena kaget dan jijik. Eh...Bapak malah tersenyum-senyum melihat reaksiku.

Setelah Tambelo itu selesai dimasak dan menjelma menjadi masakan yang siap menerbitkan selera (untuk orang-orang yang suka tentunya, maaf saya tidak termasuk...). Tambelo ini segera disajikan di atas meja makan, dan tahukah adegan berikutnya apa? Bapak dengan penuh kebanggaan mengatakan, “Yang pertama makan makanan ini harus Kak Eky, ayo Eky coba makan. Eky toh...kegiatannya padat, makan ini badan bisa rasa segar, ayo Aun kuai.”(aun kuai itu artinya silahkan makan menggunakan bahasa Iha). Yeah....Bapak ini niat sekali ngerjain aku, padahal hari ini aku sudah berniat menahan lapar sampai besok pagi daripada harus mencoba cacing bakau itu. Tapi karena melihat senyum tulus Bapak, dengan terpaksa akupun mengambil nasi dan menyiramkan tambelo di atasnya. Dengan tersenyum kecut aku segera menyuapkannya ke dalam mulutku. Kurasakan sensasinya di dalam mulutku, dan ternyata he..3x enak kok. Rasanya lembut dan gurih, asal kau tidak mengingat-ingat bentuknya saat sebelum dimasak rasanya sangat enak. Sekarang kalau di rumah sedang memasak Tambelo aku akan menjadi orang yang paling bersemangat untuk menyantap makanan tersebut.

Nah tadi tentang makan dan makanan, sekarang tentang mandi. Mandi buatku termasuk salah satu sembilan bahan pokok alias suatu kebutuhan utama juga. Karena rasa lelah plus marah-marah bisa dihilangkan dengan mandi. Sayangnya yang syarat utama  untuk mandi adalah keberadaan  “air” dan ini sifatnya mutlak karena tidak bisa seperti wudhu yang bisa diganti dengan tayamum kalau tidak ada air, kalau mandi ketika tidak ada air tidak mungkin dong diganti dengan pasir. Padahal cuaca disini sedang panas-panasnya, plus aktivitas yang begitu padat, akan selalu memicu produksi keringat yang berlebih. Pernah suatu ketika sepulang sekolah,teriknya matahari lagi garang-garangnya. Akupun merasakan bajuku sudah basah terutama di bagian punggung. Sesampai di rumah dengan PDnya, sudah bawa handuk dan peralatan mandi, maklum tadi pagi sebelum berangkat ke sekolah aku tidak sempat mandi karena persediaan air masih kosong jadi aku akan menggantinya saat pulang sekolah. Eh ternyata tong penampung air tetap saja kosong, karena mata airnya kering. Hiya....rasanya pengen teriak-teriak. Untung saja setelah selesai memberikan les tambahan untuk anak-anak, dan setelah aku semakin tidak tahan dengan bauku sendiri. Tiba-tiba hujan turun deras. Akhirnya aku memutuskan untuk mandi hujan meski dengan berpakaian yang lengkap. Pumpung jalan di depan rumahku sepi. Aksiku ini menginspirasi beberapa muridku untuk turut serta, ia..akhirnya kami pun mandi hujan bersama-sama. Berlari-lari dan tertawa-tawa, bebas, ekspresif, aku merasa seperti kembali ke masa kanak-kanak. Rasa lelahku terbang, rasa gundahku hilang dan energiku kembali terisi. Dan kami menamakan acara mandi bersama di bawah hujan itu dengan TARIAN HUJAN.

“Dan Allah menurunkan air (hujan) dari langit dan dengan air itu dihidupkanNya bumi yangtadinya sudah mati. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allahbagi orang-orang yang mendengarkan pelajaran.”(QST.16:65)


Cerita Lainnya

Lihat Semua