Sepenggal Kompromi dan Sebuah Tanya Pada Papa Mama

Maria Goretti 10 Februari 2013

Bagaimana kabar papa dan mama? Masih seperti November dan Desember lalu, hujan gemar berkunjung ke tempatku. Tapi tidak seperti kemarin saat Penai sedang musim durian. Dulu, tiap hari gantian satu per satu murid membawakanku sebuah. Sehari bisa dapat delapan buah pemberian. Bosan dimakan begitu saja, aku diajari Bu Ribka cara membuat tempoyak. Awalnya lidahku mengernyit, lama kelamaan suka karena biasa. Sudah papa dan mama coba, kan? Yang ketika cuti kemarin kubawakan setoples. Benda itu kusembunyikan di tas punggung agar tak ketahuan petugas bandara. Kabarnya pesawat bermusuhan dengan gas yang timbul dari proses fermentasi durian dan garam tersebut.

Pokoknya, pa, ma, di desa ini aku tak pernah kelaparan. Memang, soal makanan aku boleh gembira. Mengenai tantanganku di sini, selain infrastruktur yang tidak mendukung kondisi geografis, apalah lagi kalau tentang pendidikan. Aku ingat teman dekatku sering mengajak untuk berkompromi. Di sini aku mengalami kompromi yang sebenar-benarnya (cenderung pemaksaan, mungkin?). Ingatkah ma, bahwa aku benci apa yang para badan pengurus suatu sistem sebut sebagai mark up, apa yang para guru sekolah dasarku dulu bilang katrol nilai? Aku tak mau menghakimi diriku sebagai paling benar, aku hanya mau berusaha segan melakukan hal-hal seperti itu, terutama saat mengemban kehormatan sebagai guru. Ternyata aku dipaksa oleh keadaan untuk melakukannya. Sampai hati bila aku tak mengusahakan agar anak-anakku ikut ujian kelulusan SD, hanya karena sebutir atau lebih nilai pelajaran pada rapornya tidak tuntas. Aku tak menolak, namun juga tak menerima mentah-mentah gagasan sial tersebut.

“Ceritakan dalam selembar kertas, apa yang akan kalian lakukan dalam lima tahun ke depan. Terserah kapan kalian antarkan tugas itu ke ibu. Nanti baru ibu beri rapor kalian,” ujarku pada serombongan murid yang kubantu agar nilainya memenuhi syarat ketuntasan. Hari-hari berikutnya, bergantian mereka menyerahkan cerita tentang apa rencana mereka lima tahun ke depan. Ada yang memberiku cerita detil, ada yang hanya gambaran singkat.

Sebuah wacana karya Fetronila membuatku termenung. Tulisnya, “... Ibu sapengen sekali seperti ibu bisa membahagiakan ke dua orang tua nya...” Adakah kebenaran dalam tulisan itu , pa, ma, walau hanya secuil, bahwa aku bisa membahagiakan papa dan mama? Ingatku, sering aku melakukan paksaan agar inginku dituruti. Tingkahku sama saja dengan keadaan di sini. Bukan kompromi namanya kalau ada pihak yang merasa ‘dipaksa’. Ketika itu, pastilah aku membuat papa mama tidak bahagia. Saat-saat itu aku tidak memedulikan kekuatan kompromi, aku mengacuhkan pembicaraan dari hati ke hati untuk mencari jalan tengah terbaik. Maaf pasti tidak cukup tanpa tindakan. Tenanglah, pa, ma, sebagai pengajar malah akulah yang banyak belajar dari kehidupan yang belum sampai setahun kujalani di sini.

Bolehkah aku minta doa papa dan mama? Semoga hidup memberikan pilihan-pilihan kepada anak-anakku yang dapat mereka kompromikan, sehingga mereka tidak dipaksa meniti jalan buntu untuk melanjutkan pendidikan dan membahagiakan orang tua. Semoga.

 

Note:

Bu Ribka adalah guru honor yang menemani hari-hariku selama enam bulan ke belakang. Sekarang dia telah bekerja sebagai tutor Rumah Pintar di barak perkebunan sawit sebuah perusahaan multinasional. Aku memperoleh banyak pelajaran darinya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua