Baca Yasin untuk Mengusir Penyakit

Mansyur Ridho 30 Januari 2011
Tok..tok..tok.. suara ketokan pintu dari luar kamar. “Pak Mansyur”, suara khas itu terdengar kembali selalu setia mengiringi ketokan pintu. Kubuka pintu kamarku dan sesosok tubuh kecil setinggi dadaku dengan tubuh dibalut sarung sudah berdiri seperti biasanya. “Pak Mansyur, bisa baca Yasinkah?”. Saya masih bingung ujung dari pertanyaannya ini. Biasanya pertanyaan ini diajukan seusai sholat magrib di malam jum’at untuk membaca Surat Yasin di Masjid atau hari jumat sore selepas ashar untuk memimpin pembacaan Surat Yasin Ibu-ibu yang sedang arisan. Memang hari ini hari kamis berarti esok adalah hari Jumat, tapi kali ini pertanyaannya diajukan malam hari jam 10 lewat. Rasanya tidak lama lagi sudah jam 11 malam dan saya ingat betul beberapa jam yang lalu saya telah membacakan Surat Yasin di Masjid selepas magrib. “Bisa, tapi bukannya tadi saya sudah baca Surat Yasin habis Sholat Magrib ya?”.  Terlihat dia agak kebingungan menjawab “emmm, lain pak. Tapi tidak tahu juga saya. Bapak dipanggil di belakang” Baiklah, saya paham bahwa saya harus segera ke belakang. Anak yang juga muridku kelas 6 itu tadi bilang saya diminta baca Yasin. Maka segera kukenakan baju taqwaku kembali lengkap beserta songkok (kopiah: bahasa bugis), tak lupa kuambil mushafku. Di belakang melewati dapur yang tinggal sedikit berjalan dan mendongak ke atas sudah bisa melihat bintang itu, ternyata tujuh atau delapan orang sudah duduk melingkar mengelilingi beberapa baskom yang sudah lengkap dengan air di dalamnya. Saya tidak terlalu ingat jumlah persisnya. Beberapa tanda tanya masih melayang jelas di atas kepala. Satu orang laki-laki yang umurnya kira-kira sekitar 55 tahun itu mempersilahkan saya duduk di depannya di antara baskom-baskom yang telah penuh air itu. Rasanya saya sudah pernah berbincang-bincang dengan orang ini 3 minggu yang lalu ketika saya menghadiri acara akad nikah pasangan bugis selang dua rumah dari rumah yang saya tinggali saat ini. Seingat saya dia memperkenalkan dirinya sebagai orang bugis yang menikahi putri Kiayi di Blitar Jawa Timur. Orang yang mengatakan pada saya bahwa sejarahnya di Indonesia hanya ada dua suku yaitu Bugis dan Jawa. Dia juga yang mengatakan bahwa sebenarnya Bugis dan Jawa tidak ada bedanya, dua suku ini bersaudara. “Bapak, kami minta tolong nanti bacakan Yasin di atas air ini. Niatkan agar air ini bisa mengusir segala bala’ dan penyakit. Semua bacaan Bapak akan saya jawab. Nanti saya akan salam kepada Bapak, tolong Bapak jawab kemudian bapak baca niatnya dan dilanjutkan baca Yasinnya” Spontan saya ingat hasil penelitian di Jepang yang menyebutkan bahwa air dapat menyalurkan energi positif setelah air tersebut diberikan kata-kata yang positif juga. Ini pengalaman pertama saya diminta membacakan Surat Yasin di atas baskom berisi air. Meskipun beberapa tanda tanya masih menghiasi mata ini, namun kuputuskan untuk mengiyakan dan berpikir positif. Mereka sedang berusaha, mereka mencoba mengambil kebaikan dari surat cinta dari Yang Maha Kuasa ini. Saya hanya bisa berdoa, semoga apa yang mereka harapkan dengan pembacaan Surat Yasin ini terkabul. Maka ritual pun dimulai. Lelaki yang juga memakai songkok di depanku ini segera komat-kamit seraya menengadahkan kedua tangannya. Saya tidak mendengar dengan baik apa yang ia lafalkan. Dua tangannya kemudian dicelupkan dengan cepat ke dalam baskom-baskom berisi air itu. Lehernya mulai menggerakkan kepalanya untuk ditolehkan ke sebelah kanannya seraya berucap “Assalamualaikumwarahmatullahiwabaraktuh”, giliran salam kedua di sebelah kiri, dan yang ketiga salam di depanku seraya mengulurkan tangannya. Maka saya sambut tangannya dan menjawab salamnya. Mulailah kutunaikan tugasku untuk membaca Surat Yasin. Ayat demi ayat saya lantunkan. Sesekali mata saya sedikit mencuri pandangan ke arah lelaki di depan saya. Mulutnya kembali komat-kamit setiap satu ayat selesai saya bacakan. Kucoba untuk tetap fokus saja pada bacaanku. Ayat ke-55 telah saya lalui, tiba-tiba kedua tangan lelaki di depan saya mulai bergerak kembali mencelupkan ke air-air yang diperoleh dari langit itu. Lafal lelaki itu sedikit mengeras dan kedua tangannya menengadah semakin tinggi ke atas. Lebih tinggi daripada tengadah tangannya di awal. Tapi meski lebih keras, sekali lagi saya tak begitu jelas mendengar apa yang diucapkannya.  Ayat ke-83 usai kubacakan. Maka seruan memuji ayat-ayat Allah SWT ini kuhaturkan tanda mengakhiri bacaan. Uluran tangan kembali diajukan lelaki tinggi besar di depanku “Terima kasih”. Tugasku usai. Lelaki pemimpin ritual ini segera memberikan instruksi tatacara penggunaan air ‘doa’ itu kepada orang-orang yang tengah duduk mengelilingi kami berdua. Air doa ini jika belum dipakai harus ditutup, seekor cicakpun tak boleh masuk kesini. Sebelum mandi mereka diminta baca basmalah dulu. Selebihnya saya tak terlalu paham apa instruksinya karena semua dibicarakan dengan bahasa bugis. Malam ini kututup dengan satu ritual baru dan beberapa tanda tanya. Sore di keesokan hari, ketukan khas itu kembali menghiasi kamarku. “Pak, bisakah baca Yasin lagi seperti tadi malam?”. Pertanyaan ini menegaskan kalau saya akan mengalami ritual itu untuk kedua kalinya. Kali ini di rumah yang berbeda. Seorang lelaki tua yang saya dengar sangat disegani di desa ini sedang terkulai lemas di atas ranjangnya tepat di atas lantai yang terbuat dari papan-papan kayu. Sudah 2 tahun lamanya lelaki tua ini terbaring di tempat tidur karena stroke yang dideritanya. “Bapak, tolong diniatkan agar Bapak ini bisa berjalan lagi” Maka ritual kembali dimulai. “Ya Rabb, saya hanya manusia biasa yang punya salah dan dosa. Sungguh Engkaulah yang Maha Kuasa. Engkaulah yang berhak memberi dan mengambil penyakit dari hamba-hambaMu. Maka berkahilah penduduk desa ini dan berikanlah petunjuk Mu. Amiin”

Cerita Lainnya

Lihat Semua