info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Seribu Bahasa Sayang

Maisya Farhati 20 November 2011

Bapak Raitu dan Ibu Khairiyah, itulah nama kedua orang tua angkatku di Dusun Pinang Gunung, sebuah dusun nun jauh di atas bukit di Pulau Bawean. Sudah lebih dari lima bulan kini aku tinggal bersama mereka, bangun tidur di rumah mereka, membuka perpustakaan di rumah mereka, makan bersama mereka, dan lainnya. Mereka memang bukan orang tua kandungku dan tak akan pernah bisa menggantikan kedua orang tuaku. Untuk beberapa hal, kami masih saling sungkan. Tapi aku percaya – percaya sekali – bahwa mereka menyayangiku dengan tulus.

Di akhir pekan, terkadang aku menginap di kecamatan untuk koordinasi dengan Pengajar Muda Bawean lainnya ataupun melaksanakan kegiatan bersama. Saat di kecamatan, aku merasa senang karena sinyal berlimpah, banyak ragam jajanan, dan ada pasar serta mini market dimana aku bisa berbelanja kebutuhan sehari-hari. Aku juga biasanya menyempatkan mampir di warnet demi mengetahui kabar dan berita di dunia luar sana. Saat aku di kecamatan, terkadang aku melupakan sejenak kehidupanku di Pinang Gunung.

Lain halnya dengan Pak Raitu dan Ibu Khairiyah. Suatu hari, Minggu sore, aku baru pulang dari kecamatan. Saat makan bersama di malam harinya, dengan lauk ikan-ikan kecil (rencek) seperti biasa, kami berbincang. Bapak berkata, “Kemarin malam saya terpikir Ibu. Ibu malam ini makan apa ya di Tambak? Kemarin di sini ada lauk sapi…dari tetangga yang maur.” (Tambak adalah nama kecamatan di sini. Bapak dan Ibu memang memanggilku “ibu”, menyingkat sebutan ibu guru. Maur adalah bahasa Madura untuk hajatan atau syukuran )

Glek. Aku menelan nasi dengan perasaan tak enak, campur haru. Saat aku jauh, ternyata mereka masih memikirkanku, sementara aku biasanya terlena dengan ‘gemerlap’ kecamatan.

Dua minggu lalu, sehari setelah Idul Adha, aku pergi ke kecamatan karena ada keperluan. Aku pinjam motor Bapak dan membawa sendiri sampai kecamatan. Saat itu, jalanan sangat becek karena sehari sebelumnya hujan turun hampir seharian. Aku berjalan pelan-pelan, apalagi jalan dari dusunku sebagian masih tanah, licin sekali. Jalan yang sudah semen pun sebagian besar hancur, tambah berbahaya karena jalannya adalah turunan curam. Aku menghela napas setelah melewati jalan itu. Yes, aku lolos! Aku pun melanjutkan perjalanan di jalan utama.

Di luar dugaan, ternyata hujan seharian kemarin membuat jalan utama yang biasanya penuh tanah berdebu menjelma menjadi jalan offroad berlumpur. Aku berjalan pelan-pelan dengan perasaan berdebar-debar. Untunglah selamat sampai di kecamatan. Aku pulang sore hari karena seharian itu pun hujan turun tanpa henti. Ketika di sore hari tinggal menyisakan gerimis, aku beranjak kembali ke Pinang Gunung.

Sore itu, jalanan jauh lebih licin dari pagi hari. Setelah melewati tanjakan curam dan hutan, mulai terlihat satu rumah. Saat itulah aku melihat Bapak di antara lebatnya pepohonan di hutan sekitar Pinang Gunung. Aku tak tahu Bapak sedang apa, aku pikir habis mencari kayu. Aku memanggil Bapak, berniat mengajak pulang bersama karena saat itu masih gerimis. Lagipula rumah masih cukup jauh jika harus berjalan kaki dari sana. “Bapak mau pulang bareng?” tanyaku.

“Ibu takut pulang sendiri, Bu?” Bapak bertanya balik.

“Ya pelan-pelan aja, Pak…” tapi aku bingung karena Bapak tidak beranjak ke motor. Lalu aku bertanya lagi apakah Bapak mau pulang bersama naik motor. Tapi Bapak menyuruh aku duluan saja.

Sebenarnya aku tak enak. Ini kan motor Bapak, masa aku naik motor tapi Bapak berjalan kaki? Atau Bapak tak enak jika memboncengku? Ah, sudahlah, akhirnya aku naik motor lagi dan melanjutkan perjalanan sendiri. Di belakangku, Bapak berjalan hujan-hujanan.

Sesampainya di rumah, Ibu bertanya apakah aku bertemu Bapak di jalan. Ternyata Bapak memang sengaja menungguku di jalan di tengah hutan.

“Tadi Bapak saya suruh ke sana, menunggu Ibu. Jalanan licin, takutnya Ibu jatuh atau terjadi apa-apa di jalan,” kata Ibu memberi tahu.

“Ya ampuuun..saya nggak tahu, Bu. Tadi Bapak saya ajak pulang bersama tapi Bapak menyuruh saya duluan. Sudah lama, Bu, menunggunya?”

“Iya…sudah lama…” kata Ibu sambil tersenyum.

Aku tak bisa berkata-kata. Bapak sedari tadi menungguku di bawah hujan. Menunggu dengan rasa khawatir.

Kawan, bahasa sayang itu bisa bermacam-macam ya?

[20112011]


Cerita Lainnya

Lihat Semua