Antara Bawean dan Negeri Jiran

Maisya Farhati 5 Februari 2012

 

Apa hubungan keduanya? Selama hampir delapan bulan di Bawean, yang kulihat adalah Bawean lebih punya ikatan ekonomi dan emosional dengan Malaysia daripada Indonesia. Walaupun pulau ini bukan berada di daerah perbatasan, ketika berbahasa Indonesia, sebagian orang logatnya lebih mirip logat Bahasa Melayu. Pakaian sehari-hari mereka baju kurung, seperti halnya di Malaysia. Selain itu, mereka lebih familiar dengan tempat bernama Malaysia atau kota bernama Kuala Lumpur daripada Jakarta. Bahkan murid-muridku di awal kedatanganku banyak yang belum tahu bahwa Jakarta adalah ibukota Indonesia.

Ketika anak-anak memasuki usia remaja dan akan bekerja, maka yang pertama kali muncul di benak mereka adalah Malaysia. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sudah beberapa generasi orang Bawean bekerja di Malaysia. Banyak pula yang kemudian menikah, punya anak, dan meninggal dunia di sana. Salah seorang tetanggaku yang sedang cuti bekerja dari Malaysia mengklaim bahwa konon orang Bawean adalah yang paling dahulu bekerja ke Malaysia dibandingkan TKI dari daerah lain.

Anak yang lahir di Malaysia katanya berhak punya IC (mereka mengucapkan ‘aisi’, mungkin singkatan dari Identity Card). IC bisa diambil ketika si anak berusia belasan tahun, aku lupa tepatnya. Bulan Juli lalu tetanggaku, usianya sekitar 14 tahun, pamit akan pergi ke Malaysia. “Mau ambil aisi, Bu.” katanya riang.

Lalu apa keuntungannya? Mereka yang punya IC bisa bekerja di Malaysia dengan bebas dan memeroleh gaji yang lebih besar daripada mereka yang ‘hanya’ mengantongi permit dan yang tidak punya izin sama sekali. Apalagi IC berlaku seumur hidup, sedangkan permit harus diperbarui secara periodik dan memakan biaya yang tidak sedikit.

Sebagian besar pemuda di dusunku menganggur. Menganggur dalam artian tidak memiliki pekerjaan yang memberikan penghasilan tetap. Mereka sendiri yang bilang, sehari-hari mereka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk tidur, bersantai, jalan-jalan naik motor, dan bermain bola. Selain itu, pekerjaan rutin mereka di antaranya ‘hanyalah’ mengurus sapi atau mencari kayu.

Saat mereka hendak bekerja, maka secara umum pilihannya ada dua: bekerja sebagai TKI di Malaysia (dan sebagian di Singapura) atau menjadi pekerja kapal. Sewaktu aku bertanya, “Tidak mau cari kerja ke Jawa?” Sebagian dari mereka tertawa dan menjawab, “Ada kerja apa di Jawa, Bu? Orang Jawa saja cari kerja ke Bawean.” Jleb! Memang betul, itu yang mereka tahu. Penjual makanan di sekitar pasar, penjual bakso keliling, penjual perabot rumah tangga keliling (baskom, ember, gayung, dll), mereka adalah orang dari Jawa, khususnya Jawa Timur.

Memang tidak bisa disalahkan kalau mereka lebih memiliki rasa ke-Malaysia-an daripada ke-Indonesia-an. Toh selama ini Malaysia sudah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam meningkatkan taraf hidup orang Bawean. Namun sedih juga mendengar mereka lebih membanggakan Malaysia daripada Indonesia.

“Enak ya, Bu, kalau macam di Malaysia. Cari pekerjaan tak sulit. Kalau orang yang pintar mau sekolah juga pasti dibiayai oleh kerajaan,”

Sebenarnya di Indonesia juga banyak beasiswa kan, Kawan? Sayangnya tidak semua orang tahu atau mau mencari tahu. Mungkin ini masalah akses informasi. Dan juga, Indonesia dan Malaysia tak bisa disamakan. Malaysia itu wilayahnya lebih sempit dan penduduknya tidak se-heterogen di Indonesia. Sedangkan Indonesia wilayanya luas, terpisah pula oleh lautan yang luas. Yah…meskipun itu tak bisa sepenuhnya jadi excuse untuk pembangunan yang belum benar-benar merata.

“Kalau di Malaysia, orang pintar pasti dapat pekerjaan ya. Bu. Kalau di Indonesia katanya harus bayar-bayar dulu kalau mau kerja, misalnya jadi polisi.”

Sungguh sakit hatiku mendengar pernyataan-pernyataan itu yang sebagian memang ada benarnya. Ini baru di Bawean. Bagaimana dengan wilayah-wilayah lain, khususnya wilayah perbatasan? Rasa ke-Indonesia-an mahal harganya. Harga itulah yang harus dibayar oleh pemerintah atas pengabaian terhadap banyak sekali wilayah di Indonesia. Jangan sampai marah-marah hanya ketika wilayah kita dicaplok orang.

Lagi-lagi ini adalah pilihan. Apakah, sebagai individu-individu, kita juga akan ikut peduli?


Cerita Lainnya

Lihat Semua