Postulat Kehidupan Bernama Kebaikan

Luluk Aulianisa 11 Oktober 2012

“ Untuk apa Bu kita datang ke Panti Asuhan ? “ tanya Cucu, salah satu muridku di sela-sela pelajaran.

Pertanyaan itu mengusik pikiranku. Aku jadi ingin sekali mempertemukan murid-muridku dengan teman barunya yang ada disana. Ya, bukankah berbagi dan bersilaturahmi itu sangat menyenangkan ? Hari Rabu pagi yang cerah, aku dan murid-muridku kelas 5 turun gunung dari desa kami dengan berjalan kaki sejauh 7 km lalu dilanjutkan dengan naik angkutan. Memang cukup jauh namun karena dilakukan bersama dan kondisi matahari belum terlalu panas, kegiatan itu menjadi sangat mengasyikkan. Tujuan kami adalah ke ibukota kabupaten yaitu Majene. Seperti sudah kuduga sebelumnya, banyak muridku yang muntah berjamaah sepanjang perjalanan. Untung saja plastik sudah banyak tersedia.

Sesampainya di Majene, kami tidak langsung datang ke Panti Asuhan melainkan kunjungan terlebih dahulu ke Museum Mandar. Murid-muridku nampak senang karena banyak hal baru dilihat. Mereka pun jadi lebih mengenal kebudayaannya sendiri. Setelah puas berkeliling museum, kami pun melanjutkan perjalanan. Tetiba pesan masuk ke telepon genggamku, pihak Panti Asuhan menanyakan apakah kami jadi kesana. Tentu saja jadi, pikirku dalam hati. Setelah putar-putar di dalam kota, kami pun sampai ke tempat tujuan utama kami yaitu Panti Asuhan Halimatus Sa’adiyah. Di dalamnya kami mendapati ada dua puluh anak yang telah menunggu beserta dua orang pengurus panti. Murid-muridku membawa turun kande-kande (kue-bahasa Mandar) hasil tabungan mereka padaku selama dua bulan terakhir sebagai hadiah untuk teman barunya. Anak di panti tersebut rata-rata seumuran dengan murid-muridku. Suasana pun jadi meriah namun anak-anak masih malu-malu. Sesi perkenalan pun dibuka. Masing-masing dari muridku dan anak-anak Panti Asuhan memperkenalkan dirinya sambil berdiri. Suasana pun jadi agak mencair. Aku mempersilakan muridku untuk tampil menghibur teman-temannya di panti seperti mempersembahkan lagu. Acara juga dilanjutkan dengan permainan, makan kande-kande dan foto bersama.

“ Kemana orangtua anak-anak itu ? “ tanya Pika padaku di lain kesempatan

“ Orangtuanya ada yang sudah meninggal, ada yang pergi bekerja dan ada yang sudah tidak bisa lagi membiayai hidup anaknya, makanya mereka dititipkan disini “ begitu penjelasanku.

“ Siapa yang kasih mereka biaya sekolah Bu ? “ lanjut Cica lagi

“ Masih ada orang baik yang ingin mereka lanjut sekolah. Contohnya adalah pengurus panti itu. Ada juga orang lain yang memang membiayai mereka “ ucapku.

Di desa tempatku tinggal dengan pendapatan Rp 100.000 – 250.000 / bulan dimana mayoritas mata pencaharian adalah bertani tentunya pemandangan dan keadaan seperti apa yang mereka lihat adalah hal yang biasa. Namun yang menjadi tidak biasa adalah bagaimana murid-muridku ingin berbagi di sela-sela keterbatasan yang juga mereka miliki. Walaupun sederhana tapi anak-anak tetaplah anak-anak, kepolosan tingkah mereka membuat segala sesuatunya menjadi lebih berarti.

Bukankah tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah? Bukankah di setiap apa yang kita dapatkan ada hak milik orang lain ? Sekecil apapun itu. Apa yang kita anggap kurang atau tidak berharga sekalipun nyatanya belum tentu demikian untuk orang lain.

Dan hari itu murid-muridku membuktikannya.

Ayahku selalu berkata “ Luk, berlaku baiklah pada orang lain “ dan sekarang aku juga ingin mengucapkan itu pada murid-muridku

Ya, ini adalah postulat kehidupan. Akan selalu ada kebaikan untuk orang-orang yang berbuat baik. Good things always happen to good people. Aku teringat dengan Trevor McKinney dalam film Pay It Forward,untuk melakukan perubahan ia meneruskan kebaikan kepada tiga orang dan dari tiap orang itu meneruskan lagi kepada tiga orang lainnya. Hal yang sederhana memang namun tidak dengan dampaknya. Semoga dengan apa yang dilakukan murid-muridku akan menjadi pelajaran berharga, bukan untuk siapa-siapa melainkan untuk mereka sendiri.


Cerita Lainnya

Lihat Semua