info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Lilin Itu Sudah Mulai Menyala

Lukvi Raharasi 2 Juni 2013

“Orang-orang disini sudah dibunuh mimpinya sejak lama”.  Kata-kata istri kepala dusun menggelegar bagai petir di kepalsaya. Yah, dan sayapun secara nyata mengalaminya di sana.

*****

Berawal dari saya menggumpulkan beberapa pemuda untuk sedikit berbagi infomasi yang kuterima dari salah seorang teman Pengajar Muda. Sehabis mengajar mengaji, seperti waktu yang sudah dijanjikan, saya mendatangi rumah Imam Masjid. Dan saya sungguh kecewa, karena yang datang hanya seorang pemuda dengan muka malu-malu. Namanya Sunardi, atau biasa dipanggil Nardi. salah satu pemuda dan sejauh ini satu-satunya pemuda, yang merasa berkewajiban membantu mengajar mengaji setiap hari di masjid. Dia adalah pemuda yang memiliki semangat belajar tinggi. Nardi adalah salah satu pemuda yang beruntung karena dia salah satu dari sedikit pemuda yang merasakan kuliah, di salah satu kampus kecil yang berada di Kecamatan Malunda, kecamatan di mana saya ditugaskan selama empat belas bulan sebagai Pengajar Muda. Sambil kuliah, dia juga membantu orang tuanya menggarap kebun coklat.

“Mana yang lain?” Tanya saya malam itu. “Tidak, ada yang mau, Bu. Katanya jangan mimpi untuk ke Jakarta!”. God, bahkan untuk bermimpi pun mereka takut.

Baiklah, jika memang hanya pemuda ini yang berani untuk meraih mimpinya ke Jakarta.

Malam itu saya memberitahukan mengenai FIM (Forum Indonesia Muda), sebuah pelatihan kepemimpinan skala nasional yang akan diikuti oleh pemuda terbaik dari seluruh Indonesia.

Sepanjang penjelasan yang saya berikan, saya bisa melihat matanya yang berbinar diiringi anggukan. Seusai penjelasan yang saya berikan, sambil tersenyum tipis pemuda itu berkata, “Saya tidak yakin  dengan ilmu yang saya miliki, Bu”.

 Oh, no !!! Dia tidak boleh mundur, pikirku.

Kamipun berdiskusi, setelah perdebatan agak lama, akhirnya dia menyerah, “Iya bu, akan saya coba”.

Semangatnya membuat saya takjub, dia beberapa kali menghubungi dan datang kerumah untuk berdiskusi. Saat itu kami berdiskusi di rumah Bapak Kepala Dusun, dia banyak bercerita, mengenai keinginannya dulu untuk ke Jakarta, namun kandas karena merasa tidak mungkin. Banyak pemuda di sini yang akhirnya menyerah pada keadaan, melepaskan sekolah maupun kuliahnya untuk kembali berkebun, menggarap kebun coklat warisan orang tua. Bagi banyak orang disini, ke Jakarta merupakan suatu mimpi yang tidak mungkin terwujud. 

“Orang-orang disini sudah lama dibunuh mimpinya sejak lama, ijasah sekolah mereka dilipat, dimasukkan ke dalam lemari terus berkebun. Bagi mereka bisa baca tulis saja sudah cukup, buat apa sekolah tinggi, nanti ujung-ujungnya kembali berkebun. Itulah susahnya orang-orang disini, sebenarnya bisa biayain kuliah kalau mau, tapi tidak mau. Takut pergi jauh juga”,  kata istri kepala dusun yang ikut menyimak pembicaraan kami.

H-1 sebelum pendaftaran tutup saya mengantarkannya ke salah satu rumah seorang Pengajar Muda yang memiliki akses internet.  Kurang lebih satu jam kami mengendarai motor untuk mengirim aplikasi pendaftaran. Setelah setengah hari bersabar dengan jaringan, akhirnya formulir pendaftaran terkirim.  Kamipun pulang dengan perasaan lega. Sekarang saatnya berdoa dan menunggu hasilnya 14 hari lagi.

******

Hari yang ditunggu akhirnya tiba, datanglah berita yang ditunggu.  Dia datang ke rumah dengan muka bingung. “Saya dapat SMS dari panitia Bu, saya tidak mengerti apa maksud SMS ini”. Mana, coba saya lihat”. Saya baca sejenak SMS dari panitia yang masuk ke HPnya.  “Selamat, kamu lolos, kamu akan ke Jakarta”. Raut mukanya langsung memerah dan berseri senang.

Sunardi, pemuda dari dusun kecil di gunung itu mampu bersaing dengan 4995 pemuda seluruh Indonesia. Orang pertama dari desa yang akan menginjakkan kakinya ke Jakarta, mengikuti FIM14 mewakili Sulawesi Barat.

Melaluinya, kami membuktikan bahwa keterpencilan demografis dan infrastrukutr bukan suatu halangan untuk menggapai mimpi, selama pikiran kita tetap terbuka dan optimis.

Nardi adalah salah satu bukti nyata, bahwa pemuda dari pegunungan, tidak ada listrik serta sinyal yang terbatas mampu bersaing diajang Nasional.

Nardi mampu mempertandingkan cita dan mimpinya dengan para pemuda dari kota besar.

Melalui Nardi, terdapat harapan bahwa akan ada Sunardi-sunardi lain yang berani membangun mimpinya kembali untuk meraih cita-citanya. Menyalakan lilin-lilin lain disekitarnya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua