Pengajar Muda dan Resilience

LoizaSusilo 20 September 2015

Resilience atau yang biasa disebut dengan ketangguhan adalah kemampuan seseorang untuk tetap positif ditengah kesulitan dan penolakan. Dalam perjalanan saya selama 9 bulan menjadi Pengajar Muda (PM), saya merasa bahwa setiap PM (baik yang sedang bertugas, akan bertugas,maupun para alumni) memiliki resilience yang tinggi. Pasalnya, banyak sekali hal-hal yang terjadi selama satu tahun pengabdian PM di penempatannya yang seringkali menguji ketangguhan PM, baik tantangan fisik maupun mental. Jika ada dari para calon PM yang berpikiran bahwa menjadi PM itu dipenuhi dengan kesenangan dan keberhasilan, anda mungkin harus berpikir 2x untuk bergabung menjadi PM.

                Menjadi PM selama 9 bulan, saya telah mengalami banyak sekali tantangan. Pada 3 bulan awal, saya dihadapkan dengan pembiasaan terhadap kebiasaan berperilaku masyarakat sekitar Pulau dimana saya mengabdi. Semuanya dimulai dari hal yang sangat sepele, yaitu kebiasaan warga sekitar untuk mengatakan kata “Bodoh” dengan mudahnya kepada satu dengan lainnya.Dampak dari kebiasaan warga (termasuk orang tua dan anak-anak) terasa sangat mengganggu pada saat proses belajar mengajar di sekolah. Disitu saya beberapa kali dibilang “Ibu bodoh!” oleh beberapa siswa. Awalnya saya sangat jengkel dengan perkataan tersebut karena hal itu menunjukkan bahwa siswa tersebut sudah merendahkan kedudukan saya sebagai orang yang lebih tua dan lebih parahnya, sebagai guru. Disinilah resilience saya pertama kali diuji, sehingga saya mencari cara untuk menekan perilaku tersebut dengan cara menetapkan sanksi kepada siswa yang berkata “bodoh” dan kata lainnya yang tidak sopan.

                Masuk di 3 bulan selanjutnya, sayapun mengalami kecelakaan motor tunggal yang mengharuskan saya mendapatkan 13 jahitan. Ini adalah kali pertama saya mengalami kecelakaan yang membutuhkan perawatan lebih lanjut. Boleh dikatakan bahwa saya belumberpengalaman untuk berurusan dengan luka jahitan,maupun dengan perawatannya. Resilience saya kembali diuji disini karena pada saat yang bersamaan banyak sekali halyang harus diselesaikan. Pertama,saya harus mendampingi seorang relawan Psikolog Anak dari Jakarta yang akan memberikan seminar mengenai kesehatan alat reporoduksi untuk anak dan remaja. Kedua, atas inisiatif warga yang ingin membuat sebuah Madrasah di Pulau, saya sedang bertugas untuk mengurus banyak hal. Namun, dengan bantuan semuanya, segala tugas telah diselesaikan dengan baik.

                Dalam 3 Bulan terakhir ini, saya sedang dihadapkan dengan kondisi geografis yang sedang mengalami perubahan. Sebagai gambaran, saya sekarang tinggal di sebuah pulau kecil yang tidak terhubung dengan daratan utama di Pulau Sulawesi. Untuk mencapai daratan terdekat, membutuhkan waktu 2 jam menggunakan kapal – kapal nelayan warga Pulau. Kapal – kapal tersebut tidak tersedia secara komersial, sehingga tidak ada jadwal yang menentukan hari keberangkatan kapal – kapal tersebut. Menumpang di kapal warga terkadang membutuhkan sedikit resilience, karena sebagai PM, kami memiliki tugas tidak hanya di desa penempatan. Namun, kami memiliki tugas untuk mencanangkan inisiatif-inisiatif daerah dan mendampingi para actor inisiatif-intisiatif tersebut.Hal ini membuat setiap PM memiliki tingkat mobilitas yang cukup tinggi untuk berpindah dari Desa-Kecamatan-Kabupaten. Memasuki 3 bulan ini, daerah timur Indonesia dilanda kemarau yang cukup panjang, sehingga seringkali para warga yang memiliki kapal membatalkan rencananya untuk menyebrang ke daratan terdekat dikarena kencangnya angin yang membuat laut menjadi sangat berombak. Resilience disini benar-benar diuji dimana ketika saya diharuskan untuk menyebrang menuju ke Ibukota Kabupaten sesuai yang telah dijadwalkan namun tidak ada kapal yang berangkat ke daratan, disitulah dimana saya harus tetap mengontrol diri dan tetap positif.

                Begitu banyak cerita-cerita yang terjadi dalam pengabdian selama satu tahun penempatan PM. Tantangan yang terjadi tidak hanya sebatas apa yang telah saya ceritakan secara singkat diatas, masih banyak hal lain yang setiap PM di penempatan manapun alami, mulai dari tantangan dinamika kelompok, pendekatan kepada stakeholder, pandangan – pandangan miring dari warga sekitar, hingga beberapa kasus supranatural yang dialami atau dihadapi oleh PM. Sehingga dalam pandangan saya,hal yang paling penting untuk dimiliki setiap PM adalah dimensi resilence. Karena dengan memiliki tingkat resilience yang tinggi, tiap – tiap PM akan lebih sadar diri akan posisinya selama setahun pengabdiannya di daerah. Dengan resilience, PM dapat belajar untuk menekan ego dan kebiasaan sehingga dapat menjadi pribadi yang lebih baik. Selain itu dengan tingkat resilience yang tinggi, PM akan tetap focus dan berpikiran positif untuk mengarahkan semua energinya untuk mencari solusi dari permasalahan – permasalahan yang sedang dihadapinya. Salam dari Pulau kecil di Tanah Banggai, Sulawesi Tengah bagi teman – teman PM yang sedang bertugas, jika kalian mendapatkan tantangan dalam penempatan, kembali ingat kepada niat awal, “It’s not about me, It’s about them”


Cerita Lainnya

Lihat Semua