Pulang Kampung

Lidya Annisa Widyastuti 7 Mei 2015

Saat aku "pulang kampung" sore ini. Setelah beberapa hari aku dan kawan-kawan mengurus beberapa kegiatan kami di "kota". Ah, ternyata waktu kami tinggal dua bulan lagi di sini, di tanah Cenderawasih.

Saat aku pulang, ada perasaan rindu. Padahal baru beberapa hari ku tak hadir di kampung. Tapi rasanya, tak sabar ku tuk pulang. Setelah usia ke bangunan orange untuk mengirim surat, dan beberapa tempat lainnya. Ku bergegas pulang ke markas kami berdelapan di Puncak.

Aku membawa berbagai macam tentengan kardus dan tas, ku gunakan taxi warna matahari ke terminal Kokas, tempat "ngetem" taxi. Aku "Takut kehabisan taxi." Sore, terkadang aku tak dapat taxi pulang.

Taxi memang moda transportasi yang mengantar kami membelah hutan dan melewati kelokan tajam jalan beraspal dari atau ke Kokas menuju kabupaten. Dari awal hingga sampai tujuan biasanya aku memejamkan mata, gelap dan terlelap.

Sore ini sama, dari kota ke pertengahan jalan, aku terlelap. Saat Pak Supir mengomando untuk turun dari mobil "bagi yang mau belanja langsat". Dengar kata langsat, bayanganku langsung Faruq dan Horiq, dua adikku penggemar berat buah.

Langsung ku beli dan ku coba. "Wow, manis banget, mereka pasti suka!" Kemudian ku kembali duduk. Ku pandangi kiri kanan jalan yang tak pernah ku perhatikan selama ini, "Aku melewatkan berbagai hal ternyata selama ini."

Sampailah aku ke depan rumah. Ku minta Pak Supir berhenti. Barang-barangku turunkan satu persatu. Biasanya banyak anak yang berteriak setiap aku pulang. Sayang tidak sore ini.

Nahia, anak perempuan super gesit yang langsung menawarkan bantuannya untuk membawakan sebagian barang-barangku. "Alhamdulillah."

Ternyata anak-anak itu sedang menikmati senja ini dengan bersenda gurau di dalam air garam di belakang rumah. Saat aku ke belakang rumah, ke fatar, mereka tahu ke beradaanku. "Ibu datang!" terdengar mereka berkata pelan. Mulailah ku dengar beberapa anak berseru memanggilku, "Ibu! Ibu! Ibu!" Sambil diiringi tawa renyah satu sama lain.

"Iyo!" jawabku tak salah semangat. Saat aku duduk di fatar. Horiq melewatiku sambil memamerkan mainan baru yang dia buat sendiri. Pesawat baling-baling yang sudah di cat. "Ibu, beta yang buat. Ini baling-balingnya. Kalau dom pu baling-baling kenal angin, ini bakal terputar-putar. Liat e Ibu," kata Horiq, adik laki-lakiku di sini antusias.

Benar saja. Dia memegang pesawat itu sambil berdiri di ujung fatar mengarahkan mainannya menghadap angin. Whoooshh... Angin berhembus kencang meniupkan baling-baling Horiq kencang. Seperti hendak menerbangkan pembuatnya setinggi langit. Menggapai asa dan citanya.

Sore ini memang cerah, tapi tak secerah wajah mereka, anak-anakku saat tahu aku datang. Pemandangannya indah, namun belum menandingi mata mereka membulat indah saat melihatku, kegirangan. Kebahagiaan mereka sederhana sore ini, mandi air garam, main pesawat baling-baling dan melihatku di sini.


Cerita Lainnya

Lihat Semua