Lomba Diam

Lidya Annisa Widyastuti 14 Desember 2014

"Tepuk diam! prok prok prok sttt sttt prok prok prok sttt sttt prok prok prok Diam!"

Sudah lebih dari dua minggu anak-anakku belajar bersama di rumah. Semua dari kelas 1 sampai kelas 6 berbondong-bondong memenuhi teras rumah, padahal jam belum juga menunjukkan pukul 2. Karena akan menghadapi ulangan semester. Semua anak ku undang datang ke rumah untuk belajar bersama. Jam 1 atau 2 untuk jadwal siang. Jam 7 atau setengah 8 untuk jadwal malam.

Biasanya mereka les siang jam 2 atau setengah 3 sampai jam setengah 4 atau jam 4 - waktunya mengaji. Yang datang pun hanya segelincir anak, pernah hanya 2 anak paling banyak 8 anak. Kalau malam, orang tua para siswa dan orang tua asuhku kurang suka. Takut "orang potong-potong" katanya. "Orang potong-potong" konon katanya penculik orang - anak-anak. Jadi dibuatlah jadwal les siang hari sebelum jadwal mengaji mereka.

Hasilnya cukup menggembirakan. Setiap siang, di hari biasa biasanya hanya ada 3-8 siswa saja, kemarin saat menjelang ulangan bisa lebih dari 10 anak sudah berkumpul membawa buku dan pena di genggaman. Sambil menungguku istirahat sebentar, biasanya mereka bermain kelereng, main kejar-kejaran atau sekadar bercanda tertawa sana sini.

Tak kalah luar biasa, saat malam pun begitu. Belum habis bacaan ku lahap setelah solat magrib, di luar kamar sudah terdengar celoteh dan candaan mereka yang disambut tawa yang lain.Terkadang ada salah seorang yang mengingatkan, "Sttt... Diam! Ibu sedang solat." Tersungging bibirku mendengarnya. Setelah selesai, langsung ku hampiri mereka. Waktunya bersenang-senang.

Hebatnya, walau rumah mereka jauh, cuaca sedang tidak bersahabat - sudah 1 minggu lebih setiap hari hujan sepanjang waktu, atau mati lampu, dengan semangat mereka sudah duduk-duduk di teras depan rumah. Sudah dua kali saat malam, Kokas "gelap". Ku tunggu sampai jam 7, tidak juga ada tanda-tanda lampu menyala. "Luar biasa ya pentingnya petugas PLN, dia sedang ada perlu ke kota (kabupaten) listrik mati," kataku dalam hati.

Ku kira anak-anak tak kan datang di kedua malam itu. Dalam keadaan gelap, "Assalamualaikum Ibu," mereka sudah datang membawa senter di tangan. Awalnya hanya beberapa anak. Namun, semakin malam satu per satu anak datang untuk belajar. "Wah, Ibu kira kalau mati lampu kalian tra mau datang," kataku. "Datang Ibu, katong (kami) mau belajar, besok ulangan, lampu padam trapapa," kata salah satu anak.

Karena kurangnya penerangan - hanya penerangan dari lampu tenaga surya, malam pertama mati lampu itu kami buat lomba siapa cepat jawab grupnya dapat angka. Tak hanya soal dan jawaban yang terdengar, tapi suara mereka saling mengejek, mengobrol atau berebut mengacungkan tangan sambil meneriakan jawaban mendominasi malam bercahaya bintang, kebetulan malam itu terang bulan.

Awalnya aku tak begitu ambil pusing, namun lama-lama karena suaraku mulai kalah dengan suara mereka - padahal sudah ku beri aba-aba agar mereka lebih tenang, dan aba-aba itu tak bertahan lama, belum 1 menit, suara-suara mereka memecah keheningan malam lagi. Akhirnya aku menantang mereka lomba diam selama 1 menit. "Ayo, anak-anak Ibu, Ibu ada lomba, Nak. Siapa yang tahan diam satu menit berarti menang ya?" tantangku pada mereka. "Yak, dimulai!" Mereka mulai sibuk untuk "diam".

Tiba-tiba teras rumah menjadi hening. "10 detik," kataku mengingatkan. Tak berapa lama kemudian, ada sekitar dua sampai tiga anak tertawa. Tak tahan. "Yak, Horiq, Faruq, Aji mati ya," kataku. "Yah..." kata mereka. Kuingatkan lagi sampai waktunya habis. Beberapa anak mengalami nasib yang sama dengan 3 kawannya tadi, tak tahan dan tertawa. "Yang menang, Nahia, Rizal, Ihron, Atika ya," "Yes!" kata mereka. "Ibu, ulangi," pinta Horiq.

Sepertinya dia tidak mau kalah. "Baiklah, sekarang lima menit ya," tantangku lagi. "Siap? Yak, mulai!" kataku. Rupanya anak-anak lebih serius di lomba yang ke dua ini. Dengan waktu yang lebih panjang, lebih banyak yang bertahan untuk diam agar menang. Untuk sementara waktu, "lomba diam" ini cukup membantu.

Itu kulakukan beberapa kali saat mereka belajar siang dan malam. Inginku agar mereka lebih tenang saat mengerjakan tugas, tidak mengganggu orang rumah dan tetangga, serta menghemat energi mereka agar bisa berpikir jernih.

Namun bagi anak-anak SD Inpres Kampung Baru, menjadi diam itu bukanlah keahlian mereka. Menjadi ramai dan bersemangat itulah mereka. Mungkin meminta sedikit waktu mereka untuk mendengarkan guru itu tidak mudah, tapi aku yakin justru mereka lebih mendengarkan saat mereka membuat keramaian (semoga...). Anak-anakku kalian memang spesial dan luar biasa bersemangat! :D


Cerita Lainnya

Lihat Semua