Mawar, Kenapa Menangis?
Laila Tri Nurachma 11 September 2014Anak-anak, ya setiap manusia juga sih, memiliki karakteristik yang beragam. Ada yang pendiam, cerewet, bossy, jagoan, macam-macam lah. Dari 44 murid di sekolahku, ada seorang anak perempuan yang sejak hari pertama aku datang ke sekolah sudah menarik perhatianku. Mari kita sebut saja dia Mawar (untuk menjaga nama baik anak tersebut saya sengaja samarkan namanya).
Hari pertama mengajar saya membawa kamera saku saya ke sekolah. Beberapa anak langsung mendatangi saya dengan mata penuh penasaran ingin mencoba kamera saya. Salah satunya Mawar. Aku pun menyerahkan kameraku sambil mengajari bagaimana penggunaannya dan cara memegangnya yang aman.
Cekrek, cekrek, cekrek. Mawar dengan cekatan mengambil momen-momen di hari pertama sekolah yang sekaligus menjadi hari pisah sambut kepala sekolah di sekolah kami. Kemudian, kamera pun berpindah tangan ke anak-anak lainnya.
Di hari-hari berikutnya, Mawar selalu menanyakan, “Bu, mana kameranya? Mau pinjam.” Aku pun meminjamkan kameraku dan memintanya untuk berbagi dengan yang lain. Gantian lah maksudnya. Pernah satu waktu saya tak mau meminjamkan kamera pada Mawar karena dia sudah melakukan perilaku yang tidak sopan pada temannya (mukulin temannya). Saya katakan pada dia, “Mawar, Ibu gak mau meminjamkan kamera Ibu pada anak yang berbuat nakal. Kalau kamu sudah bisa jadi anak yang berbuat baik baru Ibu pinjamkan lagi.” Ya, benar saja, besoknya dia berperilaku manis pada teman-temannya.
Tapi, kawan, sayangnya behavioral shaping tidak semudah menasihati satu kali saja. Suatu sore yang cerah, kepala sekolah kami mengarahkan anak-anak untuk latihan gerak jalan. Ceritanya persiapan lomba HUT RI di kecamatan. Karena mayoritas anak-anak di sekolahku adalah anak-anak yang sangat aktif, mengarahkan anak-anak itu untuk bisa berbaris rapi lalu berjalan dengan benar menjadi usaha keras sendiri. Sebelas anak perempuan berhasil cukup tenang dan tetap berbaris dalam waktu yang cukup lama. Berbeda dengan tujuh anak laki-laki yang baru jalan beberapa meter langsung bubar jalan (bahkan jumlah barisannya kurang dari sebelas).
Di dalam barisan sebelas anak perempuan tersebut, wajar jika ada yang saling bergurau, gangguin temennya, jalannya belum benar, namanya juga anak-anak yang baru belajar gerak jalan. Tapi, ketika barisan berjalan ke arah laok (selatan), keributan terjadi. Seorang anak kelas enam menangis. Ketika kutanya pada teman-temannya ternyata penyebabnya adalah Mawar berteriak ke kuping Misla, anak kelas enam yang menangis. Kudekati Misla, kutanyakan apa dia mau melanjutkan latihan atau tidak, dijawab tidak. Maka kuminta jika dia sudah siap latihan untuk langsung masuk ke dalam barisan.
Anak-anak perempuan lainnya saya latih untuk haluan kanan-kiri. Tak berapa lama, Misla pun bergabung kembali ke barisan dengan wajah memerah karena menangis. Barisan siap kembali ke sekolah. Tapi, dasar sayanya yang kekeuh pengen melatih tanggung jawab anak-anak, maka saya pun berniat untuk memisahkan Mawar dari barisan dan ngobrol-ngobrol ringan terkait perilaku yang baru saja ia lakukan pada kakak kelasnya (fyi, Mawar baru kelas empat).
Pemimpin barisan kuminta untuk membawa barisannya kembali ke sekolah, tapi kuminta Mawar untuk tetap bersamaku. Kupegang tangannya Mawar, bersiap untuk bertanya langsung ke matanya, tiba-tiba Mawar langsung menangis. Mawar tiba-tiba nangis dan meronta padaku. Dia bahkan nyaris menggigit tangaku. Mawar mulai tantrum dan menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Dia menangis sambil kokosehan di tanah. Dengan keributan ini, beberapa warga dan anak-anak ‘menonton’ kami.
Merasa tatapan orang-orang mulai mengancam Mawar, karena selain tatapan juga ada selentingan-selentingan miring padanya, aku pun ‘mengusir’ orang-orang dari TKP. Maka, tinggal aku dan Mawar saja yang berada di sana. Dengan menggunakan ‘taktik Teguh’ (usap-usap kepala) sambil memegang tangannya Mawar, kukatakan, “Mawar, sayang, kenapa nangis? Ibu nggak mau marahin kamu kok. Kamu kenapa, sayang? Mawar mau cerita gak sama Ibu?”
Cukup lama kami berada di kondisi gak jelas (Mawar yang menangis dan aku yang bingung dia kenapa). Selama masa tersebut aku sempat bertanya tentang kondisi keluarganya pada seorang warga. Ternyata, Mawar hanya tinggal bersama neneknya karena kedua orang tuanya sudah bercerai dan kini tinggal di Malaysia. Hatiku pun seketika iba padanya.
Kondisi gak jelas ini akhirnya terpecahkan setelah kukatakan pada Mawar, “Mawar, kalau kamu sudah siap, yuk kita ke sekolah sama-sama. Kita berdoa dulu baru pulang.” Mawar pun mengangkat tubuhnya dari tanah dan berjalan bersamaku ke arah sekolah.
Analisis sotoyku yang cuma sarjana psikologi ini menyatakan bahwa, selayaknya semua manusia yang butuh cinta dan kasih sayang, begitu pun yang dirasakan Mawar. Perilakunya selama ini yang sangat aktif adalah salah satu cara seeking for attention. Sebenarnya banyak sih anak-anak yang jadi yatim piatu karena orang tuanya cerai dan ditinggal ke Malaysia, mungkin yang membedakan Mawar dengan yang lain adalah cara penerimaan Mawar terhadap keadaan, atau alasan lain yang lebih personal.
Perilaku Mawar ini sebenarnya sudah pernah dibahas sebelumnya dengan guru sekolahku. Beware! Menjadi kata yang disandingkan dengan Mawar. Hmmm... bahkan guru pun berpikir seperti itu ya? Bukankah tugas pendidik adalah mendidik anak, termasuk perilakunya? Aku tak tahu apakah pendekatanku pada Mawar sudah tepat atau belum. Satu hal yang pasti, saat itu aku bersikeras tidak mau meninggalkan Mawar sendirian dalam keadaan mengamuk. Aku ingin meyakinkan padanya bahwa aku menerimanya dan aku hanya ingin memahaminya.
Pertanyaanku mulai terjawab keesokan harinya ketika aku main ke madrasah tempat Mawar sekolah agama. Tiba-tiba ia datang dan memelukku sambil mengatakan “Bu, maaf ya yang kemarin.” Sambil menunjukkan senyumnya yang manis, Mawar meminta maaf padaku. Aih Mawar, Ibu mah gak marah sama kamu, Ibu malah khawatir karena kamu tiba-tiba nangis. Jadi, Mawar kenapa menangis? Dia cuma cengegesan sambil lari-lari ke kelasnya.
Oh, child’s life....full of puzzle
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda