Naik Ketinting
Khairil Hanan Lubis 7 Agustus 2012
“Pak Hanan, ada ketinting ke Lamdesar Barat nanti jam 10.00, mau ikut naik kah?”
Ibu Balak, salah seorang guru di sekolahku mengabarkan via telepon. Pagi itu aku masih di Larat, setelah menginap satu malam untuk persiapan KKG kecamatan.
Aku tak langsung mengiyakan. Selain waktunya mepet, juga tak bawa pelampung. Aku memang rencananya pulang dengan ojek, bahkan sudah membuat janji dengan bapak ojeknya untuk berangkat tengah hari.
Akhirnya aku pilih naik ketinting. Selain belum pernah, aku juga bisa membawa tripleks yang memang kurencanakan di beli di Larat untuk membuat pintu kamar. Kata Bu Balak, Ibu Pia yang juga guru di sekolah pun turut naik. Ini juga kesempatan untuk lebih dekat dengan mereka.
Ketinting itu sampan yang diberi mesin tempel. Kali ini menggunakan dua mesin. Lebarnya hanya muat untuk satu orang duduk. Tak ada tutup atasnya. Aku pun duduk di depan sambil memegangi tripleks yang diberdirikan di sisi kanan perahu.
Awal naik cukup enak. Masih berjalan di pinggir pantai dan airnya tenang. Ketinting pun perlahan mulai mengarah ke tengah, air yang lebih dalam.
Tiba-tiba, Byuuur! Air laut menyiramiku. Baju, celana, hingga tas kamera yang dipakai pun basah seketika. Asin garam langsung memenuhi mulut. Mata pun mulai perih. Ini rupanya bentuk perkenalan Laut Banda padaku.
Selanjutnya, air pun terus-menerus membahasi. Rupanya, naik ketinting ini memang harus basah. Pantaslah tadi barang-barang di tutupi terpal sebelum berangkat.
Untungnya waktu di Saumlaki sempat beli kupluk ninja. Langsung jadi andalan untuk menutupi wajah. Tapi seluruh kain yang melekat di tubuh tak bisa dilindungi. Semua basah.
Setelah dua jam berjalan, perahu mulai melambat. Mesinnya dimatikan satu. Ternyata air sedang meti (surut), tepatnya di pesisir desa Kelan. Ini desa terakhir sebelum Lamdesar Barat. Tak lama perahu pun kandas, sudah semakin dangkal. Mesin dimatikan dan jangkar diturunkan. Jalan satu-satunya untuk jalan sebenarnya lewat laut lepas, tapi resikonya melewati ombak tinggi. Pemilik perahu memilih menunggu air naik. Kami pun berdiam diri saja di sana.
Air lautnya jernih, terlihat rumput-rumput dan bebatuan tumbuh di pasirnya. Deburan ombak terdengar dari laut lepas. Aku menikmati suasana menunggu itu meski sambil kedinginan. Matahari juga tak terlalu terik. Macam liburan saja rasanya.
Setelah satu jam tak ada tanda-tanda air akan naik, pemilik perahu akhirnya memutuskan untuk mengambil resiko gelombang tinggi, melewati laut lepas. Ombak yang datang dari depan rasanya seperti mau menerkam. Lumayan seram untuk ukuran aku yang tak bisa berenang ini. Liburan rupanya sudah berakhir.
Akhirnya aku pun rebahan saja bersandar pada tumpukan barang sambil menahan mual dan dingin. Badan semakin basah kuyup dan angin semakin kencang. Tangan tetap memegang tripleks. Mata ditutup. Pasrah.
Aku terbangun mendengar suara Ibu Balak yang memanggil namaku. “Pak Hanan, ini sudah mau dekat. Tinggal lewati tanjung saja, sampai Lamdesar Barat,” katanya.
Air memang sudah tenang. Ketinting kembali berjalan di pinggiran pesisir. Pemandangannya luar biasa indah. Di pesisir terlihat batu-batu karang besar. Terdengar jelas suara-suara burung dari dalam hutan. Sesekali ada pantai-pantai kecil dengan pasir putih.
Kupluk tak lagi ku pakai. Aku terus merekam suasana indah itu dengan jepretan-jepretan kamera. Inilah nikmatnya naik ketinting.
“Welcome to Lamd-Barat”. Begitu tulisan pada sebuah pamflet yang terpasang di atas batu besar. Tepat di tengah, seolah menjadi pintu masuk ke desa ini. Beberapa meter di sampingnya, juga ada pamflet dengan bentuk yang sama bertuliskan “Ale Rasa Beta Rasa”. Apa yang kau rasa, itu yang ku rasa. Jadi siapapun orang yang datang ke sini, masyarakat Lamdesar Barat akan sama-sama menanggung rasa susah dan senangnya.
Suasana mulai ramai. Terlihat beberapa anak dari atas perahu mengambil rumput laut atau biasa mereka sebut agar-agar.
Di pantai aku melihat keluarga piaraku juga sedang memasukkan rumput laut hasil panen mereka dari atas perahu ke dalam karung. Ada Cemo dan Agus yang membantu Pak Ohi.
Berangkat dari Larat pukul 12.20 WIT, dan tiba di desa pukul 17.25 WIT. Darat dan laut –dua jalur transportasi menuju desa, sudah ku jalani. Naik ojek, oto (truk), ketinting. Tinggal satu lagi berarti, motor laut.
Salam,
Manise Tanah Beta!
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda