info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

SEBAIKNYA JANGAN DULU PULANG

Junarih Jun 3 Februari 2011
Pekan ke tujuh di Labuha. “Asw, Jib minta tolong tanyain pak Hamdi kapan anak-anak bagi rapot?” Kira-kira begitu SMS saya ke Ajib diakhir minggu ke enam. Saya sudah janji ke kepala sekolah akan pulang dan akan ada di sekolah saat bagi rapot siswa. “Ok, Sob tar gw tanya dulu.” Begitu kira-kira jawaban Ajib. Esoknya Ajib SMS lagi, “Sob, kata kepala sekolah bagi rapot nanti setelah libur, masih ada anak-anak yang rapotnya belum ada. Sawang Akar lagi panas tuh, kata pak Hamdi sampai ada yang bawa parang segala.” Saya hanya menghela nafas panjang dan sedikit nyesel diam-diam dalam hati saya bilang,”Hfuhhh...sudah ku duga.” ***** Berawal dari tidak adanya ruang perpustakaan, laboratorium, ruang guru dan kepala sekolah saya berinisiatif membuat rumah  dengan bantuan masyarakat desa. Rumah ini kemudian kami sebut menjadi rumah pintar yang kemudian berubah lagi menjadi rumah belajar. Kenapa rumah? Karena saya pikir ini juga akan jadi solusi bagi sering tidak hadirnya kepala sekolah karena beliau tinggal di kampung sebelah, di desa ini beliau tidak punya rumah. Saya cukup mengerti kalau kepala sekolah sering tidak bisa datang ke sekolah. Menurut curhatan kepala sekolah cuaca kadang jadi faktor utama sedang yang lain tentu saja bensin perahu ketintingnya. Dengan gaji kepala sekolah yang tidak seberapa, ditambah tanggungan di rumah yang cukup banyak, tiga orang anak dan serorang istri, tentu beliau harus sangat hati-hati mengeluarkan uangnya, salah-salah bisa jadi defisit setiap bulan. Alasan lain, karena kepala sekolah telah berkomitmen mau tinggal di desa ini dan datang ke sekolah setiap hari apabila ada rumah tinggal.  Kepala sekolah bukan hanya akan mengawasi jalannya proses pembelajaran tapi juga Ia akan lebih sering terlibat mengajar karena sekolah ini kekurangan guru. Tentu ini akan menjadi keuntungan bagi siswa dan guru yang ada. Alasan-alasan pendukung yang lain, saya tentu akan punya rumah tinggal yang memungkinkan pola ajar, latih, dan asuh diterapkan ke siswa. Kemudian, tinggal dengan kepala sekolah memungkinkan terjadinya koordinasi setiap waktu. Yang lain, satu ruang di rumah ini akan digunakan sebagai ruang baca yang dapat diakses dua puluh empat jam, siswa laki-laki dibolehkan menginap oleh kepala sekolah, dan satu ruang lagi akan didesain jadi galeri sains tempat siswa melakukan penelitian dan memamerkan karya-karyanya. Terakhir, tidak menutup kemungkinan tahun depan dan tahun-tahun berikutnya, penduduk yang rumahnya ditinggali pengajar muda akan merasa direpotkan, rumah ini akan menjadi rumah tinggal pengajar muda pengganti saya. Semua alasan pentingnya rumah ini pertama-tama saya sampaikan ke kepala sekolah. Kepala sekolah setuju. Hari berikutnya, bersama kepala sekolah, saya sampaikan pula ke ketua komite sekolah, guru yang lain, dan kepala desa. Syukur tidak ada hambatan. Malam itu juga, kepala desa mengundang seluruh kepala keluarga berembuk masalah ini. Akhirnya ditetapkan keputusan masing-masing kepala keluarga akan membayar iuran sebesar lima belas ribu rupiah. Kalkulasi kasar waktu itu, dengan lima belas ribu rupiah per kepala keluarga maka uang yang bisa diperoleh sekitar enam ratus ribu, cukup untuk sewa chainsaw buat potong kayu dihutan. **** Tiga minggu kemudian. Tampaknya belum ada tindak lanjut dari rapat yang sudah diadakan, malah dari komite sekolah saya dengar ada sekelompok masyarakat yang tidak setuju dengan pembangunan rumah itu. Suatu sore, secara kebetulan saya singgah ke rumah pak Haidid, sekertaris desa. Saya dengar dari anak-anak kalau pak Haidid adalah guru ngaji di desa ini. Jangan sampai beliau tersinggung, saya bermaksud minta izin agar dibolehkan mengajar ngaji juga di desa ini karena banyak orang tua yang minta saya mengajar ngaji untuk anak-anak mereka. Pak Haidid tidak keberatan malah sangat senang dan terbantu. Kemudian, saya juga sampaikan kalau saya berkeinginan membuat rumah sebagai tempat anak-anak belajar selepas sekolah. Di kesempatan itu saya juga minta pertimbangan-pertimbangan beliau tentang adanya sekelompok masyarakat yang masih belum setuju dengan gagasan itu. Pak Haidid janji akan membantu masalah ini. Pak Haidid juga kasih saran agar saya silaturahmi dengan pak Saleh karena menurutnya pak Saleh adalah orang yang memiliki tanah yang akan digunakan untuk membangun rumah itu. Esok harinya, sesuai saran pak Haidid, saya silaturahmi ke rumah pak Saleh. Menurut cerita banyak orang desa, watak pak Saleh ini sangat keras, sekali Ia tidak suka dengan pendapat orang lain Ia tidak segan-segan mengusir orang tersebut dari rumahnya. Selepas maghrib, saya singgah ke rumahnya. Dengan sangat hati-hati dan dibuat sesantun mungkin saya sampaikan maksud kedatangan saya sama beliau. Saya bilang kalau saya ingin minta izin agar boleh membuat rumah untuk anak-anak belajar selepas sekolah tepat di depan sekolah. Respon pak Saleh sangat baik. Ia sangat senang saya mampir dan menyampaikan gagasan itu secara terbuka ke beliau. Beliau juga sangat senang bisa membangun komunikasi dengan pihak sekolah yang menurut beliau selama ini tidak pernah terjadi padahal sekolah berdiri diatas tanah leluhurnya. Pada dasarnya pak Saleh sangat setuju dengan ide pembuatan rumah itu tapi menurutnya sebaiknya jangan ditempat yang sudah ditentukan kepala desa dan masyarakat, beliau ingin rumah itu dibangun di tanah sebelahnya, sedikit ke arah barat. Saran pak Saleh ini sangat beralasan, beliau bilang tanah yang saya maksud sudah diberi ke orang lain jadi kalau orang yang dikasih datang dan menanyakan tanah itu, pak Saleh tentu akan sangat susah hati. Saya janji sama pak Saleh akan menyampaikan hal itu ke kepala desa. Sebelum pamit saya juga sampaikan banyak terimakasih atas bantuannya. Esok harinya lagi, selepas isya, tiba-tiba kepala desa dengan beberapa aparat desa dan ketua komite sekolah datang ke rumah tempat saya tinggal. Saya pikir inilah waktu yang tepat untuk menyampaikan apa yang saya janjikan ke pak saleh. Di luar dugaan, ternyata pak kepala desa menolak saran pak Saleh. Menurutnya, tanah itu adalah tanah desa dan lagi pula tidak ada yang lebih berhak memutuskan seorang pendatang boleh memiliki tanah di kampung ini kecuali pak kepala desa. Kondisinya buat saya jadi serba salah, saya pikir selagi semua bisa terfasilitasi mengapa harus ada yang merasa dirugikan. Saya sudah berusaha membujuk kepala desa, saya bersedia mengalah dan membangun rumah itu ditempat lain yang pak Saleh juga setuju. Alih-alih bujukan saya menyelesaikan masalah, pak kepala desa membuat garis tegas wilayah kerja saya. Pak kades bilang, “Mas Jun, ini urusan internal desa, mas jun kerjanya mengajar dan biar masalah ini saya dan masyarakat yang menyelesaikan.” Saya sudah tidak bisa membujuk lagi. Saya hanya minta saran kalau seandainya pak Saleh tersinggung dan memusuhi saya hingga tugas mengajar saya terganggu, apa yang mesti saya lakukan? Saya sangat watir misal tiba-tiba ketika saya sedang ngajar pak Saleh marah-marah di depan saya. Menurut Ibu Rus Ini mungkin terjadi karena beliau pernah dapat semprot dari pak Saleh. Pak Kades bilang,”Mas Jun tidak usah khawatir, keamanan Mas Jun jadi tanggung jawab saya dan seluruh masyarakat desa ini.” Saya merasa sedikit tenang. Kemudian, obrolan dilanjutkan dengan topik yang tidak lagi terarah, saya sendiri sudah lupa apa saja yang kami bicarakan malam itu selain tentang ide pembuatan rumah. **** Seminggu sejak pak Kades dan seluruh aparat singgah ke rumah tempat saya tinggal, dari ketua komite saya tau belum ada satu pun kepala keluarga yang membayar uang iuran. Saya lantas tanya ke ketua komite sekolah,”Apa ini semua membebani penduduk, Pak?” ketua komite hanya bilang,”Pendidikan yang berkualitas memang butuh pengorbanan, biar sudah orang tua itu sedikit berkorban untuk kebaikan anak-anaknya.” Ada perasaan terharu mendengar jawaban pak Komite sekolah. Namun rasanya berharap rumah ini segera terwujud saya pikir sangat sulit. Saya harus bersabar dan menahan diri sambil terus berusaha menghangatkan isyu. Diskusi terus dilakukan setiap kali ada kesempatan. Entah di ruang guru, di rumah Ketua Komite sekolah, atau dalam kunjungan-kunjungan iseng ke rumah pak kepala desa. Sebuah ide dari kepala sekolah,”Barangkali kita harus mengadakan rapat orang tua siswa karena yang akan merasakan dampak positif langsung dari rumah ini adalah para siswa.” Ide ini lantas di setujui oleh kepala desa, komite sekolah, dan guru-guru. Dua hari kemudian, entah apa yang diumumkan pejabat desa di corong speaker masjid, saya tidak mengerti karena pengumuman rapat orang tua murid itu disampaikan dalam bahasa suku makian, yang jelas paginya sekitar pukul 10 WIT, orang tua murid berkumpul. Dalam pertemuan itu juga hadir kepala desa, ketua komite sekolah, guru-guru dan saya. Rapat orang tua murid kali itu sebagian besar isinya adalah penyampaian tentang pentingnya rumah itu dan ajakan agar seluruh orang tua murid mau membantu. Alhamdulillah, saat rapat itu selesai, banyak dari orang tua murid yang ternyata sudah menyiapkan uang iuran yang besarnya telah ditentukan sesuai kesepakatan. Saya merasa lega, sebuah langkah awal telah dilakukan. Dari rapat itu juga disepakati, penancapan tiang rumah akan dilakukan pada hari selasa pekan ke tujuh. Dalam agenda bulanan yang telah saya bikin, pekan ketujuh adalah pekan dimana saya ada di Labuha. Sebenarnya saya bisa saja pulang untuk menyaksikan awal penancapan tiang rumah itu tapi lebih baik mungkin saya jangan dulu pulang. Saya tentu akan merasa sangat bersalah kalau nanti terjadi keributan anatara pak Saleh dan Kepala desa. Dan benar dugaan ku. Pagi itu ajib SMS, “Sob, kata kepala sekolah bagi rapot nanti setelah libur, masih ada anak-anak yang rapotnya belum ada. Sawang Akar lagi panas tuh, kata pak Hamdi sampai ada yang bawa parang segala.” Saya hanya menghela nafas panjang dan sedikit nyesel diam-diam dalam hati saya bilang,”Hfuhhh...sudah ku duga.” Kemudian saya diskusikan ini dengan bu Poni, fasilitator kabupaten Halmahera Selatan. Beliau juga menyarankan saya agar jangan pulang dulu dan berusaha menengahi masalah itu, nanti saya bisa jadi bulan-bulanan dua pihak yang bertikai. Atas usul bu Poni, akhirnya saya berencana tinggal di Labuha sampai tanggal 8 Januari 2011 dan baru akan pulang ke desa tanggal 9 Januarinya.

Cerita Lainnya

Lihat Semua