MARAH VS MEMARAHI

Junarih Jun 13 Februari 2011
“Marah berbeda dengan memarahi, marah adalah luapan emosi yang tidak terkontrol sedangkan memarahi adalah sebuah seni bermain peran”  Terang Bang Ad. Bang Ad adalah salah satu orang yang sering saya mintai pendapat ketika saya masih berkegiatan di Masjid Salman. Sekali waktu Ia pernah bercerita tentang marah vs memarahi, saya menangkapnya seperti ini : marah itu tidak boleh, marah itu tidak ada tujuannya dan tidak ada gunanya, hanya sekedar melampiaskan kekesalan dan amarah. Tapi memarahi itu boleh, memarahi ada tujuannya, memarahi bukan sekedar menumpahkan kekesalan dan amarah, memarahi adalah kemampuan bermain peran. Ketika hati dan kepala sama panasnya dengan gaharnya ekspresi wajah maka saya sedang marah tapi ketika hati dan kepalamu dingin meski saya menampakkan gaharnya wajah maka saya tidak sedang marah tapi memarahi. Dan dua hari di minggu ketiga semester genap ini saya memainkan peran itu lagi. Sulit? Tidak rasanya, bagi saya lebih sulit memasang muka manis, ramah, dan baik hati daripada berakting jutek, dingin, sinis, skeptis, dan tanpa perasaan. ***** “Kenapa ngana tara mau diam?” “Kenapa ngana selalu baribut dan berkelahi, baku pukul dengan teman ngana?” “torang so janji tarada lagi baku pukul di kelas ini, torang semua satu keluarga!” “Ngana so melanggar peraturan kelas, jadi besok kelas ini libur, besoknya lagi libur, besoknya lagi libur! Bapak so tara mau ngajar ngana semua.” “Bapak mau ngajar kelas 4 saja” Saya keluar kelas dan memutuskan untuk menghentikan pelajaran karena ada yang berkelahi di kelas. Dan semua anak kelas 5 dan 6 yang saya gabung jadi satu kelas kini punya kasus yang harus mereka selesaikan. Sebenarnya yang berkelahi hanya dua orang tapi waktu itu saya memilih memarahi satu kelas daripada melerai dua orang yang berkelahi itu. Tampak tidak adil memang. Tapi ada tujuan yang ingin saya raih daripada hanya sekedar bertindak adil di kelas. Saya mau setiap orang menghargai orang lain di kelas saya, saya mau tidak ada lagi anak berkelahi di sekolah. Sudah lebih dua bulan saya membangun iklim seperti itu di sekolah ini. Sebenarnya mulai kelihatan berhasil, intensitas anak-anak berkelahi menurun, tapi belum tuntas, saya ingin sifat mereka yang suka berkelahi berubah menjadi sifat suka menghargai orang dan mengasihi sesama. Oleh karena itu, saya pikir momen kali ini adalah momen yang pas untuk memberi mereka kasus sesungguhnya agar mereka berdiskusi, berfikir, saling tolong dalam memecahkan masalah ini karena saya tau persis mereka sangat tidak suka saya berhenti mengajar apalagi pindah mengajar kelas lain. Saya tau mereka berdiskusi setelah saya keluar kelas tapi apa yang mereka diskusikan saya tidak bisa paham betul karena mereka menggunakan bahasa suku makian. Lagi pula, waktu itu saya tidak ingin mencampuri urusan mereka dengan tetap ada di kelas. Sampai bel pulang berbunyi tidak ada yang anak-anak itu lakukan. Entah belum ada keputusan mau melakukan apa atau mau menguji keseriusan saya. Saya memanggil Fahri, salah satu siswa kelas 6, dan meminta agar kelas dibubarkan tanpa ada saya seperti biasanya untuk menunjukan ke anak-anak itu bahwa saya serius memarahi mereka. Besoknya, pagi-pagi, semua anak kelas 5 dan 6 sudah berkumpul dalam kelas. Kelas sudah sangat bersih dan rapih, mereka pun dengan sigap duduk di kursi masing-masing ketika saya baru saja masuk gerbang sekolah. Begitulah kelakuan murid-murid saya, mereka selalu merayu saya dengan kelas bersih, duduk rapih seolah siap menerima pelajaran ketika saya sedang memarahi mereka seperti sebelumnya. Dan biasanya saya mengalah. Tapi kali ini tidak, sudah sejak sepuluh meter di luar pintu gerbang saya memulai akting. Saya memasang wajah dingin, sinis, dan tanpa perasaan. Saya melintasi mereka tanpa melirik sedikitpun seolah mereka tidak ada sama sekali. Saya pikir ini pasti menyakiti perasaan mereka tapi tak apa toh saya hanya sedang berakting. Biasanya saya langsung masuk kelas, tapi kali ini juga tidak, saya langsung menuju ruang guru dan berdiam di sana. Saya harus konsisten dengan kata-kata saya, “Ngana so melanggar peraturan kelas, jadi besok kelas ini libur, besoknya lagi libur, besoknya lagi libur! Bapak so tara mau ngajar ngana semua.” Berdiam di ruang guru sebenarnya tidak enak sama sekali, bengong, sepi, dan kelihatan tambah bego dari yang sudah bego saat ini. Saya harap anak-anak itu menjemput saya diruang guru dan merajuk agar saya mau mengajar lagi tapi ternyata sampai satu jam saya berdiam di ruang guru tak ada satu pun dari mereka yang muncul dan mewakili minta maaf. Saya mulai bosan nganggur di ruang guru. Akhirnya lagi-lagi saya harus ngalah, saya harus mengajar mereka lagi. Ok, kali ini saya kalah lagi. Saya keluar ruang guru dan menuju kelas. Di tengah jalan saya melihat Nurlaini, salah satu murid kelas 6, yang baru saja keluar kelas. Nurlaini balik arah dan masuk kelas lagi. Kemudian saya masuk kelas tetap dengan wajah dingin, sinis, dan tanpa perasaan. Tanpa salam, saya langsung duduk di meja guru. Suasana hening, tidak ada satupun dari anak-anak itu yang berani bicara, semuanya tertunduk. Saya memandang sekeliling, anak-anak semakin merunduk ketika saya liatin mereka satu-satu. Kemudian, secara tidak sengaja mata saya tertuju pada tulisan besar-besar di papan tulis.

PAK JUN, TOLONG BALIK LAGI, AJARI KAMI LAGI

KAMI JANJI TIDAK AKAN BERKELAHI LAGI .......... LOVE YOU

Hampir saja akting saya gagal setelah melihat tulisan besar-besar itu, saya nyaris tidak bisa menahan tawa. Saya sangat tidak menyangka mereka akan menuliskan itu untuk saya. Saya sangat senang tapi saya tetap tidak mau mengakhiri akting saya sampai di sini. Saya harus mengikat mereka dalam komitmen yang kuat untuk tidak lagi berkelahi dan saling menyayangi satu sama lain. Buru-buru saya memperbaiki akting saya. “Bapak tau kalian menyesal sudah berkelahi di kelas tapi menyesal saja tidak cukup. Bapak ingin kalian saling menyayangi, baku bantu dan baku tolong.” Saya sengaja mengambil jeda dan membiarkan kata-kata saya mereka resapi. “Ngana betul janji tarada baku hantam lagi?” “Saya!” Semua anak serentak menjawab, “Saya” dalam bahasa lokal artimya iya. “Janji?” “Saya!” jawab mereka lagi. “Bagaimana kalau ada yang berkelahi lagi?” “Dikeluarkan, Pak.” Anak-anak itu menjawab. “Tidak, Bapak tidak ingin mengeluarkan siapapun dari kelas.” Anak-anak diam. Saya ngerti mungkin inilah kesepakatan antar mereka untuk memecahkan masalah ini. Saya lantas berjalan ke belakang kelas dan mengambil lakban coklat. Saya membuat persegi ukuran 1 m2 dua kali mepet ke tembok. “Siapapun yang berkelahi lagi, berdiri di situ dan tetap ikut belajar.” Saya menunjuk dua persegi yang baru saja saya bikin. “Dan menghadap tembok sampai pelajaran selesai, setuju?” Saya menambahkan. “Setujuuuu..........” Dan kemudian pelajaran hari itu pun dimulai seperti biasa. Sebenarnya dua persegi yang saya bikin itu bukan untuk menghukum mereka, hanya sekedar untuk mengingatkan mereka bahwa mereka sudah berjanji tidak akan berkelahi lagi. Dua persegi itu hanya sebatas visualisasi dari sebuah komitmen semua orang untuk saling menyayangi sesamanya. Saya sangat berharap tidak akan ada yang berdiri di sana tapi kalaupun harus ada paling tidak anak-anak yang berdiri di sana tetap bisa menyimak pelajaran sampai selesai. Kenapa harus menghadap tembok? Tentu karena mereka berdiri dan tidak bisa menulis tanpa meja jadi harus menghadap tembok. Haa.............. Sepertinya saya salah menulis waktu itu. Mengajar adalah mencintai mungkin seharusnya Mengajar adalah saling mencintai. Kita lihat satu bulan lagi apakah ini bekerja dengan baik atau tidak.

Cerita Lainnya

Lihat Semua