Keluarga Baru di Kampung Baru

Junarih Jun 3 Februari 2011
Sawang akar, mungkin sebagian orang Indonesia tidak mengenal dua kata ini, kecuali orang-orang Maluku Utara, terutama orang-orang Halmahera Selatan. Dua kata ini adalah nama salah satu desa terpencil di Indonesia yang saat ini dan satu tahun kedepan akan saya tinggali. Di desa inilah saya akan mengabdikan satu tahun hidup saya, mengajar, menginspirasi, melatih dan mengasuh anak-anak SD. Sudah satu minggu, sejak tanggal 12 Nopember 2010 kedatangan pertama saya di desa ini, saya tinggal di desa ini. Saya tinggal dengan keluarga kecil pak Mustafa. Pak Mustafa adalah salah seorang pemuka masyarakat yang cukup disegani meski usianya baru kisaran 37 tahun. Ia adalah salah seorang imam dan khotib di desa ini. Pak Mustafa tinggal bersama seorang istrinya, bu Masfa, dan ketiga anaknya, Yani, Yana dan Sri. Yani adalah anak pertama dan usianya sekarang sekitar 10 tahun, Yana adalah anak ke dua dan usianya saat ini sekitar 8 tahun dan Sri adalah anak terakhirnya yang saat ini usianya sekitar 1 tahun. Pak Mus bekerja sebagai nelayan bagan sekaligus berkebun sedangkan bu Masfa hanya tinggal di rumah mengurus anak-anaknya yang masih kecil. Pendapatan keluarga pak Mus sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga kecilnya sehari-hari. Rumah pak Mus sangat sederhana, namun dibanding rumah-rumah penduduk desa ini pada umumnya, rumah pak Mus bisa dibilang relatif lebih baik. Rumahnya cukup luas, dindingnya tembok, atapnya seng, terdiri dari tiga kamar, satu kamar depan, satu kamar tengah, dan satu kamar belakang. Di kamar depanlah saat ini saya tinggal menginap dirumah beliau. Rumah pak Mus juga dilengkapi kamar mandi dan toilet yang layak namun sedikit berisiko karena toilet rumah ini tidak dipasangi pintu, hanya ditutup kain. Saya seringkali harus memberi tanda di depan toilet jika terpaksa harus “merenung” di atas kloset agar orang tidak menerobos masuk dan mengganggu “persemedian” yang sedang saya jalani. Keluarga pak Mus sangat baik memperlakukan saya. Setiap hari, sesuai kebiasaan penduduk setempat, bu Masfa selalu menyuguhi teh manis sebagai sarapan atau bahkan kadang-kadang nasi goreng jika ada sisa nasi semalam. Kemudian bu Masfa juga memasak dua kali sehari untuk makan siang dan makan malam keluarganya termasuk saya. Kebaikan beliau juga tidak berhenti sampai di situ, bu Masfa melarang saya mencuci baju, beliau setiap hari meminta atau bahkan mengambil sendiri baju-baju kotor saya di dalam kamar saat saya sudah berangkat ke sekolah. Sebenarnya ada perasaan tidak enak karena bahkan makanpun saya lebih didahulukan daripada anak-anaknya. Kalau pak Mus sedang tidak melaut, saya makan bersama pak Mus tapi kalau pak Mus sedang melaut, saya selalu makan sendiri baru kemudian bu Masfa dan anak-anaknya. Setiap hari selepas duhur biasanya pak Mus dan keluarganya istirahat tidur siang. Di saat-saat seperti ini pak Mus akan merasa sangat terganggu jika ada anak-anak membuat kegaduhan. Pernah sekali waktu, tiba-tiba berbondong-bondong anak-anak SD main-main di depan teras rumah pak Mus saat pak Mus dan keluarganya sedang istirahat siang. Saya sengaja tidak nimbrung ke anak – anak dan berdiam diri di kamar ingin memastikan apa yang akan pak Mus lakukan ke anak-anak SD itu. Ternyata benar, pak Mus jengkel dan meminta anak-anak itu berhenti bermain. Hal ini saya lakukan sampai beberapa hari dan tidak hanya diwaktu tidur siang pak Mus dan keluarganya, hasilnya tetap sama. Dari hal ini saya jadi tahu kalau pak Mus tidak suka dengan suara-suara berisik anak-anak. Dengan kejadian ini pula saya mungkin harus berfikir dua kali jika harus mengajak anak-anak SD main atau belajar ketempat saya tinggal, rumah pak Mus. Saya harus menghormati beliau yang tidak suka rumahnya gaduh karena anak-anak.

Cerita Lainnya

Lihat Semua