Hari Ini Saya Menangis

Intan Wahyuni 23 Januari 2011
Dinas Pariwisata Kabupaten Bengkalis mengadakan berbagai lomba di Pantai Selat Baru, salah satunya adalah lomba menggambar untuk SD, SMP, dan SMA di Bengkalis. SDN 32 Selat Baru mengirim 4 siswa untuk mengikuti lomba ini, yaitu Khairul, Salmon, Kiki, dan Aris. Sulit sekali mengajak mereka untuk mengikuti lomba ini. Terlalu banyak hal yang mereka khawatirkan, mereka takut dikucilkan, takut tidak ada yang mengantar, merasa rendah diri, dll. Selain itu, semuanya tidak mendapat izin dari orang tua. Namun, atas desakan kepala sekolah dan bantuan dari Pak Pendeta, para orang tua akhirnya mengijinkan anaknya ikut lomba. Ini adalah pengalaman pertama mereka ikut lomba, apalagi lomba ini setingkat kabupaten pasti ramai, banyak orang akan berpartisipasi. Saya menemani mereka latihan menggambar. Saya tidak mempunyai keahlian dalam menggambar atau melukis. Saya hanya bisa menemani, menyemangati mereka dan memberi sedikit masukan. Ketika 4 siswa ini menggambar Bu Murni (kepala sekolah) menghampiri saya dan bercerita banyak hal. Sebagian besar siswa disini kurang perhatian dari orang tuanya. Banyak dari mereka yang aktif, bicara dengan suara keras, sulit diatur, berpenampilan tidak bersih, tidak memakai sepatu bahkan tidak beralas kaki. Setiap guru harus selalu sabar dan terus memberi perhatian. Bu Murni selalu berkata bahwa setiap guru yang akan mengajar disini harus diimunisasi sabar terlebih dahulu. Sambil melihat ke arah Khairul, Bu Murni mulai bercerita tentang anak ini. Khairul adalah keturunan Suku Akit dan Jawa. Ibunya adalah TKI ilegal di Malaysia asal Jawa. Saat di Malaysia, Ibu Khairul tidak mengetahui bahwa suaminya adalah orang akit yang tidak mempunyai agama. Khairul dan Kakaknya lahir dan sekolah di Malaysia. Mereka berdua bersekolah di sekolah islam. Mereka pandai membaca Al-Qur’an dan pandai bahasa inggris. Khairul belajar di Malaysia sampai kelas 5 SD. Entah karena alasan apa, Khairul dan keluarganya pindah ke Bengkalis, kampung halaman si ayah. Di pulau inilah si ibu baru mengetahui kalau suaminya adalah orang akit. Di pulau ini Suku Akit berjumlah sedikit, hidup berkelompok, tingkat kesejahteraan rendah, dan dikucilkan oleh penduduk mayoritas jawa dan melayu. Di pemukiman ini datang seorang pendeta dari Manado, mengajarkan agama kristen. Kini, Khairul, ayahnya dan kakaknya beragama kristen. Kakak Khairul tidak melanjutkan sekolah karena di SDN 32 Selat Baru tidak ada rombel untuk kelas 6. Dia pun tidak mau sekolah di SD lain dengan alasan jarak yang jauh. Namun, Khairul tetep melanjutkan sekolah walau dia harus kembali menjadi siswa kelas 4 SD di SDN 32 Selat Baru. Dengan mata berkaca-kaca Bu Murni menceritakan tentang keluarga Khairul. Bel Istirahat berbunyi, saya berinteraksi dengan beberapa murid kelas satu. Di sisi lain ada seorang anak yang duduk dan bermain sendiri. Saya menghampirinya, Riki namanya. Riki tinggal bersama ayah dan neneknya. Ayahnya sudah lama sakit dan tidak kunjung sembuh sehingga hanya terbaring di rumah dan tidak bisa bekerja. Ibu Riki sudah meninggal dunia. Nenek Rikilah yang setiap hari bekerja dan merawat Riki juga ayahnya. Riki bercerita kepada saya dengan polosnya. Sambil mengelus kepala anak ini, saya berusaha untuk tidak mengeluarkan air mata. Di akhir jam pelajaran, ada seorang anak kelas satu menangis. Semua siswa mengatakan bahwa Rani memang sering nangis dengan alasan tidak jelas. Saya menghampiri Rani dan bertanya kenapa dia menangis. Dia tidak menjawab apapun, hanya menangis sambil memegang perutnya. “Rani sakit perut? Sakit pinggang? Ada yang sakit? Apa yang sakit?”, saya bertanya. Namun, dia tetap tidak berkata apapun. Saya berusaha membuat Rani berhenti menangis. Sampai akhirnya dia sedikit meresa tenang dan tidak menangis lagi, dia berkata, “ Saya lapar bu”. Saya tidak bisa menahan lagi, di depan anak ini saya menangis. Begitu banyak hal mengharukan saya terima hari ini. Kehidupan siswa-siswa ini begitu berat. Betapa beruntungnya saya lahir di keluarga yang selalu memberi perhatian dan fasilitas yang cukup, masa kecil yang indah dan bahagia, dan bisa sekolah sampai perguruan tinggi. Namun, mereka ada disini, di SD ini, SDN 32 Selat Baru bukan untuk ditangisi.

Cerita Lainnya

Lihat Semua