WITA: Waktu Indonesia Tompotika pe Anak!

Indah Alsita 6 Maret 2017

“Bu Guru! Besok jadi kita membuat rangkaian listrik rumah-rumahan?” Tanya Tangkas salah satu siswa kelas 6 dengan semangat, di belakang kanan dan kirinya berdiri teman-teman sekelasnya saling berdorong-dorongan.

“Jadi, di rumah Pak Madnin ya..” Jawab Saya.

 “Bu Guru, tapi tidak semua bisa datang Bu Guru, teman-teman Bali mau ke Pura..” sahut Dani. Teman-teman Bali di desa tempat saya bertugas dimaksudkan untuk teman-teman yang menganut Agama Hindu.

“Oh iya.. besok kan upacara Pagar Besi, yang bisa saja ya..”

“Jam berapa, Bu Guru?” Tanya Agung yang berdiri di sebelah Dani, tetap masih saling dorong-mendorong.

“Jam 3 sore saja ya..” Jawab saya sambil tertawa melihat ulah saling dorong mereka.

“Jam 3 Bu Guru? Baik Bu Guru...” sahut beberapa dari sekelompok anak itu.

“Bu Guru! Dorang ini kalau dibilang jam 3 datangnya tau jam berapa, Bu?” Tiba-tiba Tangkas menyahut.

“Memang jam berapa biasa datangnya?” Tanya saya balik. Tiba-tiba yang terbersit dipikiran saya anak-anak akan datang terlambat atau ngaret, karena saat itu saya membayangkan ketika saya membuat janji dengan orang dewasa. Pasti, kemungkinan akan lewat minimal 5 menit, bahkan sampai satu jam lebih.

Tiba-tiba Tangkas menjawab dan membuyarkan pikiran saya, “Dorang ini Bu, kalau dibilang janji jam 3 datangnya jam 2, Bu! Hahahahaha” Diikuti tawa teman-temannya.

Sontak saya juga ikut tertawa. Ajaib! Padahal sempat sebelumnya saya berpikir mereka akan terlambat, tapi justru malah jauh sebaliknya. Sungguh, orang dewasa (termasuk saya pastinya) harus belajar dengan anak-anak ini.

Saya langsung teringat dengan kegiatan-kegiatan yang saya lakukan dengan anak-anak di sini. Pertama, sehabis pembagian rapor semester gasal, Hadid, siswa kelas 5 dipilih sebagai salah satu perwakilan sekolah untuk mengikuti Olimpiade Sains, mendatangi saya.

“Bu Guru, sebentar torang datang ke rumah ibu, mau belajar persiapan Olimpiade, boleh?” Tanya Hadid.

“Boleh, tapi besok pagi saja ya, karena siang dan sore hari ini Ibu tidak bisa,” Jawab saya. Saya memilih pagi karena besok sudah masuk hari liburan semester.

“Baik, Bu Guru..Besok pagi Bu Guru,” Jawab Hadid semangat.

Tentunya, saat itu saya belum tahu perbedaan pagi ala saya dengan pagi ala Anak Tompotika. Pada saat itu yang ada di pikiran saya, pagi adalah sekitar pukul 8 atau 9. Sudah pasti pemikiran saya itu salah total, karena keesokan paginya, saya dengan santainya bangun tidak dari subuh, karena di benak saya hari itu adalah sudah hari libur sekolah. Sekali-kali tidak apa-apalah bangun siang.

Ketika jam setengah 7 pagi saya terbangun, saya masih bermalas-malasan di tempat tidur, tiba-tiba terdengar suara anak-anak bercakap-cakap dari teras rumah. Yeah! Selamat pagi Bu Guru, murid-muridmu sudah datang dan anda masih di atas tempat tidur.

Langsung saya bangun, keluar dari kamar, menuju dapur, menyapa ibu yang sedang memasak.

“Ibu, Iin baru bangun, itu anak-anak sudah datang hehehe..” ujar saya.

“Hahaha iya..baru datang mereka, tadi Bapak suruh tunggu saja di teras,” jawab ibu sambil tertawa kecil.

Segera saya  menggosok gigi, mencuci muka, membuka pintu dan menyapa tiga orang murid saya yang duduk berjejer sambil tersenyum memandang saya yang baru bangun, “pagi Buuu!” Sapa Hadid, Dayat, dan Indra.  Setahu saya jarak rumah Dayat dan Indra sekitar setengah kilometer dari jarak rumah saya.

“Halo! Datangnya pagi sekalii..” Ujar saya.

“Kan pagi buuu..” Baiklah, ternyata ada perbedaan persepsi waktu “pagi” di sini saudara-saudara, pagi saya dan pagi anak-anak Tompotika itu berbeda.

Kedua, pada saat saya membuat janji dengan mereka untuk olah raga pagi bersama menuju kuala (masyarakat di sini menyebut sungai dengan sebutan kuala).

“Bu Guru besok yoo.. torang kumpul di lapangan depan sekolah jam 6 pagi, kita lari pagi sampai kuala banpres!” Ajak Komang, siswi kelas 5.

“Oke! Jam 6 yaa...” jawab saya.

Keesokan harinya, saya tidak mau kejadian sebelumnya terulang, saya bangun jam setengah 6 pagi dan bersiap-siap menuju lapangan, sebelumnya saya berpamitan dengan ibu yang sedang memasak.

“Ibu, Iin berangat dulu ya.. mau olah raga pagi sama anak-anak..”

“Olah raga pagi? Janjian jam berapa?” Tanya ibu, yang juga adalah guru di tempat SD saya bertugas.

“Jam 6 bu..ini sudah mau jam 6.” Jawab saya.

“Ooh iya.. hati-hati ya.. dorang itu pasti sudah bangun..” jawab ibu.

Segera, pukul 6 kurang 5 menit saya berjalan menuju lapangan. Udara dingin khas daerah perbukitan di kaki Gunung Tompotika terasa sangat segar. Saya melihat Hadid, Dayat, dan Hayadi bermain bola kaki di lapangan. Keringat mereka sudah bercucuran di mana-mana. Di pinggir lapangan ada Nia juga siswi kelas 5 sedang duduk menatap teman-temannya yang sedang bermain bola.

“Halo, sudah dari jam berapa kalian di sini?”

“Ibuu.. dorang ini sudah main bola dari jam 5 sambil menunggu, tadi saya lihat ada Fitri juga sudah datang naik sepeda. Tapi pulang lagi karena dilihat masih sepi..” jawab Nia.

Oke anak-anak, di kala Ibu Guru kalian ini sudah datang lebih cepat 5 menit, kalian justru datang lebih brilian dari waktu Ibu Guru kalian.

Ya, saya sangat kagum dengan anak-anak ini. Bahkan hampir tiap pagi, sebelum sekolah di mulai, di kala Ibu Guru mereka ini belum mandi, mereka sudah datang ke rumah meminta kunci kantor guru untuk dibersihkan dan menyambungkan selang air untuk dialirkan ke sekolah. Bahkan, yang memancing saya untuk tidak bangun kesiangan justru agar anak-anak tidak melihat saya dalam keadaan baru bangun tidur saat mereka datang untuk meminta kunci.

Itulah salah satu hal luar biasa dari anak-anak Desa Tompotika Makmur, salah satu desa yang berdiri di atas tanah merah di perbukitan kaki Gunung Tompotika, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Daerah yang berada di zona Waktu Indonesia Tengah atau sering disingkat WITA. Tapi bagi saya di sini, kepanjangan WITA adalah Waktu Indonesia Tompotika pe Anak (“pe” di sini berarti punya). Penamaan zona waktu yang lebih kece dibandingkan penentuan waktu on time biasanya, karena Desa Tompotika Makmur Punya Anak jauh lebih baik dalam hal waktu. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua