Melihat Monas Pertama Kali
Ice Nopianti 7 Desember 2013
Melihat Monas bagi sebagian orang Indonesia adalah hal biasa, sekalipun tidak melihat langsung orang-orang sudah pernah melihat dari TV. Tidak bagi Nofi Ndun, siswi SDN Daepapan, Rote Selatan. Ketika kami sedang menunggu jemputan di stasiun Gambir, pertanyaan pertama saat dia melihat Monas untuk pertama kalinya adalah “Apa itu Bu?”sambil menunjuk puncak Monas yang berkilau dihiasi lampu-lampu. Sontak saya kaget, setahu saya walaupun belum ada listrik di kampung Nofi, tapi ia biasa menonton sinetron di rumah tetangga yang mempunyai Jenset.
Perjalanan pertama ke Jakarta memang tidak mudah bagi anak yang berusia 13 tahun, bahkan ini perjalanan pertama ke ibu kota provinsi. Senang bercampur kekhawatiran yang dirasakan Nofi terjadi dalam waktu yang singkat. Hanya dalam 30 menit Nofi mempersiapkan diri untuk pergi ke Kupang. Nofi malah tidak sempat berpamitan dengan oma karena oma sedang di kebun. Nofi memang tinggal bersama oma, opa dan adik-adiknya karena orang tuanya bekerja di perusahaan kelapa sawit di Kalimantan. Saking mendadaknya bahkan Kepala Sekolah tidak bersedia mendampingi.
Selama di perjalanan darat, Nofi mabuk perjalanan tiga kali. Anehnya perjalanan laut dan udara Nofi sama sekali tidak mabuk, mungkin saking excited naik kapal dan pesawat. Setelah beristirahat di Apartment adik ibu Kristia, Pengajar Muda sebelum saya. Paginya kita diajak ke kantor Bapak Jokowi, sayang pak Jokowi tidak ditempat. Lalu Nofi juga diajak ke daerah waduk di Slipi, untuk melihat orang-orang yang kurang beruntung hidup di Jakarta. Lalu kami makan siang di Pacific Place, ditraktir oleh Pak Ryan Pengajar Muda sebelum ibu Kristia. Menggunakan jasa Transjakarta kami mencari Twin Plaza hotel, tempat berlangsungnya Konferensi Penulis Cilik Indonesia (KPCI) yang diadakan oleh Mizan Publisher bekerjasama dengan Kemendikbud. Konferensi inilah yang mengundang Nofi ke Jakarta. Nofi bersama sembilan teman-temannya mengirim puisi dan pantun, hanya saja yang beruntung hanya Nofi. Ia menjadi satu-satunya perwakilan NTT.
Dihari pertama Nofi masih kesulitan beradaptasi, ia lebih banyak diam saat anak-anak dari daerah lain sibuk berkenalan. Nofi sepertinya kaget dengan bahasa. Ia satu kamar dengan anak dari Jawa Tengah dan Jawa Barat. Nofi baru bisa menggunakan “aku kamu” di hari terakhir. Dan susah lagi kembali ke bahasa Rote. Untunglah sebelum sampai di Rote, Nofi sudah saya biasakan lagi menggunakan bahas aslinya.
Walaupun tidak memenangkan lomba pantun, Nofi bersama tiga teman dari Papua, Kapuas Hulu, dan Jakarta tetap diapresiasi oleh juri dengan juara ekstra. Juara ekstra adalah pilihan juri di kelas pantun. Juri sepakat dari semua peserta Indonesia Timur, Nofi dan Maxis dari Papua cukup menonjol. Pesan dewan juri, kalau bisa Nofi diberi lebih banyak bacaan berbahasa Indonesia yang baik agar bahasanya bertambah. Ketika Nofi menerima penyerahan hadiah, Nofi juga memberikan kenang-kenangan kepada juri, Pak Djoko Lelono berupa syal khas Rote. Sayangnya Nofi tidak mengalungkan langsung karena Nofi menyangka disuruh menari, berarti Nofi tidak mengerti apa yang disampaikan oleh MC, padahal sudah dibriefing juga oleh ibu Ice ^-^.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda