SANG PEMIMPI DARI TENGAH HUTAN KARET

Ibda Fikrina Abda 3 Januari 2017

Teng..teng.. teng… lonceng sekolah berdentang tiga kali tanda pelajaran dimulai.

Waktu menunjukkan pukul 07.30 WIB saat lonceng sekolah dibunyikan. Sekolah telah ramai, siswa dan siswi SDN 19 Rambang telah duduk dan bermain di sekolah. Tetapi, belum ada tanda-tanda guru dating, maklumlah guru kelas dan kepala sekolah tinggal di desa yang jaraknya sekitar 14 kilometer dari sekolah. Kondisi jalan tanah liat dan krikil membuat mereka terkadang terlambat bahkan tidak datang jika malam sebelumnya hujan.

Saat itu, terlihat seorang guru laki-laki yang meminta para siswa membersihkan sekolah atau piket sebelum pelajaran dimulai. Ia datang untuk membuka kelas dan kantor tepat pukul 07.00 WIB. Tarsih, adalah nama guru laki-laki muda tersebut. Setahun lalu, ia baru menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Prabumulih, kota terdekat dari Kecamatan Rambang. Saat ini ia mencoba mengabdi di sekolah dasar tempat ia dulu menempa ilmu sebagai syarat melanjutkan pendidikan di Universitas Terbuka.

SDN 19 Rambang memiliki tiga guru lulusan SMA/SMK yang tinggal di Talang Tebat Rawas, ketiganya sama-sama mengabdi untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi. Tetapi, karena belum genap setahun mereka mengabdi, sepertinya mimpi untuk menjadi mahasiswa urung di tahun 2017 mendatang.

“Kami harus mendapatkan surat keterangan (SK) UPTD bahwa kami sudah mengajar selama setahun, tetapi kemarin kami gagal mendapatkannya lantaran belum genap setahun,” kata Tarsih.

Saya mulai tertarik dengan mereka bertiga sejak pertama menginjakkan kaki di Talang Tebat Rawas. Saya terkesima dengan semangat Tarsih yang bekerja demi pendidikan di tempat kelahirannya. Setiap pagi, ia membuka kelas dan siang harinya ia harus pulang terakhir untuk memastikan sekolah sudah terkunci. Sekitar pukul 13.00 WIB dia berangkat ke masjid untuk mengajar anak-anak di TPA Al-Huda. Sore hari, kami bersama-sama memberi les tambahan bagi anak-anak Talang Tebat Rawas di rumahku. Sekarang kegiatannya bertambah, setelah ditunjuk menjadi staf pengelola Taman Baca Inovator (TBI) Guglielmo Marconi yang mulai dibuka beberapa hari lalu.

“Saya melakukan itu semua karena ingin mencari kesibukan saja, bukan mengharap apapun,” jelas dia.

Lahir dari Rahim buruh penyadap karet, tak membuat ia pesimistis dalam mencapai mimpinya menjadi sarjana.

“Saya tidak mau menjadi penyadap karet, saya ingin melanjutkan kuliah saja bagaimanapun caranya,” paparnya.

Beberapa kali ia bertanya tentang beasiswa perguruan tinggi dan kampus-kampus di Jawa lainnya yang bisa ia masuki secara gratis.

“Saya akan berusaha 2017 bisa kuliah, yu (kakak) meskipun harus pergi ke Jawa. Di UT mungkin akan ditolak karena tak memenuhi syarat,” ceritanya kepadaku beberapa hari yang lalu.

Semangatnya memberikan pelajaran baru bagiku selama sisa hari di penempatan. Kegigihannya dalam mencapai apa yang dia inginkan menularkan semangat tersendiri bagiku yang juga masih memiliki mimpi. Semoga Tuhan mampu memeluk mimpi-mimpi mereka, mimpi untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua