Habis Tugas Mau Ke Mana Mbak?

Hyashinta Amadeus Onen Pratiwi 10 Juli 2016

HTiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari mas Kentut (entah nama aslinya siapa, hehehe), salah satu anak angkat Bapak piaraku yang kini membantu bapak mengurus sawah dan ladang. Sebelum menjawab sebenarnya aku telah memperhatikan mas Kentut mengamatiku yang sedang mengiris singkong tipis-tipis untuk dijadikan keripik, salah satu kue hits di desaku. Ini kali pertama aku mengiris singkong setipis dan seniat itu. Sempat pula aku geer apa mas Kentut mengamati parasku yang cantik ini? (hahaha) Atau mungkin dia terkesima melihat seorang guru muda yang terlihat dari kota (padahal juga dari desa) lihai mengiris begituan. Bukan tanpa sebab, dia mengamatiku dengan seksama, dengan senyum reflektif, tanda dia memikirkan sesuatu.

“Habis ini pengennya sekolah lagi mas, kalau nggak ya kerja. Tergantung rejekinya yang mana” jawab ku singkat, sambil tetap berusaha mempertahankan ketebalan irisan singkong tanpa terluka, karena selama survival dan penempatan tanganku sudah luka terkena pisau dan piring yang gopel.

“Oh.. Kalau mas Afif (pengajar muda sebelum aku) kan mau pulang kampung”, timpal mas Kentut sambil tersenyum saat mendengar jawabanku. Mas Kentut memang ramah dan kenal semua pengajar muda di desaku selama empat tahun terakhir.

“Ohh.. yayaya (sambil manggut-manggut)… Aku juga belum pasti mas, nanti juga pengen kursus Bahasa juga”, jawabku lagi, mencoba memberikan jawaban yang lebih detil.

“Mbak kelahiran berapa?”, tanyanya tiba-tiba sambil duduk di kursi dan aku duduk di lantai berhadapan dengan baskom dan pisau.

“92 mas…”, jawabku singkat karena sedang fokus mengiris agar tetap tipis.

“Kalau istri saya kelahiran 91”, tutut mas Kentut yang kini telah mempunyai malaikat kecil yang berusia enam tahun.

“Ohh.. iya kakak saya juga kelahiran 91, bulan depan dia menikah”, aku berusaha mencari kesamaan dengan mas kentut, padahal kalau dipikir nggak penting juga mas kentut tahu. Hehehe

“Hmmm… Dulu istri saya nikah setelah lulus SMP. Di sini kan gitu mbak, dulu kebanyakan habis SMP pada nikah”

“Iya mas…”, aku mencoba mendengarkan tanpa memberikan komentar karena ku lihat mas Kentut melihat dan mengamati anaknya Lia yang berumur sekitar enam tahun sedang asik minum minuman kemasan di depan kami.

Dari peristiwa tersebut aku melihat harapan mas Kentut untuk bisa menyekolahkan buah hatinya, Lia sampai kuliah dan melihatnya punya kehidupan yang lebih baik. Dan yang pasti aku berharap Mas Kentut akan mengarahkan Lia untuk tidak melakukan pernikahan dini.

Kita tidak akan pernah tau kapan kita menginspirasi atau diinspirasi oleh orang. Terimakasih mas Kentut telah mengukir dialog sederhana tetapi sangat reflektif bagiku. Aku diyakinkan bahwa harapan dan  mimpi masih dimiliki warga desa Karang Makmur.


Cerita Lainnya

Lihat Semua