Maafkan Bahasa Planet Bapak Ini, Nak.!
Hidayatul Mabrur 19 Agustus 2013Sudah 2 bulan aku tinggal disini. Ya disini, di desa tempat pengabdianku yang perlahan-lahan mulai kucintai ini. Namun sayangnya belum lagi aku menjadi pengguna bahasa yang baik. Baik dalam kapasitasku sebagai masyarakat maupun sebagai guru bantu di sekolah tempatku mengajar. Dalam beberapa kali pertemuanku kepada murid-murid di ruang kelas misalnya, aku masih saja sering menyeletup di hadapan anak-anakku dengan menggunakan bahasa yang tak mereka mengerti. Seringkali penjelasanku hanya disambut dengan “kerutan dahi”. Inilah yang terkadang membuatku merasa gagal untuk sekedar menjadi guru yang baik bagi mereka.
Pada bulan Ramadhan yang lalu, sekolahku mengadakan program pesantren kilat selama sepekan. Dimana pada acara ini semua mata pelajaran adalah pelajaran agama. Ketika diberikan kesempatan memberikan mata pelajaran, aku berkali-kali menggunakan bahasa ilmiah ketika bermaksud menjelaskan tentang syurga dan neraka. Kata deskripsi lah, abstrak lah, orientasi lah yang semua itu kuucapkan lantang beberapa kali di hadapan anak-anak 2 SD yang masih ingusan itu. Hufh.! Barangkali kalau mereka pandai ngomong layaknya orang Inggris, begini mungkin jeritan mereka “Hello Sir. this is not university classroom, please.!”.
Sejujurnya aku terkadang merasa risih dengan yang demikian. Mengapa lidah ini suka sok ilmiah, mengapa pula kampus-kampus itu harus mengajarkan kepada para mahasiswanya mengguanakan bahasa ilmiah? yang kemudian mereka membuat istilah-istilah sendiri dan tak dipahami oleh banyak orang. Bukankah yang demikian tak lain hanya menjadikan jarak antara kita dengan orang-orang awam seperti yang kuhadapi saat ini. Padahal, apalah lagi guna keilmuan yang mereka ramu di laboratorium-laboratorium dan ruang-ruang praktek semu itu, jikalau tak bermanfaat oleh orang-orang jelata seperti disini?.
Anak-anak didikku disini, bukan hanya tidak mengerti bahasa ilmiah, bahasa Indonesia saja mereka masih sangat susah mencernanya. Bahkan jika ada orang baru dan bahasanya menggunakan bahasa Indonesia itu menjadi kerumunan mereka. Mereka langsung mengira orang itu pasti dari Jakarta atau Jawa. Bahasa Indonesia menjadi sesuatu yang aneh disini, aneh layaknya seperti negara lain.
Aku teringat ucapan salah seorang dosen favoritku, kusebutkan saja namanya yah Dr. Hujair Sanaky. Ia mengatakan bahwa ilmuan saat ini tak ayalnya seperti orang yang berada di atas “menara gading”, mereka semakin tinggi sekali karena keilmuannya, namun seringkali mereka lupa melihat kebawah, melihat realita masyarakat yang gersang dan berduri. Aku baru paham maksud ucapan itu ketika berada disini. Ini pula mungkin yang diinginkan yayasanku Indonesia Mengajar mengirim para Pengajar Mudanya di desa desa terpencil seperti ini. Agar mereka tidak sekedar menerka-nerka bagaiamana Indonesia, tapi mereka meraba langsung bagaimana Indonesia.
Kini, demi mempelajari bahasa melayu Semende ini. Setiap hari aku harus membawa catatan kemana-mana, sontak secara otomatis tanganku langsung bergerak mengeluarkan pena dan note kecil ketika aku mendengar ada kosa kata asing yang tak kumengerti. Serambi bertanya kepada lawan bicaraku, baik anak-anak, guru maupun masyarakat. Jadi tak heran jika kami sedang melangsungkan pecakapan, berkali-kali terpaksa harus terjeda karena pertanyaanku tentang bahasa. Terkadang, bukan membicarakan sebuah topik yang sedang kami bincangkan, malah jadi seperti seorang murid dan guru yang sedang belajar sebuah bahasa, haha. Tapi ya biarlah, karena bagi Pengajar Muda tak selamanya kita harus menjadi guru (orang serba tahu), kadang kala kami juga menjadi murid, belajar kepada masyarakat dari sisi-sisi yang belum diketahui.
Aku berharap dengan jurus demikian, lama kelamaan aku bisa berbahasa Semende yang aneh itu. Atau paling tidak sedikit menyadarkan keberadaanku kini, bahwa aku bukan lagi mahasiswa yang tak merasa bersalah jika menggunakan bahasa-bahasa ilmiah. Kini aku seorang guru, iya guru SD di pedalaman pulau Sumatra, dimana anak-anakku ini jauh dari hingar bingar kota, bahasa Indonesia saja tak paham apalagi bahasa “planet-ilmiah” itu. Hem. Ayo pak Mabrur, belajarlah bahasa Semende.!
Kepada anak-anakku. Maafkan yah, nak. Maafkan bahasa planet bapak yang tak begitu kau mengerti ini :)
Negri Kecilku; Semende 19 Agustus 2013
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda