Jadi Presiden itu Mahal, Pak.! (Sebuah Catatan Menjelang Hari Kemerdekaan)
Hidayatul Mabrur 16 Agustus 2013Jum’at 23 Juni 2013 lalu, saat itu sudah menunjukkan pukul 07.30 pagi. Itu hari pertamaku berangkat ke sekolah tempatku mengabdi ini. Seperti biasa, udara dingin khas perbukitan Semende masih terasa begitu menggigit. Setelah menapaki 5 menit jalan pematang sawah menuju sekolah, langkahku tertahan di depan gerbang sekolah, lantaran gerbang dengan lebar kurang lebih 2 meteran itu masih tergembok. Sejak tadi kulihat hanya ada 6 anak yang sudah menunggu di depan gerbang, 4 laki-laki dan 2 murid perempuan. Mereka sambil bermain air di parit-parit kecil depan sekolah yang tiada pernah lelah mengalir itu.
Dalam benakku ―karena aku orang baru bagi mereka― aku ingin sekali meraup kesan pertama yang memukau bagi anak-anakku ini. Aku juga termasuk yang meyakini mazhab“first impression determine your image”, hem. Sambil kusajikan senyum terindahku, kudekati mereka satu-persatu, kusapa mereka, “hai”, sapaku ringan. Ternyata bermacam-macam respon mereka, ada yang malu-malu hingga membalikkan badan lalu pura-pura berlari kecil sambil menyimpul senyum, ada pula yang diam saja. Namun untungnya ada salah satu dari mereka yang menyambut sapaan pertamaku di pagi itu, walalu dengan nada seadanya ia membalas juga “hai”, katanya sambil melambaikan tanganya. Itulah si Arnoldi, bocah yang kulihat mirip sekali dengan bule’ keturunan Belanda.
Setelah menyapa tadi, aku sempat kagok, dalam benakku jurus apa lagi yang akan kupertunjukkan untuk mencairkan suasana pertemuan pertama kami yang kaku itu. Mengigat aku ini orang yang cukup ja’im dalam segala hal, mana mungkin aku terlalu agresif lalu kemudian memulai perkenalan ini. Tapi setelah kupikir-pikir, bukankah tambah tidak mungkin lagi kalau mereka yang menjulurkan tangan terlebih dahulu lalu memulai perkenalan ini. Sudahlah, kubuang saja jauh-jauh rasaja’imku itu. Lagipula ini kan anak-anak, bukan perempuan dewasa yang begitu mengerti tentang dunia perasaan, haha. Sekali lagi, It’s not about me, it’s about them.
Kepada mereka, kutanyakan nama, umur dan duduk di kelas berapa, satu per satu. Akhirnya mereka mulai membuka diri. Kedua gadis mungil yang tadi malu-malu itupun akhirnya berhasil kululuhakan. Walalu tingkat keroaminganku dalam menangkap bahasa mereka masih teramat tinggi. Tetapi sebagai wujud antusias dan ‘kode’ bahwa aku paham bahasa mereka, maka setiap perkataan dari mereka kuanggukan saja, lalu kubilang ya, ya dan ya. Sambil kutampilkan mimik dan ekspresi tubuh yang menunjukkan seakan aku paham. Begitulah kurang lebih teori apresiasi yang pernah kupelajari di bangku kuliah dahulu. Perkenalan kami pada pagi itu pun berjalan lancar. Yes, jurus pertamaku sukses! ―bisikku dalam benak―
Kulirik jam tangan sudah hampir menunjukkan pukul 08.00. Namun gerbang sekolah ini belum juga dibuka. Aku tak tahu pasti siapa yang membawa dan berkewajiban membuka kunci gerbang sekolah ini. Mataku menerawang ke muara jalan sambil berharap ada guru piket atau siapapun yang datang kemudian membuka gerbang ini, namun tak kunjung jua. Ketika kutanyakan kepada beberapa diantara mereka, mereka menjawab dengan bahasanya yang benar-benar tak kupahami. Yasudahlah pikirku, ini bukan sesuatu yang harus kufikirkan begitu serius.
Aku melihat ke barat, memandang ke arah bukit yang mengelilingi desaku itu. Itulah bukit barisan kata beberapa warga tempo hari, bukit itu adalah pegunungan yang memanjang sepanjang pulau Sumatra dan konon masih banyak harimaunya. Tak ingin suasana kaku, kuajak mereka melihat bukit itu lebih dekat. “Ayo nak kesana (belakang sekolah) kita lihat pemandangan gunung itu” ―tanganku sambil menunjuk ke arah perbukit itu―, hanya 4 orang murid lelaki yang mengamini ajakanku, walau kami harus memasuki sesemakan belukar yang masih dibasahai oleh embun pagi.
Setelah melalui beberapa menit menapaki jalan sesemakan itu, sampailah kami di sebuah tempat yang agak lapang, kami pun berhenti. Pemandangan yang indah menyambut kami, sejuk, biru juga haru. 4 anak laki-laki yang menemaniku itu kemudian duduk sambil mengehela nafas, termasuk si Arnoldi bocah yang tadi kubilang mirip seperti bule’ Belanda itu.
Agar tidak canggung, kumulai dengan obrolan ringan dengan menanyakan cita-cita mereka.
“Hai anak-anak, apa cita-citamu kelak? Ada yang mau jadi Pejabat Negara?, Mentri?, atau ada yang mau jadi Presiden Indonesia?”,teriakku bertanya.
Tiba-tiba si Arnoldi yang berdiri di sisi kananku itu menyeletup,
“ndek de pak, jadi presiden tu mahal”[1],
Tutur Arnoldi dengan nada yang agak pelan dan wajahnya seperti orang agak putus asa. Aku penasaran dengan ucapan anak ini, lalu kukejar dengan pertanyaan ;
“Kenapa Arnoldi bisa bilang gitu, nak?”, tanyaku lirih.
“Kan jadi presiden butuh banyak duit, Pak. Untuk kampanye”, tuturnya.
Saat itu aku hanya mampu mengatupkan mulut. Ada semacam haru yang tak terucap, ada pula semacam rasa tidak terima, entah pada siapa?. Hematku, seharusnya anak seumuran Arnoldi yang masih duduk di kelas 3 SD itu tidak berfikir seperti itu. Seharusnya ia bebas menuliskan citaa-citanya. Namun mengapa alasan materi menjadi “pembunuh” baginya untuk menggantungkan cita-citanya menjadi Presiden?.
Entahlah, apa barangkali karena ia tahu bahwa bapak-ibunya hanya seorang petani kopi sederhana dan merupakan salah satu petani kopi yang hidup dalam keadaan ekonomi tertindas di Negri ini, sehingga menjadikan ia takut untuk bercita-cita menjadi presiden?. Padahal, apalagi yang bisakita harapkan dari sebuah bangsa, jika generasi penerusnya takut untuk berbicara tentang cita-cita.
Meski pada saat itu aku tak mampu burbuat apa-apa. Tapi saat itu juga aku berjanji akan menuliskan cerita di pagi itu di blog Pengajar Muda dan Sosmedku. Syukur-syukur ada yang membacanya, atau barangkali ada salah satu penguasa di Negri ini yang kiranya sudi untuk membaca tulisan ini. Sehingga beliau tahu, bahwa ada seorang anak di pelosok Sumatra ini yang takut bercita-cita menjadi Presiden hanya karena takut tak punya uang untuk biaya kampanye. Seharusnya, tidak begitu potret sebuah bangsa yang meredeka. Apalah arti kemerdekaan, jika persoalan materi masih menjadi dinding yang “arogan” bagi segenap mimpi-mimpi anak bangsa. Sungguh bagiku, itu sebuah pagi yang haru.
[1] Tidak pak, jadi presiden itu mahal (dalam bahasa melayu Semende)
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda