The Power of Memberi

Hety Apriliastuti Nurcahyarini 18 November 2011

2 Agustus 2011

Kenangan Puasa di Bawean

 

Kalau disuruh memilih satu kata yang paling indah di dunia ini, maka saya akan menjawab ‘memberi’.

 

Hidup di rumah bapak Sukanto dan ibu Fatimah di Kepuh Legundi membuat saya belajar banyak mengenai ‘memberi’.

 

Memberi itu indah. Memberi itu ibadah. Memberi itu amanah.

 

Walau saya sudah menonton program ‘Tolong’ di TV selama ratusan kali (mungkin), tetap saja saya masih tergolong egois ketika memberi. Entah. Mungkin saya sudah tidak peka. Hati saya setengah beku. Hati saya banyak menuntut, dan lain-lain, dan lain-lain.

 

Saya malu.

 

Di rumah, seberapa pun makanan yang ada di dapur, ibu angkat saya selalu menyilakan orang yang main ke rumah untuk makan. Intinya, insting berbagi ibu saya sangat tinggi.

 

Pernah, suatu ketika, bapak pulang dari pelatihan guru di Tuban membawa oleh-oleh bawang merah dan bawang putih sekardus. Saya melihat bawang-bawang itu diletakkan dalam tampah besar. Katanya, sengaja diangin-anginkan agar tidak busuk. Keesok harinya, saat saya ke dapur, tampah itu hanya tinggal berisi seperempat saja. Mungkin ibu bisa membaca raut muka keheranan saya dan ibu mengatakan dengan polosnya, “Bawangnya sudah saya bagi-bagikan ke tetangga tadi.” Saya hanya melongo.

 

Kemudian, suatu saat saya mendapat paket dari papa dan mama di Jogja. Papa dan mama sengaja memaketkan oleh-oleh untuk ayah dan ibu angkat saya di Bawean. Seperti yang sudah bisa ditebak, oleh-oleh itu bisa ‘menyebar’ satu RT dalam waktu dan tempo sesingkat-singkatnya. Setiap saya berjalan dan berpapasan dengan orang, ada saja ibu yang berkata, “Enak ibu, oleh-olehnya dari Jogja .” Untuk kali ini saya juga melongo.

 

Pernah suatu ketika saya iseng bertanya kepada ibu angkat saat membantunya memasak di dapur. “Wah, ibu ini memang seneng berbagi ya?” celetuk saya tulus, polos, tanpa basa-basi. Ibu angkat yang sedang mengaduk kuah dalam panci hanya tertawa saja. Sama seperti saya, ibu angkat tertawa lepas, tertawa tulus, dan tertawa polos. “Lhoh, kok malah tertawa, Bu?”. Tanpa memandang saya dan masih asyik memandang kuah dalam panci yang diaduknya ibu angkat berkata dengan aksen Baweannya yang khas, “Saya ini Het, cuma inget pesennya Pak Kyai, semakin banyak kita memberi, semakin banyak rejeki. Semakin banyak menolong, kita besok juga pasti akan ditolong orang. Ibaratnya, kita hanya memberi satu sendok, besok kita akan dapat empat sendok”.

 

Deg! Saya tertegun sejenak. “Wow! Tuhan, saya malu dengan ibu angkat,” batin saya dalam hati. Ibu angkat yang hanya tamatan MI mampu berbicara tentang filosofi memberi yang sarat makna. Sederhana tapi berarti. Saya merasa diingatkan oleh ibu angkat dengan cara yang sangat indah. Tidak menggurui, tidak merasa pintar sendiri, tapi diingatkan dengan kepolosan yang penuh ketulusan. Tidak hanya lewat kata-kata, tapi langsung dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

 

So, jangan heran, di bulan puasa ini, apapun masakan ibu angkat, pasti akan ibu bagikan kepada para tetangga untuk berbuka. Secara voluntary, saya bersedia menjadi tukang antar masakan ibu. Rasanya bahagia sekali melihat senyuman para tetangga itu ketika menerima masakan ibu angkat (Note: mungkin ini juga ya yang dirasakan oleh si tukang delivery service makanan fast food hehe). Biasanya, tepat pukul 17.00, masakan ibu angkat untuk berbuka sudah matang. Dapur akan tampak ramai dengan kehadiran mangkok-mangkok sayur yang jumlahnya melebihi anggota keluarga angkat saya disini. “Het, ini untuk Bik Cha’cha, Bik Cha’u, Bik Ya’ya, Cucu, Atuk di ujung sana, kakak di Barat, dan ini, dan itu, dan ini, dan itu ...”. Intinya, banyak yang akan merasakan masakan Ibu angkat.

 

Di saat kota penuh dengan ke-individualis-an, desa masih hidup dengan semangat kebersamaan. Saat di kota semua dinilai dengan uang, desa masih bertahan dengan ketulusan. Saat di kota semua serba ditutupi untuk diri sendiri, desa mampu terbuka dengan semangat memberi yang sangat berarti.

 

Sudahkah saya memberi hari ini?


Cerita Lainnya

Lihat Semua