Tembok Harapan

Hety Apriliastuti Nurcahyarini 26 Oktober 2011

Sinyal itu ibarat uang. Dicari orang. Tidak punya uang, kebingungan. Tidak ada sinyal, hati bimbang. Banyak orang yang tidak menyadari hal itu. Khususnya orang-orang yang berada di ZGS alias Zona Gampang Sinyal. Mereka termanjakan oleh tower puluhan meter yang menjulang. Kemanapun pergi, kemanapun kaki melangkah, salalu ada gambar antena di layar ponsel. Pokoknya gampang.

Bagi orang-orang yang berada di ZTAS alias Zona Tidak Ada Sinyal akan merasakan sebaliknya. Merana tidak menemukan gambar antena di layar ponsel. Tidak bisa SMS, tidak bisa telepon, tidak bisa GPRS. Fungsi ponsel pun berubah, hanya untuk melihat jam, kalender, dan kalkulator. Ponsel tanpa sinyal adalah ponsel tak bernyawa.

Saya sombong sekali ya bisa menulis seperti itu, mirip-mirip pemuja sinyal. Ya, karena rumah saya di Bawean terletak di balik pegunungan tua yang berbatu. Sinyal? Jangan tanyakan karena memang di sini tidak ada sinyal. Tingginya tower telekomunikasi kalah oleh tingginya pegunungan tua beserta pohon-pohon rimbun yang menjulang. Ya, sekali lagi saya ulangi, di sini tidak ada sinyal.

Reaksi saya? Saya mati gaya.

Sebenarnya senang sekali rasanya berada di daerah baru. Saking senangnya, saya juga ingin bertukar kabar dengan yang lainnya. Ingin tahu keadaaan yang lainnya. Teman-teman bala Bawean, keluarga di Jawa. Tapi apalah daya, ada ponsel, tidak ada sinyal. Ponsel saya ‘resmi’ tak bernyawa. Jangan memberi ide untuk berkunjung. Rumah kami berenam jauh dan sangat menguji kesabaran selama perjalanan (bayangkan jalanandakar motor rally offroad).

Ada ide briliant di dusun ini untuk menangkap sinyal Ya, dengan antena penguat. Bentuknya mirip antena TV. Dipasang menjulang ke atas dengan bambu. Di bawah, akan ada kabel yang bisa dihubungkan dengan ponsel. Dan magic! Dengan cara itu akan muncul sinyal walau hanya satu sampai dua bar tapi hal itu sudah sangat menggembirakan. Sayangnya, penguat itu tidak berkompromi dengan ponsel saya. Atas ide bapak, saya mencoba untuk meletakkan ponsel saya di penguat sinyal milik bapak. Hasilnya?Nothing. Tidak ada yang terjadi dengan ponsel saya.

Suatu hari, Iis, keponakan ibu asuh, memanggil saya. Dia menyuruh saya untuk meletakkan ponsel di tembok rumahnya yang terbuat dari kayu. Rumah Iis memang letaknya lebih tinggi dari rumah hostfam saya. Dan tadda... muncul satu sampai dua bar, lebih-lebih kalau angin sedang bertiup kencang (Note: sebenarnya, saya tidak tahu hubungan antara sinyal dan tiupan angin, tapi ketika angin bertiup agak kencang, pasti sinyal langsung muncul di layar ponsel saya). Lumayan! =P

Begitulah, sampai detik ini selalu begitu. Saya selalu meninggalkan ponsel saya di dinding kayu itu. Saya ikat ponsel saya dengan tali rafia di dinding rumah Iis. Jangan bayangkan bagaimana saya ber-pose di dinding untuk mendapatkan sinyal. Mirip cicak, mungkin. Tapi saya tak peduli. Pegal sedikit tak apa, yang penting, saat angin bertiup kencang, saat itulah sinyal datang. Oh, tembok harapan!


Cerita Lainnya

Lihat Semua