Tahu Goreng Tepung Primadona

Hety Apriliastuti Nurcahyarini 18 November 2011

Ini mantranya:

Tenang, semua bisa memasak kok,

Semua bisa menakhlukkan bahan-bahan,

Meramu dengan berbagai bumbu campur perasaan

Bersahabat dengan sotil, panci, dan penggorengan...

(Mantra di atas adalah opening speechcerita blog saya kali ini)

 

Ya ya ya, saya tahu. Mama, Papa, dan Mbak Yen (panggilan sayang untuk kakak saya) di rumah pasti tertawa terpingkal-pingkal membaca ini semua. Bagaimana tidak? Di rumah Jogja, mereka menganggap saya adalah perempuan yang tidak bisa memasak. Ibarat anak kecil, kalau saya memasak, saya dianggap seperti sedang bermain ‘masak-masakan’. Mungkin karena resep ‘eksperimen’ saya aneh, cara saya menabur bumbu lucu, gaya memasak saya unik, atau bisa juga cara saya memegang penggorengan terlihat kaku. Tapi biarlah. Kisah ini nyata, sepotong kehidupan saya sebagai Pengajar Muda di Pulau Bawean. Jauh dari rumah, jauh dari Jogja.

 

Mama, Papa, Mbak Yen, dan teman-teman saya semua, bacalah...

 

It’s Time to Show, eh to Cook

Beberapa hari ini, saya mencoba memasak untuk diri saya sendiri. Alasan pertamanya sih cukup singkat, lidah saya merindukan ‘rasa-rasa’ lama, masakan-masakan sebelum saya tinggal di Pulau Bawean. Niat itu pun saya utarakan kepada Ibu angkat saya (ibu angkat=ibu hostfam, rumah tempat saya tinggal).

 

Tidak secara polos saya mengatakan saya kangen masakan Jogja. Saya bilang kepada Ibu angkat kalau saya ingin memasak, yah ‘iseng-iseng’ sambil mengisi waktu. Gayung pun bersambut, Ibu angkat saya setuju. Beliau sadar, pasti terjadi perbedaan ‘ideologi rasa’ dalam setiap masakan. Beliau sebenarnya harap-harap cemas juga, masakan yang selama ini beliau masak tidak cocok dengan selera saya.  Setelah ber-ba bi bu bersama Ibu angkat, berarti resmi sudah saya dibolehkan untuk ‘bereksperimen’ di dapur, termasuk memegang, menggunakan, serta memberdayakan segala alat memasak dan segala bumbu yang ada di dapur.

 

Dapur, Saya Datang...

Suasana saat saya memasak di dapur Ibu, lebih mirip acara demo panci penggorengan antilengket di pasar. Kebetulan dapur Ibu yang berdinding bambu terletak di samping rumah. Dengan pintu yang cukup lebar, siapa pun yang lewat di halaman rumah Ibu pasti akan ‘tergoda’ untuk menengok dapur mungil itu.

 

Itulah yang terjadi pada saya. Suatu hari, saat saya menggoreng tahu dan memasak tumis kangkung, saya dikerumuni oleh Ibu-ibu tetangga. Pada awalnya mereka hanya lewat di halaman rumah Ibu dan menyapa saya dengan logat Bawean yang khas, “Masak apa, Bu?”. Tahu saya sedang memegang sotil dan menghadap penggorengan, para Ibu satu persatu mendekat ke arah saya. Tak hanya mendekat, para Ibu pun menanyakan bumbu dan bahan ‘ramuan ajaib’ saya eh, maksudnya masakan saya :p. Antara malu, salah tingkah, grogi, deg-degan menjadi satu. Tapi hati saya berbisik ‘nakal’ dan genit, “It’s time to show, Hety”. Jadilah saya beranikan diri menjawab pertanyaan para ibu-ibu tadi. 

 

(Sekali lagi, percaya deh, mama, papa, mbak Yen, dan teman-teman yang menganggap saya tidak bisa memasak pasti tertawa membaca kisah ini :p)

 

Tidak hanya sampai di situ saja cerita ini akan berkisah. Setelah masakan matang, saya menawari para Ibu untuk mencicipi ‘hasil eksperimen’ saya. Para Ibu hanya tersenyum malu-malu dan satu per satu mengundurkan diri pulang. Ibunya pulang, tapi anaknya tidak, anaknya tetap tinggal. Kebetulan di rumah ibu angkat saya sedang ada ‘ritual’ acara nonton bareng film kartun. Pesertanya? Ya anak-anak, anak-anak tetangga. Jadilah mereka yang mencicipi. Juri ramuan ajaib, eh masakan saya.

 

“Nyamaaaaaan...,” kata mereka sambil malu-malu, yang artinya enak. Hihihi. Saya tertawa geli sendiri. Tidak menyangka, tahu goreng tepung, yang di rumah saya hanya dilirik sebelah mata, sekarang menjadi primadona di sini. Primadona lidah anak-anak tetangga.


Cerita Lainnya

Lihat Semua