Hujan Turun Perdana

Hety Apriliastuti Nurcahyarini 9 Agustus 2011
28 Juni 2011 Pagi ini tiba-tiba mata terbuka begitu saja. Hanya ingat, setelah mematikan alarm handphone yang berbunyi tanpa ampun jam 04.00, saya tergoda untuk menutup mata dan melanjutkan mimpi. Sudah hanya itu saja yang saya ingat. Kali ini berbeda, tidak seperti biasanya. Tanpa suara tangisan Nanda (adik saya yang masih bayi), saya bisa bangun jam 05.13. Biasanya, saya terbangun di pagi hari gara-gara suara tangisan Nanda  yang memenuhi setiap penjuru rumah, termasuk kamar saya. Sehingga, tidak salah kan, jika saya menyebutnya sebagai alarm alami pribadi, tangisan bayi. Saya segera bangun dan bergegas keluar, menuju rumah Kak Lala, untuk menumpang wudhu. Setelah salat subuh, terdengar angin bertiup cukup kencang dari luar dan tak disangka-sangka, bressss.... . Ya, Tuhan hujan! Hujan pertama saya di sini. Hujan yang dinantikan orang-orang di sini juga. Hujan yang ditunggu untuk membasahi tanaman, membasahi tanah, ladang, dan kehidupan. Saya pun tergoda untuk membuka jendela kamarku. Jendela sederhana. Dua buah daun jendela yang ditutupi gorden berupa kain masyarakat Bawean pemberian Ibu asuh. Saya ikat dengan karet begitu saja agar pemandangan di luar jendela dapat terlihat. Hmmm... . Bau tanah khas tercium hidung. Bau tanah yang basah karena hujan. Hujan harapan yang dinantikan. Tuhan, jendela, langit, hujan, terima kasih, ini pagi yang indah.

Cerita Lainnya

Lihat Semua