Habis Gelap, Kapan Lampu Terang?

Hety Apriliastuti Nurcahyarini 23 Oktober 2011

Sudah dengar cerita ibu asuh saya yang mengatakan bahwa semua orang di dusun ini adalah saudara? Ya, saudara. Tidak peduli saudara jauh atau dekat. Tidak peduli. Saudara sepupu saja sudah dianggap seperti saudara kandung. Hubungan kekerabatan yang sedemikian rupa itu memang menakjubkan. Ibu sering mengajak saya main atau sekedar berkunjung ke rumah tetangga yang dikata saudara itu.

Hasilnya? Jangan tanya. Selain bisa bertukar cerita, jarang sekali saya pulang ke rumah dengan tangan hampa. Pasti ada buah tangan alias oleh-oleh alias pemberian dari si tuan rumah. Gawatnya, jika pemberian itu tidak kita terima, kita akan dianggap sombong. Jadi? Yap! Tepat! TINA atau <em>There Is No Alternative</em>, alias terima saja, tak lupa dengan mengucap beribu terima kasih kepada si tuan rumah.

Kali ini, tidak seperti biasanya. Ibu mengajak saya berkunjung ke rumah tetangga kakaknya malam ini. Saya tidak begitu menangkap kakaknya yang mana saking banyaknya yang dianggap kakak. Ada kakak yang suka memberi cabai, ada kakak yang suka berbagi roti dari Malaysia, ada kakak yang memberi pepes ikan, dan lain-lain. Pokoknya kakak.

Berbekal senter (ya, tentu saja, di sana tidak ada lampu penerangan jalan sama sekali), saya dan ibu sampai juga di sebuah rumah. Ibu memberi salam dan memanggil nama si kakak dengan nada ‘tinggi’ (di sana berbicara dengan nada tinggi alias berteriak adalah hal biasa). Pintu dari kayu (‘<em>gedhek’) </em>pun terbuka lebar dan wow! Saya agak terkejut karena pemandangan di dalam rumah berdinding bambu itu gelap gulita. Hanya ada satu lampu teplok yang menempel di dinding, sinarnya temaram.

Tahu kan bagaimana si lampu teplok menerangi? Pelit. Si lampu yang pelit cahaya. Dia hanya mampu menerangi seperempat ruangan. Dan taukah apa yang saya lihat dari si lampu pelit itu? Sebuah dipan besar yang berisi lima orang ibu (termasuk kakaknya ibu). Di atas dipan itu, mereka semua merebahkan tubuhnya. Hanya si kakak yang bergegas bangun untuk mengobrol bersama saya dan ibu. Tapi tetap sama, di atas dipan kami semua berkumpul. Ibu, kakak, dan ibu-ibu yang ada di atas dipan itu tampak mengobrol seru. Sementara saya? Jangan tanya. Saya lebih senang melihat pemandangan sekitar dan membiarkan imajinasi saya melayang.

Eh tunggu dulu. Saya sedang tidak berimajinasi tapi hati saya sedang bergejolak melihat pemandangan di dalam rumah. Yang ada di pikiran saya adalah Indonesia dan perusahaan listrik yang dimilikinya. Dimanakah itu semua? Oh, Indonesia yang gelap, Indonesia yang hitam. Saya terbayang beberapa koran dan siaran berota TV yang menampilkan headline mengenai kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL), demonstrasi di jalanan mengkritisi listrik yang ‘<em>byar-pet</em>’, tunggakan rekening listrik, listrik yang ndompleng, pemalsuan meteran listrik oleh oknum dan masalah-masalah lainnya.

Tampaknya saya terlalu banyak melihat berita negatif di TV. Saya terlalu banyak membaca koran. Hati saya telah terpolusi oleh berita-berita itu. Saya kembali melihat ibu dan kakaknya. Mereka masih asyik mengobrol. Sesekali ibu-ibu lainnya yang juga ikut menimpali. Suaranya kadang keras, kadang dipelankan. Jika suara dipelankan, saya tahu, mereka pasti sedang bergosip ria.

Saya lihat mereka tampak senang. Dipersatukan dalam dipan besar walau tanpa sinar lampu yang menerangi. Gelap yang membuat mereka berkumpul. Gelap yang membuat mereka hangat dalam pelukan persaudaraan. Gelap yang membuat pembicaraan mereka semakin akrab. Mereka tidak peduli perusahaan listrik, mereka tidak peduli meteran listrik, mereka tidak peduli kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL).

Mereka bahagia dalam kegelapan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua