Tidak Semudah Itu (1)

Hendra Aripin 31 Juli 2011
Beberapa hari aku sudah mengajar sejak liburan semester. Aku menjadi wali kelas 5 dan 6. Tidak ada yang aneh dengan mengajar di kelas. Tapi ada yang berbeda ketika aku berada di luar sekolah. Ada beberapa anak muridku dulu, kelas 6 tahun ajaran 2010/2011 yang berkeliaran. Aku penasaran sekali. Beberapa waktu sebelumnya, aku pikir aku sudah mengingatkan kesemua orang tua mereka kalau mereka harus lanjut. Yang bermasalah harusnya Hirma, yang 15 lainnya menunjukkan tanda-tanda akan lanjut sekolah. Kenyataan berbeda. Satu hari, aku panggil salah satu muridku, Sarmila. Usianya 16 tahun. Dia salah satu muridku yang paling rajin. Hanya 1 kali absen selama aku mengajar dan itu karena sakit. Sisanya, dia selalu datang. Tiap hari, sehabis shift kelas 6 selesai (dia kelas pagi), dia sering datang ke sekolah dan membantuku membersihkan perpustakaan, sekedar sapu-sapu kelas, atau terkadang sampai membantuku menjagakan kelas 1 atau 2 yang aku ajar bersamaan dengan kelas 4. Aku pernah bertanya padanya, “Mila, cita-cita ngoni apa?” “Guru, Pak,”jawabnya. Jadi guru harus memiliki pendidikan yang cukup. Di Halmahera Selatan minimal D2. Dia tahu kalau dia mesti melanjutkan sekolah dan dia memang ingin sekali sekolah. Tapi sekarang sudah hampir satu bulan. Kenapa dia masih berkeliaran di Belang-Belang? Desaku ini kan tidak memiliki SMP? Rugaya, Rusdi, Arfandi, Hirma, Andi, dan Ratna. Mereka juga. 7 anakku. Mereka tidak lanjut. Ya Allah, bagaimana dengan cita-cita tinggi mereka? Aku mesti bertindak. Sebelum Juni, aku sudah memulai lobi-lobi lewat rapat dengan orang tua murid agar mereka menyekolahkan anaknya. Mereka menunjukkan kesamaan pikiran. Aku pikir itu pertanda baik. Tidak juga ternyata. Aku memutuskan harus berbicara dengan tokoh-tokoh masyarakat di desaku. Aku mendekati sekretaris desaku dan ketua komite. Tidak lupa mengompori Pak Azhar dan Kepala SD Belang-Belang, Pak Kadir. Selama ini, semua warga desa sudah terbiasa dengan yang namanya anak putus sekolah. Di desaku, terdapat banyak sekali anak-anak usia SMP, usia SMA yang tidak jelas kerjaannya di desa. Mereka biasa bermain saja, terkadang memancing. Biasanya penyebabnya dua, kalau bukan karena orang tuanya tidak menyekolahkan (bisa karena biaya atau karena tidak mau), terkadang juga karena anaknya yang “sukarela” memberhentikan diri setelah beberapa hari sekolah. Untuk alasan yang kedua, sebabnya adalah karena mereka pada umumnya lebih tua beberapa tahun dari anak-anak SMP pada umumnya dan secara wawasan akademik, mereka masih tertinggal dari anak-anak lain. Beberapa masih sangat sulit membaca. Mereka tidak bisa disalahkan. Sudah bertahun-tahun, jumlah guru SD Inpres Belang-Belang yang hadir tidak mampu mencukupi jumlah rombongan belajar. Tidak usah kita berbicara soal kualitas pengajaran dulu. Sungguh problem pelik, anak-anak lulusan SD Inpres Belang-Belang dulunya terkenal “tua”, tidak bisa membaca, berhitung, dan menulis dengan lancar. Aku cukup optimis dengan anak-anakku yang baru lulus itu. Mereka mungkin memang belum mencapai level optimal. Aku akui kalau fokusku yang terpecah karena memegang kelas lain, membuat pengabdianku ke mereka juga jadi sedikit berkurang. Selain itu, teknik mengajarku juga jauh dari sempurna. Tapi mereka sudah bisa membaca cukup lancar, mengerjakan soal-soal IPA dan matematika dengan percaya diri (walau masih sering salah), mereka mulai terbiasa berpidato dan berpuisi di depan kelas. Rasa-rasanya percaya diri mereka telah meningkat. Tapi mungkin memang masalah putus sekolah itu kompleks. Ada berbagai macam masalah dan mungkin akarnya memang akar serabut. Harus persisten, harus ngotot. Begitu aku meyakinkan diriku sendiri. Aku memberanikan diriku untuk meminta waktu berbicara di depan semua masyarakat. Kebetulan, salah satu warga (yang kata warga sudah berusia lebih dari 120 tahun), baru meninggal. Biasanya, di Desa Belang-Belang, akan diadakan tahlilan (biasa disebut babaca) selama 9 hari beruntun. Aku meminta izin kepada sekretaris desa untuk diberi waktu sedikit, setelah babaca selesai untuk berbagi pikiranku. Tentu saja, sekretaris desa setuju untuk membantu. Babaca baru saja selesai. Aku berdiri. Meminta perhatian. Sesudah mengucap salam. Aku langsung memulai berbicara panjang lebar. Aku sudah lupa urutan kalimatku. Yang aku ingat, aku emosional ketika itu. Bukan marah, tapi sedih. “Bapak-bapak, sekarang ngoni mau protes kenapa jarang orang sini yang jadi pejabat? Mengapa di Labuha banyak sekali orang luar yang sukses buka toko? Ngoni mau marah bagaimana? Kita bukan ingin marah, tapi kita sedih, marah. Belang-Belang itu sudah kita anggap kita pe desa. Anak-anak ngoni itu so seperti kita pe anak. Kalau ngoni memang ada masalah dengan doi, kita bisa cari caranya sama-sama. Tapi kalau selain itu, kita mohon dengan ngoni untuk sekolahkan mereka. Bayangkan ngoni pe anak tidak sekolah tapi dong pe teman sekolah semua. Bayangkan 10-20 tahun lagi, dia pe teman so sukses tapi dia tetap begitu saja. Ngoni mesti kasih dia kesempatan. Jangan karena ngoni taramau berkorban sedikit, ngoni pe anak masa depannya rusak. Ngoni pe anak sekolah terus sampai kuliah, 20 tahun lagi, ngoni pe desa akan membaik. Pe rumah akan bagus. Pe anak-anak pandai dan punya penghasilan. Taracuma jadi pegawai, ada pedagang. Ngoni sakit, ngoni pe anak yang jadi dokter atau bidan. Ngoni sekarang listrik susah, sinyal susah, nanti ngoni pe anak yang pulang buat tower. Ngoni pe anak itu yang harusnya punya Halmahera Selatan. Ngoni pe anak mesti pintar, mesti sukses. Kalau ngoni pe anak jadi mengail, biarlah dong jadi orang yang bisa juga biking ikan sarden. Bukan hanya yang jual murah. Mari kitong biking Belang-Belang sukses!” Beberapa hari kemudian. Masih belum terlihat tanda-tanda perubahan. Bagaimana ini?

Cerita Lainnya

Lihat Semua