Telur Cita-Cita
Hanif Azhar 21 Februari 2015“Anak-anak, kakgi kalu la besak, nak jadi ape die?” (Anak-anak, nanti kalau sudah besar mau jadi apa?) tanyaku iseng.
“Tukang takok, Pak! Lemak nian, banyak duitnye,” (Penyadap karet pak. Enak, punya banyak uang) jawab Edo.
“Tokeh balam, Pak! Humahnye la besak, punye banyak mobil pule,” (Pengumpul getah karet Pak! Punya rumah besar dan banyak mobil juga) jawab Engki
“Beeeuh... la ngape jadi tukang takok ngan tokeh balam, oi. Buyan nian ni uhang. Kalu aku nak jadi pilot, Pak! Kakgi pacak ke Jawe betandang ke humahnya Pak Hanif, Bu Adhim, Bu Tresa, Pak Dimas (Empat generasi Pengajar Muda di Talang Airguci). Lemak pak, mangke jadi sampai Jakarta pule,” (Mengapa kalian hanya ingin jadi penyadap dan pengumpul karet? Seperti orang bodoh saja. Kalau saya ingin jadi pilot pak. Nanti dapat terbang ke Jawa mengunjungi Pak Hanif, Bu Adhim, Bu Trisa, dan Pak Dimas. Enak Pak, sampai Jakarta) Ungkap Radit mantap.
“Pak, pak, aku dekdeh jadi tukang takok, Pak. Nak jadi pilot lok Radit bae. Saya galaknya behusik ke humeh Bapak pule, kakgi,” (Pak, saya tidak ingin jadi penyadap karet lagi. Saya jadi pilot saja seperti Rahdit, biar dapat mengunjungi bapak nanti) Sahut Edo.
“Pak, aku dekdeh jadi tokeh pule pak. Aku nak jadi polisi bae. La banyak gale maling balam di talang kite. Sama bae kalu nak jadi tokeh, tapi balamnya dimaling uhang. Kalu jadi polisi mangke pacak belage ngan maling balam,” (Pak, saya juga tidak jadi pengumpul karet juga. Saya jadi polisi saja. Sudah banyak pencuri getah karet di talang kita. Sama saja, kalau jadi pengumpul getah tapi dicuri orang. Kalau jadi polisi dapat menangkap pencuri) Engki menambahkan.
“Kalu aku, nak jadi guru Indonesia Mengajar lok Bapak be. Lemak. La pintar, pacak keliling dunia, lok Bapak” (Kalau saya jadi pengajar muda seperti bapak. Enak pak, sudah intar dan dapat keliling dunia) ujar Laura.
“Aku sama ngan Laura, Pak! Nak jadi guru Indonesia mengajar. Kalu banyak Indonesia mengajar, mangke ndak katek budak talang buyan pule.” (Saya sama dengan Laura, Pak. Jadi pengajar muda. Kalau banyak pengajar muda, maka tidak ada lagi orang bodoh di talang kita) kata Siska.
“Pak, saya nak jadi bidan, Pak! Engke kakgi pacak bantu kance-kance. Alangkah kasihannya pak, kami kalu nak berobat jauh nian. Kakgi kalu udem jadi bidan, humahku parak dengan ya, Laura, Siska,” (Saya ingin jadi perawat supaya dapat membantu orang lain. Kasihan, kalau mau berobat jaraknya sangat jauh. Nanti kalau sudah jadi perawat, saya akan membangun rumah di talang, dekat rumahnya Siska dan Laura) jawab Nadia.
“Kalu saya nak jadi tentra, Pak. Lemak nian, pacak baris-berbaris ngan bawe pistol, untuk nimbak maling balam lok Engki,” (kalau saya ingin jadi tentara. Seru pak, dapat berlatih baris-berbaris dan membawa pistol kemana-mana. Nanti membantu Engki menangkap pencuri getah karet di talang kita) sahut Ari.
“Okay, Rahdit dan Edo nak jadi pilot. Engki nak jadi polisi. Ari tentra. Siska dan Laura nak jadi guru Indonesia Mengajar. Nadia nak jadi bidan. Kalu Wanto, nak jadi ape die dengan? Bapak dekdeh dengah suahe dengan,” (Okay, Rahdit dan Edo ingin jadi pilot. Ari jadi tentara. Siska dan Laura menjadi pengajar muda. Nadia jadi perawat. Kalau Wanto ingin jadi apa kamu, Nak?) saya mencoba menyimpulkan cita-cita mereka sambil bertanya kepada siswa kedelepan, Sarwanto.
“Basing, Pak! polisi jadi, tentra jadi, TNI jadi, nakok balam jadi pule.” (Terserah saja pak. Jadi polisi, tentara, TNI, atau penyadap karet pun tidak apa-apa) jawab Wanto datar.
Saya selalu terhibur mendengar jawaban tentang mimpi anak-anak kelas galaksi Bima Sakti ini. Melihat semangat mereka seperti bahan bakar yang senantiasa menjadi sumber energi positifku di sini, Talang Airguci. Mimpi-mimpi mereka sungguh sederhana dan luar biasa. Sebagai guru, saya hanya dapat mendukung dan mengarahkannya. (baca selengkapnya tentang anak-anak galaksi bima sakti http://indonesiamengajar.org/cerita-pm/hanif-13/kelas-galaksi-bima-sakti)
Bagi saya, tidak ada salahnya apabila mereka ada yang bercita-cita menjadi tukang takok balam (penyadap getah karet, red). Tidak salah juga bagi mereka yang bermimpi menjadi tokeh balam (pengumpul getah karet, red). “Silahkan kalian mau jadi apapun, nak! Asalkan kalian dapat bertanggung jawab dengan pilihan kalian, dan mampu membawa manfaat bagi orang lain,” inilah pesan yang seringkali saya sampaikan ke mereka.
***
Suatu hari saya membawa kertas karton vanila berbagai warna ke sekolah. Kemudian saya meminta mereka untuk membuat gambar cita-cita mereka di kertas yang disediakan. Setelah gambarnya jadi, mereka mewarnainya dengan bahagia. Visualisasi mimpi, cita-cita, penuh canda dan tawa, Aaaaah... pagi yang luar biasa!!!
Kemudian, Ketika anak-anak sibuk dengan menggambar dan mewarnai, saya mulai membuat bentukan elips beraneka warna. Saya memotongnya dengan teliti, dan boooom! jadilah telur raksasa berwarna. “Anak-anak, sekarang pilihlah telor sikok bae. Isi dengan gambar cita-cita dengan,” (Anak-anak, sekarang pilih satu telur. Isi dengan cita-cita kalian) perintahku. Mereka pun meresponnya dengan tanggap. Tidak sampai sepuluh detik, delapan telur itu sudah habis diambil oleh tangan mungil penuh keingintahuan itu.
“Anak-anak, siape yang galak bantu bapak ambek pelekat?,” (Anak-anak, siapa yang mau membantu bapak mengambil lem kertas?) tanyaku. Semua tangan diangat, dengan wajah penuh harap supaya saya memilih mereka. “Okay, Edo, dengan bantu bapak ambek pelekat,”(Okay Edo, kamu bantu bapak ambil lem ya!)“Yeaaaaaay!” betapa bahagianya mereka, hanya sekedar terpilih untuk membantu bapak gurunya mengambil lem kertas. Kemudian Edo mengambil lem dan memimpin teman-temannya untuk menempelkan gambar cita-cita mereka ke dalam telur yang masih kosong.
“Anak-anak, cuka kinakilah telor dengan sikok-sikok. Dengan sekarang lok atuh. Maseh kecik, lok bayi dalam telor.” (Anak-anak, coba lihatlah telur kalian satu-satu. Kamu sekarang seperti telur tersebut. Masih kecil, seperti embrio dalam telur) saya mulai menjelaskan. “Beeeuh... makmane Pak, lok atuh? Saya dekdeh tau Pak,” (Makksudnya bagaimana pak, saya tidak faham) tanya salah seorang siswa. “Oi, dengan lok telor atulah. Cita-cita dengan lok isi telor itulah, harus diasoh, mangke kalu la besak, la jadi uhang.” (Kalian seperti telur-telur itu. Cita-cita kalian seperti isi telur, harus dijaga sampai besar dan tercapai jadi orang yang diinginkan) tambahku. Setelah itu, kami pun menempel semua telur di dinding kelas.
“Engke telor pacak meletas, kita butuh sangkah untuk menghangatkan,” (Supaya telurnya dapat menetas, kita butuh sarang sebagai tempat menghangatkan)“telornya masak kalu dihangatkan pak,” (Telurnya matang kalau dimasak pak) jawab seorang siswa diikuti canda tawa. Saya lupa, di sini arti kata hangat adalah panas. Jadi kalau dihangatkan, maknanya dipanaskan. Maka yang mereka tangkap adalah telur direbus. “Beeeuh... dekdeh, maksud bapak telurnya dierami endongnya di sangkah, oi,” (Bukan, maksud bapak, telurnya dihangatkan oleh iduk di dalam sarang) saya mencoba meluruskan.
“Payo, kite gale-gale nak buat sangkah engke telornya pacak meletas,” (Ayo kita semua membuat sarang supaya telurnya dapat menetas) ajakku kepada anak-anak sambil memberikan kertas karton vanila berwarna dan gunting. Kami semua kemudian memotong sisa-sisa kertas pembuatan telur dan gambar cita-cita untuk membuat sangkar. “Anak-anak, sebelum dengan menempel sangkah buat telor cita-cita, cukalah tulis ape die bae yang harus dilakukan engke cita-cita kite gale-galenya tercapai.” (Anak-anak, sebelum kalian menempel sarangnya, coba tuliskan apa saja yang harus dilakukan supaya cita-cita kita tercapai) ajakku lagi.
Kemudian mereka menulis apa saja yang harus dilakukan dan apa saja yang harus dihindari supaya cita-cita mereka tercapai. Ada yang menulis harus rajin sekolah, mengerjakan PR, berangkat sekolah jam 06.00 pagi, membantu orang tua, membuang sampah pada tempatnya, rajin belajar, dan masih banyak lagi. Setelah itu, mereka menempel sarang yang berisi pesan-pesan positif yang mereka buat sendiri.
Akhirnya, telur cita-cita kelas galaksi bima sakti pun selesai. Dengan bangga, mereka memamerkan karya bersama ini kepada kelas sebelah. Mereka pun selalu berusaha menaati pesan positif yang mereka buat sendiri. Apabila sesekali mereka menyalahi aturan, misal membuang bungkus permen sembarangan, atau berkelahi dengan temannya, maka saya cukup menyuruh mereka membaca janji-janji mereka sendiri di telur cita-cita.
Ternyata, cara ini sangat efektif untuk menerapkan positif disiplin di kelas kami. Mereka juga belajar bertanggung jawab kepada janji-janji yang mereka buat sendiri. Secara tidak langsung, mereka juga belajar menjadi karakter yang lebih baik dan terus memperbaiki diri. Terimakasih kelas galaksi bima sakti, terimakasih anak-anak Airguci. Kalian luar biasa... tetaplah menaatinya sampai telur cita-cita kalian menetas, suatu hari nanti.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda