Keberlanjutan

Hanif Azhar 2 Juni 2015

Beberapa indikator kesuksesan sebuah gerakan adalah mampu menghasilkan tunas-tunas baru yang lebih baik dari pendahulunya, dan juga keberlanjutan. Setiap daun yang gugur ke bumi tak pernah menyalahkan angin. Karena ia tahu, pupus-pupus baru akan tumbuh menyertainya. Namun, bagaimana dengan keberlanjutan?

 

Sejujurnya, sampai saat ini, saya masih berusaha mencari maknanya. Kebanyakan, sebuah generasi akan mengklaim bahwa mereka adalah yang terbaik. Menganggap generasi pendahulunya kurang optimal di berbagai bidang, sehingga memicu semangat mereka untuk bergerak, membuat perubahan. Begitu pula generasi selanjutnya. Mereka akan menganggap generasi pendahulunya demikian.

Ini bukanlah hal buruk. Semangat perubahan itu sangat diperlukan untuk membuat karya baru. Namun, satu hal yang sering terlupakan dalam semangat perubahan itu adalah keberlanjutan. Padahal, keberlanjutan belum tentu melanjutkan sesuatu yang benar-benar sama persis.

Menjadi Pengajar Muda di Indonesia Mengajar memberiku pemahaman tentang banyak hal. Salah satunya tentang keberlanjutan itu sendiri. Saya tidak akan membicarakan hal besar di level nasional, tidak pula level daerah. Saya cukup belajar dari hal-hal kecil di desa penempatan saya, Talang Airguci, Desa Sugihan, Kecamatan Rambang, Kabupaten Muara Enim. Sebuah pemukiman kecil di pedalaman hutan Sumatera Selatan.

Ketika masih mahasiswa, saya cukup mengamini quotes dari Bill Gould, School never teach us how to think, They only teach us what to think. Saya merasakannya sendiri. Oleh sebab itu, sejak saya tergabung menjadi pengajar muda, salah satu misi saya untuk visi keberlanjutan adalah School should teach us how to think, not only what to think. Kata kuncinya adalah Kreativitas.

Kreativitas bagi saya adalah pelajaran abstrak yang tidak saya dapatkan ketika masih sekolah. Saya benar-benar merasakan manfaatnya ketika kuliah di kampus desain. Setiap hari dituntut untuk menyelaraskan otak kiri dan kanan. Ketika seorang anak hanya belajar apa yang harus dipelajarinya, secara tidak langsung dia sudah membuat sekat pada mindsetnya.

Coba kita bedakan dua kalimat ; anak-anak hanya melakukan sesuatu yang diinstruksikan. Dan kedua, anak-anak melakukan segala sesuatu, semuanya, kecuali yang dilarang.  Kalimat kedua akan membentuk karakter seorang anak yang kreatif. Dia akan mencari setiap pemecahan masalah dari dirinya sendiri. Dan saya mencoba melakukan eksperimen itu kepada mereka.

Ya, sebenarnya saya melakukannya juga bukan tanpa alasan. Seringkali mengajar sendirian di sekolah membuat saya memutar otak bagaimana supaya anak-anak didik saya dapat belajar dengan mandiri, dari dalam dirinya sendiri. Tidak melulu tergantung dari kehadiran guru. Saya sadar, kehadiran sosok guru yang mampu membimbing itu mutlak diperlukan untuk siswa SD. Sayangnya, keadaan di pedalaman hutan tidak seideal yang saya bayangkan.

Banyak hal yang saya coba biasakan adalah membuat jurnal rahasia setiap pagi. Isinya sederhana, apapun yang ada di fikiran mereka. Menceritakan aktivitas keseharian, mimpi-mimpi, sampai imajinasi yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Saya juga mencoba membiasakan anak didik untuk membaca dengan mandiri. Selain itu, membiasakan mereka menjadi asisten guru juga sangat membantu, baik tugas saya sebagai guru, maupun perkembangan dalam pembelajaran mereka. Alhasil, walaupun di sekolah harus mengajar kelas rangkap, biasanya hanya ada seorang guru dan saya, tenaga kerja sukarela, kami dapat memegang anak-anak karena terbiasa untuk positif disiplin.

Selain perkembangan yang mengembirakan dari anak didik, saya juga melihat perubahan entitas warga terhadap pendidikan. Contoh kecil adalah mendukung motivasi anak-anak mereka yang ingin menlanjutkan sekolah ke jenjang menengah. Walaupun siswa-siswi SMP dan SMA di Airguci masih dapat dihitung dengan jari, itu jauh lebih baik daripada tidak ada sama sekali.

Masyarakat juga mulai terbiasa untuk terbuka terhadap pendatang. Setahun terakhir, cukup banyak para relawan yang berbagi inspirasi ke Talang kami. Sebut saja Rumah Zakat Indonesia, Ikatan Dai Indonesia (IKADI) Kab. Muara Enim, Relawan Peduli Pendidikan (RPP) Palembang, Penyala Palembang, Save Street Child (SSC), Forum Indonesia Muda (FIM) Musi, dll beberapa instansi seperti MEDCO, PGN, Pertamina juga tidak absen. Bahkan, istri Bupati Muara Enim pun menyempatkan diri berkunjung ke tempat kami di pedalaman hutan.

Indonesia Mengajar sudah memasuki tahun kelima. Itu artinya, tahun ini adalah tahun terakhir di tempat saya. Salah satu visi di tahun kelima adalah keberlanjutan. Dan, sampai sekarang pun saya belum menemukan maknanya. Saya menyadari, estafet ini harus segera berpindah tangan. Bisa jadi, saya merasa belum melakukan hal-hal besar yang berarti. Namun, saya berharap hal-hal kecil setahun ini bermanfaat bagi mereka, warga desa.

Bagi saya, keberlanjutan itu cukup melihat senyum anak-anak didik saya semangat belajar. Ketika mereka mampu belajar mandiri dari motivasi internal. Syukur-syukur mereka dapat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, suatu hari nanti. Keberlanjutan juga cukup melihat warga desa saya yang sudah mulai terbuka dan peduli pendidikan anak-anaknya. Menerima dengan tangan terbuka para relawan yang ingin berbagi, serta mandiri dalam hal motivasi. Tidak muluk, tapi berisi.

School should teach us how to think,

not only what to think 

(Hanif Azhar)

Cerita Lainnya

Lihat Semua