Skenario Tuhan Jilid 2; Minus 245

Hairul 18 Oktober 2014

 

Seratus dua puluh hari masih menghirup udara yang sejuk di pulau ini, Seratus dua puluh hari masih melihat dan merasakan ombak yang berlari-lari ketepian, Seratus dua puluh hari masih menikmati senja dari ufuk utara Indonesia.

Melihat wajah polos mereka, mendengar teriakkan, tangisan, serta canda dan tawa mereka, Membuat 120 hari kulalui jua dengan senyuman, tangisan, atau sekedar decak[1] heran sekaligus kagum akan tingkah laku ‘ajaib’ mereka. mereka yang telah pandai ‘mencuri’ kebahagiaan ini adalah  mereka yang juga sama sepertiku, kamu, kita, yakni bagian dari negeri kita tercinta ini –Indonesia.

Bahagia yang amat sangat [tidak] sederhana yang mereka curi dalam hidupku ini adalah salah satu bagian yang aku syukuri.

Karena bahagia itu,

Saat kaki ini belum sampai menginjakkan pulau, jauh masih di atas kapal namun teriakkan anak-anak dari kejauhan membuat rasa yang berbeda. Atau bahagia adalah Saat pagi hari, baru saja ‘menampakkan’ diri di muka sekolah, anak-anak kelas satu sudah ber-koor ria sambil berteriak, “Engku!!” kemudian berlari dan mendekapku ramai-ramai, tak jarang bedak-bedak celemotan[2] mereka berpindah keseluruh baju dan celanaku.

Melihat anak-anak sekolahku sudah ramai, berbaris rapi di halaman setelah lonceng dibunyikan tepat pukul 07.15 Wita, disertai keusilan tangan-tangan kecil mereka kepada temannya yang menjadi pemanis apel setiap pagi juga menjadi kebahagiaan tersendiri.

Belum lagi saat aku melihat mata semua anak-anak terpejam rapat (meski kelas 1 ada yang coba-coba mengintip), saat tangan-tangan tergenggam erat bersamaan dengan itu terdengar kata-kata indah dalam doa pagi mereka yang diucapkan bersama-sama. Terasa begitu khidmat. Sungguh itu bahagia!

Adakah diantara kalian yang memiliki adik, murid, teman atau siapapun yang belum bisa membaca? Saat melihat kerutan di dahi anak-anak yang belum bisa membaca, ketika ia mengeja dengan lantang dan terbata-bata setiap barisan ditemani dengan butiran keringat yang mengalir dari seluruh wajah mereka. Itu membuatku bahagia. Bukan bahagia karena mereka belum bisa membaca, namun bahagia saat melihat mereka pantang menyerah dalam menyelesaikan bacaannya.

Bahagia juga saat terjadi hal yang tak terduga, saat celoteh dari salah satu murid kelas dua yang tiba-tiba datang ke kelasku, “Engku, sudah jam sembilan lewat. Kapan kita istirahat? Kampung sebelah sini sudah teriak-teriak!” Tanyanya sambil telunjuknya menunjukkan ke arah perut.

Lain hal saat terdengar embusan nafas anak-anak yang setelahnya berkata “Yaaaahhh” ketika waktu istirahat sudah selesai, namun kata itu berganti menjadi “Horeee!!” saat lonceng pulang berbunyi. Semuanya memiliki rasa kebahagiaan yang lain juga untukku.

Terbayang saat panas terik disiang hari, jendela kamarku yang menghadap keluar diketuk, dan seperti yang sudah kuduga, “Engku! Mari ke hutan! kita cari kelapa muda!”. Sesampainya di Hutan, tak sampai hitungan 60 detik, beberapa anak sudah berada di atas pohon kelapa yang berbeda-beda yang tingginya lebih dari 8 meter. Tak lupa peda (golok) sudah tertancap manis di atas pohon. Aku hanya melihat mereka dari bawah, tak lama terdengar bunyi kelapa berjatuhan satu persatu dari masing-masing pohon yang mereka panjat.  Bahagia sekali, bukan? :)

Tak sampai disitu kebahagiaanku berakhir. Kami menuju darmaga dan tanpa peluit seperti yang ada dalam pertandingan, kami lompat dan salto bersama-sama (aku hanya lompat, tanpa salto pastinya) dari atas darmaga ke laut. Kali ini dinamakan kebahagiaan yang memicu adrenalin!. Berbeda Saat kedua tanganku ditarik oleh 2 orang anak yang masing-masing memegang satu tanganku untuk kemudian dibawa sambil berenang menuju tepian, itu adalah bagian dari bahagia yang mengharukan.

Bahagia yang tak sederhana juga saat kami berlomba menahan nafas di dalam air sambil menyelam dan siapa yang paling terakhir muncul ke permukaan, dialah pemenangnya. Lalu tiba-tiba hujan turun, menikmati air dari atas dan air dari laut sambil wajah-wajah kami menengadah ke langit memiliki sisi kebahgiaan tersendiri untukku. Kebahagiaan ini adalah kebahagiaan yang bercampur rasa syukur kita pada Tuhan atas apa yang telah IA berikan. Kemudian saat sudah kedinginan, kami beranjak mandi ke sumur terdekat. Menimba air (tanpa katrol) dengan ember atau bekas kaleng cat bertali dan mengguyurkan badan kami satu persatu. Tak lengkap jika tidak bercanda tentunya. Hal seperti itu menurut kami adalah b-a-h-a-g-i-a.

Lain halnya saat melihat acting mereka yang kata mereka itu adalah tiruan dari ‘Arga’ sinetron harimau-serigala-yang-sejujurnya-aku-tak-menyukai-dampak-dari-sinetron-tersebut. Meski jengkel akan pengaruh sinteron tersebut, namun gaya ‘ke-harimau-harimau-an’ mereka membuatku tak berhenti tertawa. Apalagi dengan gigi taring buatan yang mereka buat dari berbagai macam benda. Terlihat polos sekali, bukan?

Kebahagiaan mengharukan lainnya adalah saat tanganku diperebutkan anak-anak untuk mereka genggam ketika ada kapal ke kabupaten dan mereka mengantarku hingga naik kapal, sambil teriak, “Engku! Jangan lama-lama di Tahuna ya. Cepat pulang!” hati mana yang tak terenyuh mendengar hal seperti itu? semuanya tak ada yang tidak membuatku bahagia.

Semua kebahagiaan itu tak berhenti sampai disitu saja. Masih banyak hal-hal yang membuatku tak berhenti ketawa, kesal, marah, atau menangis karena tingkah mereka.

Namun kebahagiaan itu,  Minus 245.

Semoga keberadaanku yang tinggal 245 hari lagi di pulau ini memiliki manfaat bagi mereka meskipun “hanya sebuah sekrup kecil” dalam sebuah mesin yang besar.[3]

Terakhir,

Karena bahagia itu, [tidak] sederhana.

Karena Tuhan itu pembuat SKENARIO terindah dalam hidup.

[1]Membuat bunyi “cek” dengan mulut untuk menyatakan kekaguman atau keheranan mengenai sesuatu. (Sumber: KBBI)

[2]Berbercak-bercak (berpalit-palit) dengan kotoran (lumpur dsb). (Sumber: KBBI)

[3]Diambil dari buku “Gurunya Manusia” karangan Bapak Munif Chatib dalam sebuah prakata.


Cerita Lainnya

Lihat Semua