Skenario Tuhan Jilid 1; KAWIO

Hairul 19 September 2014

“Terkadang, kita harus menggenggam tangan kita sendiri untuk meyakinkan bahwa diri kita kuat.”            ― Someone

“Ada pertemuan, pasti ada perpisahan.” Menurutku, mengapa kita bertemu jika pada akhirnya harus berpisah? Mengapa harus ada air mata perpisahan disaat lengkungan senyum pertemuan sudah ranum terkembang?

          Tiga puluh hari yang lalu, tepat tanggal lima belas di bulan Juni tahun 2014, aku masih berada di ibu kota negara bangsa ini, bersama teman-teman Pengajar Muda angkatan delapan lainnya. Tepatnya, kami masih bersama menuju hari pelepasan kami, kami masih bersama mengukuhkan niat dan cita-cita kami untuk ikut turun tangan dalam melunasi janji kemerdekaan bangsa ini. Mencerdaskan kehidupan bangsa di pelosok-pelosok penjuru nusantara. Terdengar hebat sekali bukan? Entahlah, tapi aku dan ke-74 Pengajar Muda lainnya memiliki satu niatan yang sama, yakni belajar!

          Sampai saat sebelum pesawat meninggalkan bandara ‘Soekarno-Hatta’, masih belum tergambar sama sekali akan tempatku nanti, tempat dimana aku akan mengalahkan semua rasa takut dan cemasku, tempat dimana aku akan mengikiskan egoisme serta idealisme diri, dan tempat dimana aku akan ‘belajar’ selama 365 hari kedepan. Pelukan dan dekapan hangat dari teman-teman menghantarkanku dengan satu kalimat, “Kita pergi untuk kembali!”

          Hanya butuh waktu tiga jam dari ibu kota Jakarta menuju kota provinsi ini, kota yang tak jauh berbeda dengan ibu kota Jakarta ini bukanlah tempat dimana aku ditugaskan. Masih harus menempuh sekitar 12,5 jam jalur laut untuk sampai di kabupatenku. Namun, tak sebatas itu kekhawatiranku berakhir, masih dibutuhkan waktu 7-8 jam menggunakan pumboat[1] atau 12-24 bahkan 48 jam dengan kapal perintis untuk menuju desa dimana aku akan ditugaskan.

          Hingga saat senja, deburan ombak menyampaikan pesan, desau angin menyapaku dari kejauhan, birunya laut dan langit berbisik lirih “Selamat datang di pulau ini. Selamat datang di perbatasan utara negeri ini. Selamat belajar!”

          Satu bulan sudah aku berada di desa ini, desa yang sebenarnya hanya berjarak kurang lebih 37 mil laut dengan negara tetangga Filipina, berbatasan langsung dengan pulau terluar Filipina (Balut dan Saranggani) yang jika menggunakan pumboat hanya menghabiskan waktu 3-4 jam. Bahkan, beberapa penduduk di desaku lahir dan besar disana. Tidak sampai disitu saja, meski tak banyak, peralatan rumah tangga dan bahan makanan di desa ini juga berasal dari negara yang ber-ibukota-kan Manila tersebut.

          Suatu waktu, di dalam perjalanan menuju desaku, aku bertemu dengan salah satu masyarakat yang desanya dekat dengan pulauku. Setelah aku merasa akrab dengannya melalui perbincangan ringan diatas kapal, aku pun mulai bertanya,

     Aku :“Mengapa tetap memilih kembali ke Indonesia, mengakui warga negara bangsa ini disaat Wawu[2]  lahir dan besar di Filipina?” tanyaku.

     Kakak:“Saya memang lahir, sekolah hingga menengah atas, bahkan ikut merasakan bahagia dan bangganya saat Filipina merayakan hari kemerdekaan. Tapi, satu yang membuat saya ingin kembali ke tanah kelahiran orang tua saya adalah sebuah persaudaraan. Indonesia yang menurut kebanyakan orang adalah negara korupsi, negara teroris, tapi buat saya, Indonesia adalah tempat ibu saya dilahirkan. Tempat ibu saya mengenal budaya timur, tempat ibu saya mengenal rasa belas kasih dan peduli terhadap sesama, dan tempat ibu saya mengenal cinta kepada lelaki yang itu adalah ayah saya sendiri. Namun, saya tetap suka dengan Filipina. Berkatnya, kedua orang tua saya mendapatkan rezeki yang menghantarkan saya hingga ke sekolah menengah atas disana. Saat orang tua saya tak ada tambahan penghasilan di Indonesia ini, Negara tetangga tersebut tak hanya menjanjikan, tapi memberikannya. Jadi, saya tetap semangat saat Filipina merayakan hari kemerdekaannya disetiap pertengahan tahun.” Jawabnya sambil tertawa kecil. Rasa penasaranku semakin menjadi,

     Aku : “Lalu, Wawu memutuskan menjadi WNI saat usia 17 tahun karena sebuah persaudaraan di Indonesia?”

     Kakak: “Bukan berarti dengan saya merayakan kemerdekaan Filipina berarti saya tidak ada rasa nasionalisme ya, Engku[3]. Itu memang bentuk rasa terima kasih saya. Karena saya bahkan warga pulau tidak memungkiri, bahwa Filipina memang konsumen terbesar ikan-ikan di pulau kita. Mereka tak ragu membeli berjuta-juta rupiah hasil ikan kita ketimbang bangsa kita sendiri, mereka mau ikut menyelam dan mengambilnya sendiri. Jadi, kami warga pulau tetap harus berterima kasih pada mereka.” Paparnya. “Tapi Engku jangan khawatir, persaudaraan bangsa ini yang membuat saya tetap memilih menjadi warga bangsa kita tercinta ini, dan pastinya juga karena persaudaraan bangsa ini yang membawa Engku ikut mengabdi ke Pulau ini, toh?” sambungnya.

         Obrolan didalam sebuah kapal bersama kakak –yang aku lupa namanya- membuatku teringat akan sebuah rekaman suara anak-anak kepulauan ini dari kakak pendahuluku, “Kami tinggal di perbatasan, namun rasa cinta kami kepada Negara Indonesia melebihi luasnya samudera. Kami berjanji dengan segenap jiwa dan raga akan selalu membela tanah air Indonesia.”[4] Semakin yakin dan membuat tekad ini bulat untuk berada di perbatasan utara negeri ini. Pulau ini memberikan banyak alasan mengapa aku harus bersyukur pada Tuhan. Misalnya saja, saat berpuasa di ramadhan kali ini, disaat aku berpuasa seorang diri karena memang seluruh warga disini beragama kristen, membuatku setuju dengan perkataan kakak tersebut bahwa, bangsa ini memiliki persaudaraan yang luar biasa indah. Masih banyak orang-orang baik disini yang memberikan jauh dari apa yang kebanyakan orang di ibu kota berikan. Bagaimana tidak? Mereka memberikan apa yang mereka bisa berikan bukan disaat mereka berlebihan. Atau bahkan pada saat mereka tercukupkan. Mereka memberikan disaat mereka juga sebenarnya membutuhkan.

Sempat ku bertanya pada Tuhan,

           “Ya Tuhan, mengapa Engkau tempatkan aku di Pulau ini? Pulau yang didalamnya banyak sekali hal yang tidak aku sukai. Aku tidak bisa berenang, tetapi Engkau tempatkan aku di pulau yang tidak hanya bisa berenang saja, karena memang untuk menuju pulau ini hanya dapat melewati sekitar 12 hingga 24 jam lautan. Ya! Laut! Bukan kolam renang yang aku tahu seberapa dalamnya, sehingga aku akan memilih tempat yang tak dalam.

           Ya Tuhan, aku takut sekali dengan anjing, tetapi Engkau tempatkan aku di pulau yang tidak hanya ada seekor anjing, bahkan beratus-ratus anjing berkeliaran ditempat ini.

           Ya Tuhan, dulu aku selalu bercanda dengan teman-temanku. Disaat ada sesuatu yang tidak kami senangi, kami selalu berkata ‘Pergi atau buang saja ke laut!’. Bukan hanya pergi ke laut, kini, setiap saat, deburan ombak dan desau angin laut selalu menyapaku seraya berkata, ‘Aku laut, tempat yang selalu kau buat bercandaan. Kemarilah!’

          Ya Tuhan, aku baru mengerti. Memang, yang aku inginkan adalah berada ditempat yang tidak ada hubungannya dengan dua hal diatas. Kini aku mengerti, Tuhan. Kau memberikan bukan apa yang aku inginkan, melainkan Kau memberikan apa yang aku butuhkan. Mungkin benar, Tuhan. Saat aku tidak dapat berenang, kau memberikanku murid-murid yang tidak hanya bisa berenang, tetapi murid-muridku dibesarkan di tempat yang bersahabat dengan air. Mereka dengan berbaik hati mengajari dan melindungiku saat aku bermain di laut. Selain pelampung yang memang telah ku bawa, tangan-tangan kecil mereka yang membuatku tetap menikmati laut-Mu ini.

      Mungkin benar, Tuhan, saat aku takut dengan anjing, Kau ‘menghadirkan’ anjing-anjing ditempat ini dan menunjukkan Kuasa-Mu bahwa ada makhluk hidup lain yang juga Engkau ciptakan untuk beribadah pada-Mu. Tahukah, Tuhan? Satu bulan hidup berdampingan dengan anjing-anjing itu membuat rasa takutku hilang. Aku sudah terbiasa dengan kehadiran mereka.

          Terakhir, Tuhan. Mungkin memang benar, disaat laut menjadi bahan bercandaan kami, aku baru mengerti. Bahwa dari laut ini, sejatinya banyak menyimpan pesona keindahan. Jernihnya air laut membuatku dapat dengan mudahnya melihat beranekaragam terumbu karang, melihat dengan indahnya bintang laut saat berjalan, dan yang terpenting adalah, bahwa aku tetap bertahan hidup karena laut. Ya, masyarakat di pulau ini menjadikan laut sumber kehidupan mereka. segala jenis ikan laut yang telah ku makan, menjadi salah satu anugerah untuk kelangsungan hidupku. Terima kasih, Tuhan.”

          Beberapa pertanyaan yang kemudian ku jawab sendiri membuatku semakin yakin untuk tetap ‘belajar’ dari manapun, semakin yakin bahwa di pulau ini, di desa ini, di ujung perbatasan utara negeri ini, terdapat SKENARIO terindah dari Tuhan, skenario bernama KAWIO. Ya! Pulau Kawio, pulau terluar utara negeri ini, salah satu pulau penempatan Kabupaten Kepualuan Sangihe di Provinsi Sulawesi Utara yang akan memberikan banyak ‘kehidupan’ untukku.

“365 hari kedepan, aku akan belajar! Belajar dari Kawio, belajar dari masyarakat, belajar dari ibu dan bapak guru, dan belajar dari murid-murid SD GMIST Smirna Kawio ini.”

“365 hari kedepan, aku akan jatuh cinta! Jatuh cinta pada Kawio, jatuh cinta pada masyarakat, jatuh cinta pada guru-guru, dan jatuh cinta pada murid-murid sekolah ini.”

“365 hari kedepan, aku akan mengabdi! Mengabdi pada Kawio, mengabdi pada sekolah dan masyarakat, juga mengabdi pada Bangsa dan Negara ini.”

Terakhir,

”Tuhan adalah pembuat SKENARIO terindah dalam hidup!”

 

Kawio, 15 Juli 2014

 

[1]Perahu kecil yang terbuat dari bambu dan kayu dengan menggunakan satu atau dua mesin yang berbahan bakar bensin.

[2]Sapaan untuk kakak perempuan dalam bahasa sangir dan biasanya yang menyapa dengan kata ini untuk orang yang belum menikah.

[3]Sapaan untuk guru laki-laki yang belum menikah dalam bahasa sangir. Cara melafalkannya, huruf E pada kata Engku dibaca seperti huruf E pada kata Enam.

[4]Rekaman diambil saat acara FAS (Festival Anak Sangihe) yaitu kegiatan yang digagas oleh Pengajar Muda angkatan pertama di Kabupaten Kepulauan Sangihe.

*ini ngerjain bloggnya bareng salah satu murid kelas 6* hehehe

Cerita Lainnya

Lihat Semua