Guru saya hebat meski belum sarjana!
Gracia Lestari Tindige 21 Agustus 2011
Di Rote saya bersekolah.
Guru-guru saya hebat semua! Mereka panjang sabar dan tidak pernah menghukum saya. Mereka mengajar dengan teknik tingkat tinggi, tidak pernah menggunakan papan tulis atau membacakan buku teks melainkan menunjukkan pada saya hal yang dapat saya alami langsung sehingga saya lebih mudah belajar.
Guru-guru saya tidak suka belajar di kelas, mereka mengajak saya keluar. Bergerak. Menatap langit. Memperhatikan pepohonan. Melompat. Menyentuh hewan. Bernyanyi. Tertawa. Gembira.
Guru-guru saya tidak pernah marah ketika mengajar. Ketika saya berkali-kali melakukan kesalahan, mereka tidak mendecak kecewa atau memberikan tatapan frustasi atas lambatnya saya belajar. Mereka akan tertawa terbahak-bahak berulang-ulang bersama saya, kami akan tertawa atas kesalahan yang dibuat kemudian akan mengulang kembali pelajaran yang sama.
Mereka akan berkali-kali menerangkan sesuatu dan ketika saya lupa mereka akan mengulang kembali. Berkali-kali, sampai saya mengerti. Waktu saya berhasil mereka akan memberikan apresiasi yang tinggi, ketika saya gagal mereka tidak tampak kecewa. Bagi mereka hasil akhir bukanlah segalanya, yang paling penting adalah seberapa keras saya telah berusaha.
Guru-guru saya bukan sarjana. Tinggi mereka bahkan tidak lebih dari 150 cm.
Anak-anak kelas 5 SD Inpres Bandu. Mereka guru-guru saya.
Setiap hari mereka mengajarkan saya bahasa Rote, yang menurut saya susahnya setengah mati, karena logat yang cepat dan pola bahasa yang tidak tetap.
Mereka mengajarkan saya mengitung satu sampai sepuluh, menyebutkan anggota tubuh dan memberi salam sederhana. Buat teman-teman yang mempelajari kurikulum sekolah dasar pasti mengerti bahwa apa yang mereka ajarkan pada saya adalah standar kompetensi yang harus dicapai oleh anak kelas 1 SD. Ya, dalam kelas bahasa Rote bersama guru-guru saya itu saya adalah anak kelas 1 SD.
Kadang kami belajar waktu jam keluar bermain. Kadang kami belajar sepulang sekolah. Kadang kami memutuskan untuk bermain dan libur belajar bahasa Rote J
Tapi guru-guru kecil saya paling menikmati waktu di sore hari dalam perjalanan pulang sehabis pelajaran tambahan. Kami berjalan bersama (lebih tepatnya saya naik motor pelan-pelan dan mereka berjalan di kiri dan kanan saya) kemudian mereka akan menunjuk hampir semua hal.
“Ai Dati!” sambil menujuk pohon jati
“Manu!” waktu kami melewati rumah yang memelihara ayam
“Bafi nggeok!” sambil menunjuk seekor babi warna hitam yang menyebrang jalan
Masih banyak lagi, pohon pisang, pohon pepaya, dan pohon-pohon lain yang saya tidak ketahui jenisnya, kuda,anjing, rumah. Semua mereka tunjuk, semua mereka ulang. Dalam hati saya berjanji besok saya akan membawa buku dan mencatat.
Bapak dan Ibu guru saya yang masih kecil bukan sekedar mengajarkan saya bahasa daerah, mereka adalah trainer-trainer pendidikan mumpuni yang mengajarkan saya ilmu pedagogi tanpa buku referensi. Bersama mereka saya belajar untuk melihat cara belajar seorang anak. Bagaimana memperlakukan seorang anak dalam kelas.
Tapi hal paling berharga yang saya pelajari dari mereka adalah kesabaran mereka dalam mengajari seseorang dan penghargaan mereka atas tiap hasil usaha.
Pak guru dan Ibu guru, terima kasih atas semua hal yang Ibu dan Bapak ajarkan pada saya. Saya percaya kalau sedari kecil Bapak dan Ibu sudah hebat begini, pasti ketika besar bisa jadi lebih hebat lagi.
*pelajaran bahasa Rote diawali dengan kesepakatan, saya mengajarkan mereka matematika, IPA dan bahasa inggris, kemudian mereka mengajarkan saya bahasa rote.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda