Kembali ke Timur

Gloria Maria Foster Pingak 24 Maret 2015

Beta datang ke sini karena beta ingat anak-anak di negeri (baca:desa) ini ibu, kalau bukan katong yang lia sapa lae?”, ucap Bapa Yan.

 

Sore hari biasa aku akan berjalan keliling desa untuk sekadar melihat aktivitas sore masyarakat Werain. Saat berjalan ku hentikan langkahku di bawah pohon jambu air yang berbuah lebat. Di Werain buah adalah sesuatu yang sangat langkah maka jangan heran bila langkahku terhenti di bawah pohon jambu sore itu.

 

Permisi, permisi”, teriakku memastikan ada orang dalam rumah.

Oh iya ibu Glo ada apa?”, sahut pria berbadan tinggi berkulit gelap.

Bapa Yan jambu su matang kha?” (Bapa Yan jambu sudah matang?), tanyaku.

Oh sudah ibu, tunggu nah beta suruh anak-anak ambil”, ujar Bapa Yan.

 

Sambil menunggu jambu-jambu ranum yang dipetik kami berbincang-bincang tentang sekolah sampai pengalaman hidup. Perbincangan sampai pada pertanyaan yang jawabannya menggugahku.

 

Bapa Yan? kenapa la Bapa mau mengajar di Werain? Biasa orang pi kuliah seng mau pulang lae”, tanyaku.

Beta datang ke sini karena beta ingat anak-anak di negeri (baca:desa) ini ibu, kalau bukan katong yang lia sapa lae?”, ucap Bapa Yan. Jawaban Bapa Yan itu terus terngiang di pikiranku.

 

Bapa Yantje Slarmanat atau sering disapa Bapa Yan adalah putra asli Werain, putra kebanggaan desa Werain. Ia menyelesaikan kuliahnya di perguruan tinggi di Jakarta dengan gelar Sarjana pendidikan agama Kristen. Gelar yang telah diperolehnya tidak membuatnya menonggakkan kepala. Justru itu membuatnya sadar akan pentingnya kembali ke kampung halamannya.

Keseharian Bapa Yan diisi dengan mengajar sebagai guru honor di SD Kristen Werain. Usai mengajar biasanya ia segera pulang, berganti baju, menyiapkan jaring lalu pergi melaut. Suatu hal yang ganjil di desa Werain bila ada sarjana turun ke laut. Di Werain, kata sarjana mengandung magis yang membawa kehormatan pagi si penyandang. Pilihan untuk “dihormati” ditinggalkan oleh Bapa Yan. Beliau memilih untuk menjadi sama dengan masyarakat Werain pada umumnya. Perut tidak bisa diisi dengan kehormatan, perut hanya bisa diisi dengan kerja keras. Bapa Yan rela meninggalkan harga seorang sarjana dan pergi melaut ia terus bekerja keras untuk menghidupi orang tua dan adiknya yang masih kuliah.

 

Perbincangan dengan Bapa Yan mengingatkanku pada lirik lagu “Kembali ke Timur” yang dibawakan oleh penyanyi Maluku, Glenn Fredly.

Suara hati memanggilmu kembali, Kembali untuk bersama-sama dengan mu, Senyum manismu surga di bumi, Membawaku kembali

Deburan ombak dan butiran pasir putih bagaikan mutiara yang menari-nari, Senyum manismu surga di bumi, Membawaku kembali

Paduan suara tifa dan tarianmu bagaikan mutiara yang menari-nari, Senyum manismu surga di bumi, Membawaku kembali, Ikutilah iramaku, berdendanglah bersamaku

Menarilah dengan ku Aku di sini dan engkau di sana, Ayo kembali ke timur,

Lirik yang disenandungkan Glenn ini, membuatku sadar akan betapa ibu pertiwi selalu memanggil siapapun pulang untuk kembali ke pangkuannya. Seburuk apapun sang ibu. Yah ia tetaplah ibu kita. Kembali ke Timur bukanlah suatu keterpaksaan. Sesungguhnya itu adalah hakekat anak manusia untuk kembali ke pangkuan sang ibu pertiwi.

Deburan ombak, kehangatan tawa mama-mama yang melengking khas orang Maluku, makanan yang disajikan dengan penuh kesederhanaan, kepolosan anak-anak yang tak bosan-bosannya bermain. Tak heran bila hasrat yang dirasa Bapa Yan untuk kembali ke Werain begitu besar. Saat aku tiba di Werain tak ada alasan bagiku untuk merasa tidak betah tinggal di sini. Sungguh aku di timur Indonesia hari ini.

Yah perjalanan ini tidak pernah semudah yang semua orang bayangkan. Mungkin orang akan merasa rugi telah berusaha keras keluar kampung dan harus kembali tinggal di desa. Daerahku kampungan, negeriku jauh dari peradaban mungkin itu yang dirasa sebagian orang ketika pulang kampung.  Tidakkah dulunya kita pun penuh kekurangan? Semua tidak akan berubah bila sang ibu masih sama menderitanya seperti dulu. Ada sebuah kisah rakyat menceritakan sosok anak sukses bernama Malin kundang yang memilih merendahkan sang ibu usai merantau dan sukses. Semua pasti yakin itu bukan pilihan yang tepat. Aku rasa bila si Malin ketika itu mengakui, menyambut dan mengurus sang ibu ceritanya akan berbeda hari ini.

Renungkan dan hening sejenak rasakan panggilan ibu pertiwi.

Putra-putri bangsa, Bapa Yan hari ini telah mengajarkan kita untuk kembali mengabdi ke negeri asalnya di timur. Bukan karena terpaksa tetapi Bapa Yan menyadari bila bumi pertiwi membutuhkan kehadirannya.

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua