Menjadi Pengajar, Untuk Siapa?

Furiyani Nur Amalia 3 November 2011

Tanggal 30 Oktober 2011. Genset sudah padam. Hanya bunyi jangkrik, suara debur ombak, cahaya kunang-kunang di ujung jendela, dan dinginnya angin berhembus di balik tirai. Saya harus terjaga malam ini. Namun saya ingin berbagi (lagi). Banyak sekali tantangan dan tempaan yang membuatku tersandung, terseok-seok, ingin menyerah, ingin teriak, namun pada akhirnya aku bisa berdiri walau dengan merangkak dulu.

 

Kenapa? Enam bulan atau tujuh bulan yang lalu, percakapan itu masih melekat kuat di ingatanku.

“Hah? Kamu mau jadi guru? Guru di pelosok? Buat apa???” tidak lama kemudian dilanjutkan, “Kamu serius? Kamu yakin? Kalau aku ngga berani, Fur”

“Kamu yakin Mbak mau resign? Ngga sayang sama kerjaanmu Mbak?”

Saya waktu itu tidak paham dan masih belum jelas, kenapa ide gila menjadi pengajar di pelosok ini begitu kuat merasuki niatan saya untuk melepaskan segala yang saya miliki saat itu. Jawabnya hanya dengan senyum dan dalam hati saya hanya menjawab “kenapa jadi pengajar? Karena saya ingin.” Ingin dan mau. Sudah itu saja.

 

Saya juga masih ingat, ketika Pak Anies Baswedan mengatakan, “Buat apa kalian mau jadi pengajar muda? Mau bersusah-susah untuk hidup yang susah!” waktu itu saya hanya tersenyum. Kata beliau, kita berusaha dan sedang mengusahakan untuk memenuhi janji kemerdekaan, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan beliau juga mengatakan, mendidik adalah salah satu kewajiban tiap orang terdidik. BENAR. Saya mengangguk, membenarkan. Saat itu. Tapi jawaban itu belum ada pembenaran yang tepat dari diriku pribadi.

Pembenaran atas petuah beliau saya rasakan ketika sudah 4 bulan menginjakkan kaki di tempat ini. Jangan tanya kenapa saya harus di tempat ini? Sekali lagi kehendak Allah yang sudah begitu adil menempatkan saya di pulau yang saya namakan sekolah kehidupan. Buat apa sebenarnya saya harus susah-susah untuk hidup susah?

 

Datang di sebuah pulau, dimana aku akan menjadi orang terbelakang di dunia teknologi. Datang di tempat tak bersignal komunikasi menjadi tersendat. Kemana-mana harus jalan kaki menyusuri bukit atau mendayung untuk menyeberang. Tempat di mana segalanya harus mencari dan membuat. Ingin makan ikan? Mencari. Ingin makan sayur? Tanam dulu. Sakit ke dokter? Jangan harap tak ada dokter. Buat apa saya mau melakukan itu semua dulu?

 

Belum lagi, di pulau ini adalah asing. Bahasa tidak di ketahui dengan jelas. Apalagi bahasa Indonesia. Banyak manusia yang pikirannya kadang bertolak belakang dengan apa yang menjadi idealisme kita. Ada juga tingkah laku dan kebiasaan orang yang sangat jauh dari etika dan kebiasaan kita dan bisa tergolong tercela. Lalu, buat apa saya harus ke tempat ini datang sebagai Pengajar Muda?

Ditambah, keadaan sekolah yang kondisinya jauh dari apa yang kita lihat selama ini. Bangunan, murid, guru. Bangunan yang setengah roboh, terpisah antara satu kelas dengan kelas yang lain. Kemudian kondisi murid yang kurang disiplin. Membaca, menghitung dan menulis masih di bawah sekali standart. Kelakuan yang kurang baik. Suka memukul, berteriak dan lainnya. Ditambah lagi kondisi guru yang kuantitas maupun kualitas hadir dan benar-benar mengajar itu kurang. Sekali lagi saya meyakinkan pada diri saya, untuk apa saya harus jauh-jauh ke ujung utara Indonesia menjadi bagian dari masyarakat sini? Untuk apa?

 

Saya kembali teringat petuah Pak Anies. Stop Cursing the Darkness and Light a Candle. Ya, sekali lagi saya hanya manggut dan mencoba menerawang tempat yang akan saya datangi waktu itu. Memikirkan berapa lilin yang mungkin saya harus bawa untuk bisa saya nyalakan di daerah penempatan saya kelak. Random saat itu. Sekali lagi yang saya kantongi hanya niat dan mau. Itu saja. Ternyata apa yang di katakan Pak Anies benar. Disini memang gelap dan kegelapan memang ada. Gelap dalam artian tidak ada listrik. Listrik hanya begragntung pada genset, genset bergantung dari minyak. Minyak bergantung dari ketersedian minyak di pulau. Mendapatkan minyak di pulau bergantung dengan kondisi cuaca dan ombak. Hidup disini bukan bergantung dari ke’ADA’an sesuatu. Namun hidup disini bergantung dari kebergantungan itu sendiri.

Bagaimana kegelapan? Ya ini memang kegelapan. Kegelapan yang saya ceritakan diatas memang butuh penerangan. Tetapi, saya masih mempunyai lilin dan masih membawanya dari tempat dimana lilin ini sudah terbentuk kokoh. Namun saya masih belum bisa menyalakannya. Saya belum menemukan dengan apa lilin ini dinyalakan. Semasa awal saya masih melihat dan menelaah. Saya masih takut untuk menyalakan. Saya takut mereka tak terbiasa dengan terang. Karena mereka masih terbiasa dengan gelap. Dan saya belum tahu sebesar apa kobaran api yang lilin kokoh ini hasilnya jika saya nyalakan. Saya ingin menjadi lilin yang tiba-tiba menyala. Saya tidak ingin dianggap sebagai pahlawan pembawa lilin penerangan, karena ya itu, saya takut api yang membakar lilin ini terlalu panas untuk melelehkan tubuhnya yang sudah lama beku. Lantas, jika takut, buat apa saya memutuskan jadi pengajar muda?

 

But, life must go on. Life need more actions to survive. Dont wait the perfect moment, just take a moment and make it perfect. The time is now ripe for actions. Seiring dengan berjalannya waktu, saya harus bertahan. Saya belajar banyak dari sekolah kehidupan ini. Belajar untuk sabar berjalan di tengah malam untuk mengajari muridku belajar membaca dan menulis. Belajar untuk tetap teguh pada setiap keyakinan bahwa setiap anak itu terlahir dengan kelebihannya. Belajar untuk pantang menyerah ketiga setiap gagal mencoba sesuatu. Belajar untuk menyesuiakan diri dengan keadaan yang ada serakang.

Belajar lapang dada melihat keadaan yang sangat bertolak belakang dengan akal dan rasional kita. Belajar menghargai dan menghormati pada setiap perbedaan pendapat dan kebiasaan. Memahami setiap hakikat kemadanian Indonesia. Belajar untuk memahami kapan kita harus menempatkan diri yang di depan sebagai pemimpin. Kapan kita harus berada di tengah menjadi anggota dan kapan juga kita harus di belakang untuk mendengarkan pimpinan.

 

Ingat semua itu tidak enak pada awalnya. Ingin berontak, rasa kesal, rasa ingin marah. Tapi ini hidup. Thats live. And you dont live alone. You need your society. Disinilah aku belajar mengendalikan dan merubah ego kita menjadi suatu yang ‘berbaik sangka’ dan ‘positif’. Saya belajar semuanya disini. Belajar untuk memulai dan membiasakan. Belajar untuk memulai membiasakan. Memberikan pembelajaran dan pembiasaan. Bagaimana rasanya memberikan pembelajaran dan mendapatkan pelajaran? Sama, semuanya itu sulit. Namun bagaimana rasanya jika sudah terbiasa? Semuanya berjalan dengan mudah.

 

Alhamdulilah akhirnya saya menemukan jawaban. Jadi, ketika saya ditanya, untuk apa kamu menjadi pengajar muda? Saya menjadi pengajar muda bukan semata-mata untuk negeriku. Bukan semata-mata untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun untuk diriku. Yang paling utama adalah untuk diriku yaitu saya harus BELAJAR. Belajar Mencerdaskan kehidupanku dulu sebelum mencerdaskan kehidupan bangsaku. Belajar membuat tangguh dulu diriku sebelum mengajari tangguh kepada murid-muridku. Belajar sama dengan proses. Dan ketika saya mulai menyukai proses, maka saya akan terbiasa bahwa kehidupan saya sedang berjalan diatas Pembelajaran.

 

Beeng Darat, 1 November. Atas rahmat Allah yang tidak pernah lelah memberikanku Pembelajaran :)


Cerita Lainnya

Lihat Semua