Baca-Tulis-Hitung = Hak-Asasi-Anak

Furiyani Nur Amalia 4 Agustus 2011
Assalamualaikum saudaraku.. Semoga Allah selalu merahmati kalian semua malam ini dengan curahan taufik dan hidayahNya. Deras hujan sore tadi tak membuat bulan sabit berhenti menerangi teras rumahku. Temaram sinarnya dibarengi lampu minyak menemaniku dengan tiga murid yang sedang belajar membaca, menulis dan menghitung. Ketiganya sangat spesial buatku. Satu anak duduk di kelas 2, satu anak lagi duduk di kelas 4 dan satu anak terakhir duduk di bangku kelas 5 SD. Mengapa saya mengatakannya spesial. Mereka tak pernah lelah dari pagi di sekolah, siang menjelang sore ke rumah dan malam mereka ke rumah lagi. Sebuah energi yang luar biasa menurutku. Dulu, saya memang menyuruhnya untuk belajar di rumah masing-masing, kalau tidak bisa mereka bertanya kepadaku. Tapi, diantara sekian banyak murid, ketiga muridku inilah yang paling sering tidak datang dan tidak bertanya sama sekali atas materi di sekolah yang saya berikan. Ya, walaupun mereka berbeda kelas, tapi mereka mempunyai problematika yang sama. Ketika saya tanya kenapa mereka tidak mau belajar, jawabnya adalah mereka selalu tidak bisa mengikuti materi yang diberikan oleh gurunya, atau sering ketinggalan saat gurunya menerangkan. Dikarenakan apa? Dikarenakan mereka tidak bisa membaca, menulis dan menghitung dengan benar. Suatu pagi di hari Minggu, seperti biasa saya berjalan-berjalan keliling pulau bersama murid-murid. Ketiganya juga pasti ikut. Bisa dikatakan, ketiganya adalah anggota tetap setiap kali ada agenda keliling pulau. Memang pada saat itu saya ingin mengunjungi rumah ketiga muridku ini, yang katanya rumahnya tidak begitu jauh satu sama lain. Sebuah rumah dari bambu dikelilingi pohon-pohon kelapa yang tinggi dengan sepetak ladang bertanamkan cabai di sampingnya dan ada ibu yang sedang membersihkan kandang. Ya, dia adalah ibu dari salah satu muridku ini. Seperti biasa, bercakaplah saya. Pada suatu percakapan, saya mengatakan pada ibu ini untuk memantau anaknya supaya selain belajar di sekolah, juga harus bisa belajar di rumah. Namun,kagetnya saya ketika ibu ini menanggapi lain. “Anak saya memang susah diajak belajar, Encik. Biar saja, walaupun sudah 2 kali tidak naik kelas, saya terima. Sampai tiga atau lima kalipun dia tidak naik saya terima. Supaya dia tidak memiliki nasib yang sama dengan saya dan bapaknya.” Saya hanya tersenyum diam, lantas dia melanjutkan. “Memang, dari keturunan bapaknya ada yang tidak bisa baca sampai sekarang. Dan dari keturunan saya, ada yang tidak bisa menulis juga. Jadi, memang dia ada darah tidak bisa baca dan tulis. Makanya itu saya sekolahkan, Encik.” Lagi-lagi saya hanya bisa tersenyum simpul. Apa benar, ketidakmampuan baca dan tulis itu menurun? Selang beberapa hari dari kejadian itu, saya bertemu nenek dari salah satu muridku tadi. Sambil memegang tangan dan pundakku beliau berkata, “Encik, Si A (nama disamarkan sementara) kalau memang nakal atau memang tidak bisa belajar pukul saja. Sekali-kali memang harus keras. Susah memang dia belajar. Mungkin ada kelainan di otaknya” Lagi-lagi saya hanya bisa tersenyum, sambil mengucapkan “Oma.. Jangan lupa A diingatkan belajar ya.” Si Oma itu tetap getol mempertahankan bahwa cucunya itu keras kepala dan susah diajak belajar. Waktu kecil, ibu pernah bilang,” kalau mau masuk SD harus bisa membaca, menulis dan menghitung ya?”. Ya baru saya ingat, HARUS. Tapi saya tidak tahu kedepannya buat apa membaca, menulis dan menghitung itu. Yang saya tahu, kalau saya tidak bisa itu, saya akan di cemooh, diolok-olok teman, tidak dapat rangking dan bisa-bisa tidak naik kelas. Sahabat saya Marcella juga pernah sharing cerita, bahwasannya dia baru bisa membaca jelas setelah kelas 3. Sebelumnya dia hanya bisa menghafal dari apa yang diajarkan ibunya. Dan saat-saat itu adalah masa dimana dia selalu dicemooh temannya, dianggap kelainan karena tidak mampu membaca. Kenapa saya menulis judul tulisan ini adalah “Baca-Tulis-Hitung = Hak-Asasi-Anak”. Baca , tulis, hitung ini adalah layaknya syarat wajib yang harus dimiliki setiap anak agar dia bisa memijak langkahnya dimana dia nanti akan tumbuh. Ya karena saya yakin, karena dari sinilah akar pengetahuan ini tumbuh. Marcella, yang dulunya tidak bisa membaca, pada akhirnya dia bisa dan dia menjadi orang seperti sekarang ini. Saya dan kita mungkin akan terus berlatih, bahkan ada yang sampai di les privatkan agar bisa membaca menulis dan menghitung. Ya, baca-tulis-hitung adalah hak asasi dan kebutuhan pokok. Ketiganya adalah titik 0 dimana dunia kita dimulai. Kemampuan membaca menulis dan menghitung bukan semata-mata ada karena keturunan atau garis hidup takdir yang diberikan Tuhan. Ketiganya ada karena kita mau belajar dan kita menerima untuk diajarkan. Dan ketiganya menjadi amunisi bagi setiap anak yang terlahir di dunia. Kita meyakini, bahwasanya tidak ada anak yang dilahirkan bodoh di dunia ini termasuk murid-muridku. Setiap anak adalah spesial pada porsi yang Allah berikan. Mendengarnya membaca gabungan dua huruf, B-O dibaca BO lalu di gabung dengan dua huruf B-I, BI, dibaca BOBI, lancar tanpa salah adalah kebahagiaan tersendiri bagi saya. Melihatnya menuliskan kata yang saya ucapkan, BU-MI dengan melafalkan lalu mengukirnya di pasir tulisnya adalah kebanggaan. Melihatnya bisa menjawab benar penjumlahan 7 ditambah 5 dengan cepat dan suara lantang adalah semangat bagiku. Dengan membaca, menulis dan menghitung tumbuhlah ilmu. Dan dari ilmu itu muncullah akhlak dan pengetahuan. Dari pengetahuan, maka datanglah inspirasi dan penemuan. Dari situlah nanti akan muncul siapa diri kita. Bahkan wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad adalah membaca. Bacalah (wahai Muhammad) dengan nama Tuhanmu yang menciptakan (sekalian makhluk). (QS Al-Alaq, 96:1) Oke, mari kita flashback sebentar ke masa dimana kita memulai belajar membaca, menulis dan menghitung. Ingatkah kalian masa-masa kalian dari yang tidak bisa membaca menjadi bisa baca? Atau masa-masa di mana kalian yang tidak tahu huruf menjadi bisa merangkainya dan di tuliskan di buku? Atau juga bagaimana kalian bisa menghitung persamaan matematika yang rumit atau bahkan rumus ekonomi yang rumit itu? Saudaraku, bukankah dengan “INI IBU BUDI” dan “1+1=2” adalah awal dimana kita mencari ridhoNya? *Terima kasih pada Masikome, Lian, dan Fanli yang tanpa lelah memberiku semangat dan menginspirasi membuat tulisan ini. Untuk sahabatku Marcella, Rote adalah pulau yang tepat kau berbagi ilmu. Dan terima kasih yang sangat mendalam untuk guru-guruku dari SD,SMP, SMA dan juga bapak ibu dosen, semoga Allah selalu merahmati . Juga ibuku yang luar biasa.

Cerita Lainnya

Lihat Semua