Menghargai Laba-Laba

Fina Azmiya 15 Juli 2016

“Aldi suka membaca buku ka seng?” Tanyaku memecahkan lamunan anak laki-laki yang tengah nangkring di atas pohon. Ia hanya menjawab dengan senyuman lebar, menampakkan gigi-gigi putihnya.

Namanya Aldi, siswa di SD tempatku bertugas setahun ke depan. Sudah lebih dari satu jam kulihat ia menghuni pohon beringin yang berdiri tegap di pinggir pantai. Sejak aku berjalan melintasi pohon itu untuk ke desa sebelah, hingga kembali lagi, ia masih di sana menikmati suasana pantai Letpey.   Matanya menerawang jauh ke depan, tak menyadari aku telah berdiri di depannya beberapa saat.

Tanpa menunggu lama, aku menyusulnya naik ke atas pohon sambil menyerahkan sebuah buku berjudul “Rahasia Jaring Laba-Laba”.  Ia mengamati buku itu sesaat, menatap mataku lalu mulai membuka dan membaca. Aku masih menunggunya di atas pohon sambil ikut menikmati debur ombak yang ternyata menenangkan.

Sampai beberapa saat, Aldi tiba-tiba memecahkan lamunanku “Ibu, berarti laba-laba harus bekerja keras untuk membuat jaring-jaringnya ya. Tapi beta deng teman-teman sering merusaknya. Kasihan laba-laba” Aldi terdiam, seolah berpikir sejenak.

“Ibu Guru, berarti katong harus menghargai laba-laba, ya?” Aku hanya menjawab dengan anggukan dan senyuman.

“Berarti nanti beta kasih tahu beta punya teman untuk tidak merusak jaring laba-laba” Lanjutnya dengan penuh semangat.

Ah iya, kita orang dewasa seringkali berfikir terlalu rumit hingga lupa untuk menghargai hal-hal yang menurut kita kecil, sekecil jaring laba-laba. Sedang sederhananya pikiran anak-anak kadang membuat kita tersentak. Anak-anak tak pernah berpikir rumit, bahkan untuk menghargai sesama dan sekitarnya. Dan jangan-jangan kita, orang dewasa terjebak di ruang pemikiran dan akhirnya menjadi ahli wacana, sekalipun sekadar untuk menghargai hal kecil saja.

Hari ini aku belajar dari Aldi bahwa rumus menghargai tidak rumit, juga tidak sulit. Bahwa menghargai kadang hanya perlu menurunkan ego dan gengsi pribadi. Bahwa menghargai sekitar hanya perlu kemauan dan sedikit dorongan.

Bukankah Pramoedya pernah berkata, “Bahwa hidup memang sederhana, yang rumit hanya tafsirannya”? 


Cerita Lainnya

Lihat Semua