“Kamu Ranking Berapa?”

Fina Azmiya 5 September 2016

“Kamu Ranking Berapa?”

Ketika saya masih SD sampai SMP, rasanya senang sekali mendengar pertanyaan tersebut. Itu berarti saya punya kesempatan untuk bercerita sambil agak sedikit “pamer” tentang pencapaian saya. Bahwa saya selalu mendapat ranking pertama sejak kelas satu hingga lulus, bahwa saya tidak hanya ranking satu kelas, tapi bahkan ranking satu parallel, bahwa nilai saya selalu bagus, bla bla bla, dan masih banyak cerita lainnya. Saya sudah pasti menguraikan cerita panjang dengan semangat yang tidak putus-putus. Ada semacam perasaan puas menceritakan pencapaian saya itu.

Dan rasanya, tidak hanya saya yang merasakan perasaan semacam itu. Banyak anak-anak yang juga seperti saya, merasa puas menceritakan pengalamannya menduduki peringkat pertama.

Lalu ketika memasuki SMA, pandangan saya tentang pertanyaan ini mengalami pergeseran. Saya mulai tidak suka jika ditanya tentang ranking (Bukan karena ranking saya jeblok, lho. Hehe). Alasannya karena saya mulai sadar tentang dampak pertanyaan ini.  Mungkin pertanyaan ini memang membanggakan untuk anak-anak yang menduduki peringkat wahid, tapi bagi mereka yang menempati peringkat buncit? Sudah pasti pertanyaan ini menjadi petaka. Menceritakan kalau ia berada di peringkat buncit berarti mempermalukan diri sendiri. Pertanyaan ini seolah melegitimasi anak-anak yang berada di peringkat atas adalah anak hebat, sedang yang diperingkat bawah semacam mendapat vonis anak bodoh.

Rasanya, saya setuju dengan tulisan Ibu Ratna Megawangi tentang sistem ranking ini. Dalam tulisannya yang berjudul “Ranking Mania”, ia bertutur tentang bagaimana sistem ranking menjadi pencetak sikap “Aku lebih baik, lebih hebat, lebih pintar dari dia”. Celakanya, sikap ini tidak hanya tertanam pada anak-anak, tapi juga pada orang tua yang berorientasi “anak saya lebih hebat”. Bukankah sikap semacam ini bermuara pada kesombongan?. Lagi, sistem ranking yang selama ini diterapkan ternyata secara umum tidak berhasil memotivasi siswa untuk mencintai keilmuan juga menjalankan tugas dengan baik dan amanah. Alih-alih memotivasi, sistem ini justru membuat anak terbebani, ambisi untuk semata mendapatkan ranking tinggi, atau bahkan menyebabkan sikap tidak jujur dalam mengerjakan tugas.

Mungkin sebagian orang menganggap ini masalah sepele, wong hanya pertanyaan saja. Tapi, bukankah sesuatu yang besar bermula dari hal-hal sederhana?

Saya pun masih belajar untuk mengontrol diri agar tidak melontarkan pertanyaan “kamu ranking berapa?”, karena sadar atau tidak, pertanyaan itu seolah sudah tertanam di pikiran untuk ditanyakan setiap kali bertemu dengan anak-anak sekolah. Jelas sudah tertanam di pikiran, sebab kita sudah dibentuk dengan sistem ranking ini sejak duduk di sekolah dasar. Alih-alih bertanya ranking, sekarang saya lebih suka bertanya tentang motivasi belajar, kesukaan atau cita-cita di masa depan.

Mari mulai memproduksi pertanyaan yang lebih membangun untuk anak-anak, bukannya pertanyaan intimidatif yang justru mengganggu mereka. 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua