info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Sebuah Refleksi Tentang Toleransi

Fevrina Leny Tampubolon 18 Juli 2014

Setelah masuk beberapa hari di awal bulan Juli, sekolah diliburkan hingga tanggal 4 Agustus. Karena liburan akan cukup panjang, aku dan ikatan remaja di desa, bersepakat untuk mengadakan pesantren kilat. Mengingat liburan kali ini adalah liburan puasa alangkah baiknya jika diisi dengan kegiatan yang meningkatkan keimanan para siswa. Anak-anak cukup antusias menyambut acara pesantren kilat. Ini bukan kali pertamanya pesantren kilat diadakan. Sebelumnya, pengajar muda di desa ku sudah pernah mengadakannya. Kegiatan pesantren kilat diadakan dari pagi sampai siang. Sebelum pukul depalan, anak-anak sudah mulai ramai berdatangan ke mesjid. Setelah pesantren kilat, aku biasanya menghabiskan waktu beristirahat sambil menunggu buka puasa. Seperti biasanya, ketiba bedug buka puasa berkumandang maka papa dan adik-adik piara ku buka terlebih dahulu. Setelah mereka berangkat teraweh,  baru aku dan mama piara ku yang beraksi menyatap hidangan yang sudah tersusun diatas meja makan. Seusai kami berbuka puasa, aku dan mama pun  ngobrol-ngobrol ringan. Disela obrolan kami mama melontarkan pertanyaan

 

“Ibu Leny, ibu biasa ada laporan kah apa kalau bikin kegiatan ke pusat (pihak IM di Jakarta)?” tanya mama ku

“ Ada mama, biki apa memang?”

“Kong, Ibu Leny kan Kristen, biki apa Ibu Leny ba bikin Pesantren Kilat ? kong ibu Leny harus ada laporan kah ba bikin pesantren kilat di sini?” Tanya ibu ku dengan rasa penasaran.

“ Tarada, itu tara wajib. Tara buat pesantren kilat juga me kita tara kena marah me, tara buat pesantren kilat sebenarnya juga me tara apa-apa.” Jelas ku

“Kong jadi Ibu Leni biki apa buat pesantren kilat, kalau tara buat me tara apa juga. Jadi lebe baik tara usah bikin sudah”

Bagi mama piara ku ini merupakan hal yang sedikit tidak wajar,  aku yang adalah orang Kristen tetapi mengadakan kegiatan pendalaman agama Islam. Sekali pun aku hanya terlibat dalam perencanaan dan secara teknis di lapangan saja.

Kong kita sayang juga sama anak-anak disini, jadi kita juga ingin bikin pesantren kilat untuk anak SD deng MI supaya dong belajar agama toh. Sebelumnya kan dorang juga ada pesantren kilat kalau lagi puasa, masa kong taon ini mereka tarada pesantren kilat”  ujar ku memberikan penjelasan kepada mama piara ku.

 

Sesungguhnya aku memang tidak memiliki kewajiban apa pun untuk mengadakan pesantren kilat di desa ku. Aku memang harus melaporkan kegiatan yang aku lakukan di desa. Tetapi aku juga mempunyai alasan untuk tidak mengadakannya, karena aku adalah orang Kristen. Mengadakan acara pesantren kilat hanya karena laporan atau karena sudah menjadi agenda rutin PM bukanlah yang menjadi alasan utama ku. Alasannya ku yang sesungguhnya sangat sederhana, karena aku mengasihi mereka dan aku juga rindu mereka menjadi anak yang lebih baik. Aku tidak pernah membedakan anak didik  yang Kristen atau yang Muslim, mereka semua memiliki tempat yang sama di hati ku.

Perbedaan  Agama memang merupakan isu yang cukup hangat di desa ku. Trauma konflik agama antara Kristen dan Muslim masih begitu membekas. Sehingga kehidupan antra Islam dan Kristen kurang begitu harmonis. Selama berada beberapa bulan di desa ini, akhirnya membuat ku belajar tentang arti toleransi yang juga menjadi PR besar bagi ku untuk mengajarkannya. Mau tidak mau harus disadari bahwa kita hidup di negara yang kaya  dengan perbedaan. Agama,suku, warna kulit bahkan bahasa. Kita tidak dapat menutup mata, ada yang berbeda diantara kita. Tetapi sangat disayangkan jika perbedaan membuat kita saling membenci bahkan saling menyakiti.  Seharusnya perbedaan yang ada membuat kita menjadi orang yang lebih toleran. Bukan berarti kita kemudian berusaha menyamakan nilai-nilai kepercayaan yang di miliki. Tetapi bagaimana menyadari dan menghormati perbedaan yang ada. Bagaimana dapat saling mengasihi sekali pun dalam perbedaan. Bagi ku TOLERANSI adalah tentang MENGASIHI, dan akhirnya toleransi hanya dapat mengerti dengan mengalaminya sendiri.


Cerita Lainnya

Lihat Semua