Video Untuk Marwa

Farli Sukanto 1 Februari 2015

Segelas susu putih hangat selesai saya teguk menyusul dua keping kue cucur yang telah terlebih dahulu masuk ke dalam perut saya. Renyahnya Si Kue Cucur sebenarnya memunculkan hasrat untuk tambah, tapi apa daya susu dan kue cucur tadi adalah suguhan tetangga.

Senin itu, sebelum ke sekolah saya menyempatkan mampir ke kios terdekat. Saya mengharapkan minyak tanah cuma-cuma untuk mengisi botol bekas minuman berenergi  yang akan saya pakai untuk percobaan IPA di kelas hari itu. Beruntung memang berada di tengah-tengah masyarakat Rote yang memandang makanan sebagai berkat Tuhan, dan memandang berkat Tuhan sebagai sesuatu yang harus disyukuri dengan cara berbagi. Maka dapatlah saya sarapan pagi gratis untuk mengawali kegiatan mengajar saya hari itu.

Saya tidak akan bercerita tentang percobaan IPA yang anak-anak saya lakukan, karena hari itu ada sebuah pelajaran yang lebih menyenangkan. Dalam kurikulum pendidikan nasional, salah satu kompetensi yang diajarkan pada peserta didik kelas tiga sekolah dasar adalah mengidentifikasi jenis-jenis pekerjaan. Saya sudah menantikan untuk membawakan pelajaran ini sejak lama, kira-kira hari-hari pertama saya ditempatkan di sekolah ini tujuh bulan lalu. Pasalnya, di hari-hari pertama saya mengajar itu, saya pernah bertanya kepada anak-anak tentang mau jadi apa mereka nanti. Lewat goresan crayon, mereka dengan antusias menggambar tentara, polisi, guru dan cita-cita mereka yang lain.

Hari itu ada seorang anak yang membuat saya akan selalu mengingatnya. Di tengah gambar-gambar tentara berpakaian loreng-loreng, dokter memakai sneli putih dengan stetoskop tergantung di leher, atau ibu guru berkacamata dan mengenakan rok span, gambarnya menarik perhatian saya karena dia tidak hanya menggambar sosok manusia tapi juga binatang!

Dia juga akan membuat saya akan selalu mengingatnya karena di kelas dia adalah anak termungil. Kalau berbaris, dia akan selalu menempati posisi terdepan. Dan saya akan selalu saja khawatir dia tertubruk atau terpukul terlewat keras oleh lengan teman-temannya yang cukup besar untuk ukurannya. Di tengah teman-temannya yang berseru lantang tentang cita-citanya pun, dia hanya menjawab dengan gerakan mulut tanpa suara. Persis seperti kuis tebak-tebakan kata di televisi.

Perlu beberapa saat bagi saya membaca dan memahami gerak bibirnya.

Ah, dia mau jadi dokter hewan!

---

Namanya Marwa Dalle. Saya dan anak-anak sekelas punya panggilan kesayangan untuknya yaitu Wawa. Dengan badannya yang kecil, rambutnya yang keriting, serta giginya yang tanggal satu di bagian depan, nama panggilan ini membuat Marwa, bagi saya, terlalu menggemaskan.

Singkat cerita, beberapa hari setelah hari itu di tengah keterbatasan sinyal di tempat saya dan tempatnya, saya menyempatkan menghubungi seorang teman, Aidell Fitri, Pengajar Muda yang punya profesi sebagai dokter hewan. Dia bertugas di Bima, Nusa Tenggara Barat. Saya memintanya mengirimkan sebuah video yang bercerita tentang profesi dokter hewan langsung dari seorang dokter hewan.

Idenya sederhana. Saya hanya ingin membuat sebuah hari yang semoga jadi hari paling membahagiakan untuk jagoan kecil saya ini, Marwa. Saya tidak pernah berhasil mendapat jawaban mengapa Marwa mau jadi dokter hewan, atau darimana dia mendapatkan inspirasi itu, tapi kenyataannya di Rote hanya terdapat dua orang dokter hewan yang bertugas di Dinas Peternakan dan tidak seorangpun yang tinggal dekat-dekat rumah Marwa. Jadi saya berangkat dari sebuah pertanyaan sederhana, bagaimana jika ada seorang dokter hewan dari luar pulaunya, dari suatu tempat yang jauh, mengirimkan sebuah video yang bercerita tentang asyiknya menjadi dokter hewan?

Dan hari ini hati saya tidak hanya berbunga karena dapat sarapan gratis, tapi saya berangkat ke sekolah dengan laptop yang telah berisi dengan video untuk Marwa yang berhasil saya unduh pada akhir pekan saat saya bertandang ke kota kabupaten dan mendapatkan jaringan internet.

Saat saya melangkahkan kaki masuk ke dalam kelas, anak-anak sudah gelisah karena sedari sabtu, hari terakhir sekolah di minggu lalu, saya memang sudah berjanji untuk menayangkan sebuah video kiriman untuk Marwa. Pertanyaan bertubi-tubi teman-teman Marwa tentang video apa, siapa pengirimnya  dan permintaan untuk menayangkannya sesegera mungkin saya biarkan menjadi rasa penasaran untuk mereka. Marwa yang memang pendiam, justru hanya tersenyum malu-malu.

Hari itu anak-anak kelas saya sangat patuh komando. Dengan instruksi tidak berulang, kursi-kursi mereka sudah berbaris rapi di depan meja dimana saya membuka laptop dan memasang speaker. Dalam sekejap, kelas kami berubah jadi teater mini. Seperti biasa, laptop dan speaker bagaikan umpan segar terkait pada kail yang tanpa peringatan langsung diserbu anak-anak dari kelas lain yang gurunya tidak masuk. Jadilah teater mini kami ramai, ada yang jongkok, ada yang duduk, ada yang setengah berdiri, ada yang berdiri, ada juga yang berdiri di atas kursi atau meja.

Marwa mendapat kursi kehormatan di barisan depan, dia duduk manis tepat di depan layar laptop.Kiriman video dan kursi kehormatan tidak menjadikan Marwa yang pemalu lantas berubah, dia  tenggelam dalam duduknya menantikan video diputar. Sebuah buku dipakainya untuk menutup separuh wajahnya.

Dan inilah yang terjadi saya video kiriman tersebut diputar di dalam kelas. Saya menyajikannya dalam bentuk video :

Video Untuk Marwa

Video kiriman untuk Marwa berhasil membuat anak-anak di kelas terpaku. Video tersebut sepertinya juga berhasil melambungkan mimpi anak-anak di kelas saya lebih tinggi lagi.

Kita tidak akan pernah tahu akan jadi apa Marwa kelak. Tapi semoga saja dia akan ingat, kalau waktu kecil dulu ada seorang dokter hewan yang tinggal jauh dari rumahnya mengirimkan sebuah video. Dokter hewan tersebut menjanjikan bahwa profesi menjadi dokter hewan adalah benar menyenangkan. Dokter hewan tersebut juga berpesan supaya ia rajin belajar dan sekolah yang tinggi. Si Dokter juga berdoa supaya cita-cita Marwa berprofesi sebagai dokter hewan menjadi nyata. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua