Sekali Lagi, Ayo Sekolah Nak! (#1)

Fandy Ahmad 16 April 2013

“Kapan kita ke Roke Pak Pandi?” dari luar kantor tiba-tiba Pak Haji Hafid masuk mengagetkan aku yang yang sedang asik mengajari Pak Aden membuat kop surat di Microsoft Word.

Eeeh...ngaganggu bae! (ehhh, mengganggu saja!)” kata Pak Aden yang juga kaget.

“Ada apa ke Roke pak?” aku bertanya ke Pak Haji.

“Ke rumah anak” jawab Pak Haji.

“Anak siapa pak?” tanyaku lagi.

“Anak Kelas VI yang tidak sekolah, kan mau UAS Tanggal 15 (April) terus UASBN bulan Mei” jawab pak haji.

“Oh, anak-anak yang tidak masuk sejak semester awal itu pak?” tanyaku lagi.

“Iya, kan datanya ada di Pak Pandi” kata Pak Haji.

Aku berjalan menuju sofa di kantor, pak haji mengikuti dari belakang. Aku merebahkan pantatku di sofa kemudian menyandarkan punggung di sandaran sofa yang empuk. Pak Haji juga duduk, tidak bersandar tapi badannya agak condong ke depan memperbaiki posisi duduknya serius. “Bagaimana Pak?” Pak Haji bertanya.

“Kan mereka tidak masuk sejak semester awal” aku sedikit protes ke Pak Haji.

Atuh iya Pak, tapi kita beri mereka kesempatan” kata Pak Haji.

“Kesempatan?” kali ini aku menyondongkan badanku ke arah Pak Haji.

“Iya” kata Pak Haji singkat.

Aku menyandarkan lagi punggung di sandaran sofa yang empuk. Kepalaku memikirkan banyak hal. Yang aku pikirkan pertama, anak-anak yang ada dalam daftarku ini sudah aku coret dari absen kelas enam. Karena tidak masuk sejak pertama kali aku mengajar. Pernah mereka ingin aku sambangi ke rumahnya, tapi kata murid-muridku yang lain anak-anak ini sedang ke Jakarta bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan kuli lepas. Jadi aku urungkan niatku karena tidak mungkin anak-anak ini ada di rumah, terlebih aku dilarang ke Roke sendirian oleh orang tua angkatku karena tidak ada guru yang bisa menemani.

Selain itu, Roke adalah kampung sebelah, pernah punya sejarah kelam dengan Kampung Lebuh. Dan tentunya warga Lebuh-Roke suka ribut kalau ada pertandingan bola atau entah ribut tentang apa. Sentimen antar dua kampung ini saja tinggi. Sampai kalau aku masuk kelas empat yang anaknya unyu-unyu mereka suka saling mengejek antar kampung. Anak Lebuh tidak mau duduk bareng anak Roke karena mereka menganggap anak Roke bodoh-bodoh.

Ternyata tidak, anak Roke yang paling pintar di kelas. Pernah aku bagi anak-anak dalam kelompok, satu kelompok  isinya imbang anak Roke-Lebuh. Tapi saat aku tinggal sebentar mengisi tinta spidol, anak yang awalnya berada di kelompok yang lain tiba-tiba ada di kelompok satuya. Jadilah mereka kelompok Roke Vs kelompok Lebuh. Melihat ini aku di depan kelas hanya geleng-geleng kepala lalu bilang dengan nada yang agak tinggi “Masya Alloooooooooooh! Yang pindah kelompok, kembali ke kelompoknya!” sambil tangan di pinggang.

“Huuuuuu...” suara protes bersahut-sahutan.

“Oji, siapa yang suruh pindah kelompok?” aku bertanya ke Pahruroji salah seorang muridku.

Pulpen abdi mah di garong anak Lebuh Pak Guru (pulpen saya dirampok anak lebuh pak guru)” jawab Oji mengernyitkan alisnya, napasnya tersengal-sengal emosi.

“Yang ambil pulpen Oji, kembalikan!” perintahku masih dengan nada yang tinggi.

Tiba-tiba Puryadi melempar pulpen ke arah Oji. “Puryadi kedepan kau!” aku meminta Puryadi ke depan tentunya dengan nada jengkel. Lalu puryadi menuju ke arahku.

“Oji itu temanmu, tidak boleh temanmu sendiri kamu lempar, itu jahat namanya!” kataku ke Puryadi dengan suara pelan, sambil memegang pundak Puryadi.

Lalu Puryadi menjawab “Oji mah bukan teman abdi, Oji mah orang Roke” kata Puryadi santai.

“Eughhhh, ya ampuuuuun!” aku hanya bisa mengeluh mengelus dada T_~. Di mana mereka dapatkan memori-memori seperti ini? Siapa yang mengajarkan mereka? Batinku.

Hal ke dua yang ada dikepalaku adalah mana mungkin mereka diberi kesempatan. Masuk saja tidak pernah! Sejak semerter awal lagi! Apa aku sebagai guru mata pelajaran matematika dan IPA harus melakukan mark up nilai? Tidak adil kan, dengan murid-muridku yang rajin masuk? Mereka yang tidak masuk sejak semester awal enak betul! Tentunya itu dosa!

Ah, aku semakin resah. Pak Haji terdiam. Melamun. Mengerti apa yang aku pikirkan sepertinya. Hal ke tiga yang aku pikirkan, kenapa mereka tidak masuk sekolah sejak semester awal? Aku meninggalkan Pak Haji yang sedang melamun. Mempercepat langkah menuju kelas empat lalu bertanya ke Karniti, murid yang punya kakak di kelas enam tapi tidak masuk sejak semester awal. Aku bertanya ke Karniti kenapa kakaknya ke Jakarta. Karniti menjawab, bekerja Pak. Kerja apa, Karniti menjawab jadi pembantu Pak. Buat apa jadi pembantu, Karniti menjawab cari duit Pak. Apa ada orang Roke setelah ke Jakarta jadi kaya, Karniti menjawab tidak ada tapi bisa beli TV dan sawah.

Aku meninggalkan Karniti menuju kantor, duduk di sofa, masih ada Pak Haji di situ. Pertanyaanku ke Karniti aku tanyakan ulang ke Pak Haji. Tapi tambahannya adalah apa ada orang Roke yang berhasil karna pendidikan, Pak Haji menjawab dengan menggelengkan kepalanya. Aku bertanya lagi, anak sekecil itu ke Jakarta, Pak Haji menjawab dengan mengangguk. Pulang sekolah aku bertanya ke Emakku di rumah, pertanyaan yang sama yang aku tanyakan ke Karniti dan Pak Haji. Jawabanya sama. Aku masuk kamar merebahkan tubuhku di kasur yang tidak empuk.

Hal ke empat yang aku pikirkan apa yang harus aku lakukan? Apakah mereka diberi kesempatan satu kali saja? Atau tidak usah diberi kesempatan karena itu salah mereka dan orang tua mereka yang tidak mendorong anaknya ke sekolah? Mereka tidak usah di luluskan sajalah! Biar orang tuanya kapok. Tapi apakah aku harus merebut masa depan mereka? Atau aku harus mengalah dengan nasib mereka yang memang ditakdirkan seperti itu? Tidak punya ijasah, biar mereka meneruskan nasib orang tua mereka? Nasib bisa diubah bukan? Apakah dengan memberi mereka kesempatan, janji mencerdaskan kehidupan bangsa yang dikumandangkan pendiri republik menemukan kembali maknanya? Duh, terlalu jauh pikiranku ini!

Hal ke lima yang aku pikirkan kenapa mereka memilih ke jakarta dari pada ke sekolah? Kalau cari uang membantu hidup orang tua apakah boleh diberi pemakluman padahal itu bukan tugas anak sekecil itu? Nantilah kalau sudah sekolah yang bagus, punya cakrawala pengetahuan yang luas baru jadi tulang punggung orang tua! Tapi kalau mereka jadi sarjana, banyak kok sarjana yang pengangguran, kalau kata Rektor saya waktu wisuda; “selamat menambah jumlah pengangguran!”. Kenapa sih di negeri yang konon gemah ripah loh jinawih ini sangat sulit hidup sampai anak-anak yang harusnya ke sekolah jadi korban ganasnya kehidupan? Mataku berair, air mata menetes, sialan kok Pengajar Muda menangis!? Namanya juga manusia.

Hal ke enam yang aku pikirkan kalau aku memberi mereka kesempatan apakah aku telah melanggar tata tertib sekolah? Etika pendidikan dan etika mendidik atau apalah namanya? Hal ke tujuh yang aku pikirkan lalu di mana esensi pendidikan dan esensi mendidik? Apakah mendidik itu memberikan kesempatan kepada anak yang tidak masuk sekolah sejak semester awal? Kalau tidak masuk sejak semester awal mereka ketinggalan banyak pelajaran. Kalau mereka ketinggalan banyak pelajaran tidak usah diluluskan!

Kalau tidak diluluskan pasti mereka tidak akan mau sekolah lagi karena banyak anak di sini yang seperti itu. Tidak lulus berhenti sekolah saja! Percuma saja menyuruh anak yang tidak mau sekolah karena tidak lulus atau tidak naik kelas. Di kota kita tahu kalau ada anak yang tidak masuk tiga hari saja jangan harap mereka bisa lulus atau naik kelas. Ini desa bukan kota! Kalau model desa dipaksa jadi model kota, rasakan saja sendiri di sini bagaimana susahnya. Pilihannya tidak usah sekolah lagi dan tidak usah pintar. Di sini aku sedang bergelut soal entitas perilaku warga soal pendidikan anak. Okelah di sini sekolah SD gratis tidak bayar! Beda dengan dulu. Tapi meskipun SD gratis, himpitan ekonomi orang tua hal utama yang mesti diselesaikan daripada sekolah. Orang tuaku, kalau aku tidak sekolah, tiga cambukan rotan akan melayang di pantatku. Tidak pikir-pikir ada bisulnya atau tidak!

Aku punya seorang teman namanya Levinus. Teman SD kelas VI dulu waktu aku sekolah di SD Inpres 1 Koya Barat, Distrik Muara Tami, Jayapura-Irian Jaya (sekarang Papua). Jarak rumahnya dari sekolah kami sekitar 3 jam jalan kaki, di daerah Koya Tengah, arah menuju Arso. Kampungnya jauh di pedalaman Tanah Merah. Tinggal di pos jaga TNI bersama Bapak-bapak Kopassus bantu-bantu apa saja yang bisa dikerjakan di situ, Bapak-bapak itu yang membiayainya sekolah. Tapi karena bukunya basah karena hujan waktu ke sekolah dan bajunya hilang, dia tidak masuk sekolah 2 minggu. Dengan arogan guruku yang datang dari Jawa membawa “konsep tanpa kasihan (konsep cara mendidik di kota)”, Levinus tidak diluluskan. Begitulah.

Lalu solusinya apa? Diberi kesempatan atau tidak? Itu pertanyaan awalnya. Pertanyaannya bukan tegakkan aturan atau tidak? Hey, mereka anak-anakku! Mereka tidak pernah memilih untuk tidak ke sekolah. mereka dipaksa kerasnya hidup! Di negeri yang konon gemah ripah loh jinawih ini! Lalu apakah memberikan mereka kesempatan dengan diluluskan? Bukan, bukan diluluskan tapi diberi kesempatan untuk ikut UAS dan UASBN. Diberi kesempatan ujian susulan semester yang mereka lewati karena bekerja menyambung hidup, yang sebenarnya tidak pernah mereka inginkan. Dari pada mereka tidak di luluskan karena tidak diberi kesempatan.

Kenapa solusinya tidak usah diberi kesempatan ikut UAS dan UASBN serta ujian semester susulan, tidak usah lulus, tapi diberi kesempatan mengulang kelas enam? Sudah terjawab tadi, orang tua mereka akan merebut masa depan mereka; kalau tidak lulus, ya tidak usah sekolah dan tidak usah pintar! Jadilah mereka sampah masyarakat, diolok-olok karena tak lulus SD. Menjadi beban psikologi dan penyesalan seumur hidup. Lalu apakah dengan memberikan anak kesempatan ikut UAS dan UASBN serta ujian semester susulan itu baik bagi anak dan orang tuanya? Di sini, itu yang terbaik, bagi masa depan anak dan orang tua.

Itu akan jadi kebiasaan? Membentuk mental mereka menjadi mental penuh pemakulman? Orang tua akan berpikir tidak usah ke sekolah mending ke sawah atau Jakarta cari duit, toh nanti ada Pak Guru yang datang memberi kesempatan ujian semester susulan, UAS, dan UASBN?

Ya, itu tugasku membentuk mental orang tua dan murid. Mental yang terpaksa menyerah atas kerasnya hidup. Itu tugasku, membuat anak-anak punya mimpi yang tinggi. Tugasku membuat anak senang ke sekolah. Tugasku mendorong kepala sekolah dan guru bagaimana caranya orang tua percaya sekolah bisa membuat anak punya masa depan. Membuat orang tua tidak tunduk takhluk oleh nasib dan kerasnya hidup. Meski hidup susah, sekolah yang utama. Rajin datang ke rumah anak yang tidak sekolah karena membantu meringankan beban hidup orang tua. Mengobok-obok orang tua apapun resikonya, biar anak ke sekolah. Ayo nak, ke sekolah! Ubah mentalmu, bentuk karaktermu. Pak guru tunggu di sekolah! Pak Guru kasi kesempatan! Tunjukkan ke orang tuamu, meski susah, kalau cerdas pasti survive. (bersambung)


Cerita Lainnya

Lihat Semua