Jika Aspal Masuk Lebuh.

Fandy Ahmad 13 Maret 2013

Sejak Republik kita merdeka, Kampung Lebuh belum diaspal! Jarak tempuhnya 6 jam dari Jakarta, Ibu Kota Republik Indonesia. 3-4 Jam dari Serang, Ibu Kota Provinsi Banten. 1,5 Jam (sekarang) dari Rangkasbitung, Ibu Kota Kabupaten Lebak. Dan 2 jam dari Cimarga, Ibu Kota Kecamatan Cimarga. Ditempuh dengan kendaraan bermotor tentunya, seperti mobil dan sepeda motor. Tidak perlu menyebrang pulau berjam-jam atau naik pesawat perintis. Kalau dari Ibu Kota Desa, ya Kampung Lebuh ini Ibu Kotanya. Karena Jarok (Kepala Desa) tinggalnya di Kampung Lebuh. Jadi cukup jalan kaki. Jarak antar kampung sekira 4-5 kilometer yang jumlah penduduk tiap kampung rata-rata 500 jiwa. Total jumlah penduduk Desa Sangiangjaya 2300-an jiwa.

Kalau saya sedang mampir ngopi-ngopi kumpul dengan warga di rumah tetuah atau tokoh mayarakat, mereka bercerita soal asal usul nama Desa Sangiangjaya, dan 4 kampung (Lebuh, Roke, Kadulisung, dan Bubur Sabrang) di wilayah administratif desa ini. Kata mereka, Sangiangjaya namanya diambil dari curug (danau/waduk kecil) dan kebun salah satu orang di terkemuka di Kampung Lebuh jaman beuhela dulu.

Curug ini kalau dilihat di peta letaknya ada pas di tengah-tengah empat kampung tadi. Letaknya jauh di tengah hutan, namanya Curug Sangiang. Saya pernah berpetualang-berkemah-dan mancing dengan anak-anakku yang unyu-unyu di situ. Meskipun tidak ada ikan yang tertarik dengan umpan saya. Kata Ronal murid saya yang kelas 2 SD; “Ikan di sini mah, gak doyan sama umpan orang Bugis Pak!” katanya semyum-senyum sendiri, dan umpan Ronal di makan ikan. Latihan fisik-mental anak-anak SMP yang ikut Paskibra di Cimarga juga saya latih di Curug Sangiang ini. Nah, di atas Curug Sangiang tepi tebing ini ada kebun milik Pak Jaya orang di terkemuka di Kampung Lebuh jaman beuhela dulu. “Jadina Desa ie namina ‘Sangiangjaya’ (Jadinya desa ini bernama ‘Sangiangjaya’)” kata Pak Tamam salah seorang tetuah dengan Bahasa Sunda separoh Indonesia dengan terkekeh sambil batuk karena asap rokoknya sendiri. Saya ikut-ikutan cekikikan karena asal namanya yang lucu itu.

Kalau Kampung Roke dan Bubur Sabrang saya belum tanya asal-usulnya. Sedangkan Kampung Lebuh berasal dari kata ‘Lebuh’ yang artinya Tebu (tanaman yang diolah menjadi gula). “Tapi di Lebuh ini kok nggak ada Tebu-nya Pak?” saya protes ke Pak Tamam, beugh...memang dasar saya tukang protes, he. Kampung Kadulisung sendiri berasal dari kata ‘Kadu’ yang artinya Durian dan ‘Lisung’ yang artinya Lesung tempat Padi. “Kadulisung eta anu hartosna Kadu dina Lisung, Pak Guru! (Kadulisung itu artinya Durian di dalam Lesung, Pak Guru!)” kata Pak Tata tokoh masyarakat di sini yang juga Guru Diniyah sambil menyeruput mantap kopinya. Saya pun mengangguk-ngangguk paham.

Aspal baru masuk Lebuh terhitung Januari 2013, jauh sejak Indonesia Merdeka. Masuknya aspal di Kampung Lebuh ada yang menyambut gembira, ada yang kawatir, dan ada juga yang sedih. Dari anak-anak sampai orang tua. Yang menyambut gembira dulu nih, alasannya kegiatan ekonomi untuk kesejahteraan meningkat ujar Aang, pemilik mobil Cary los bak langganan kami kalau ada lomba di Cimarga. Yang kawatir alasannya; “westernisasi yang aktip Pak Guru!” kata seorang pemuda sok Intelek, we ke kek. Kalau yang sedih, ini juga membuat saya sedih menahan tawa, tapi akhirnya tawa saya meledak! Kata seorang bapak di sini; “saya sedih Pak Guru, cobaaa... kalau bapak saya jangan mati dulu, tunda dulu matinya gitu Pak Guru! Soalnya sebelum mati, waktu sakit-sakitan di kamar jarang keluar rumah, Bapak sering tanya terus ke saya: kataya jalan mau di aspal? Kapan? Bapak saya pengeeeen...sekali lihat Lebuh diaspal” Si Bapak bercerita dengan wajah melasnya. T_T’

Anak-anak saya di sini, baik yang SD maupun SMP, kalau mereka berangkat ke sekolah-pagi-pagi betul. Mereka nongkrong di tengah jalan beraspal sambil bercerita. Saya sering menegur mereka; “eh, eh, eh, pagi-pagi kok nongrongnya di tengah jalan, nanti kalau ketabrak motor gimana?” kataku. Kalau sore mereka main skateboard bikinan sendiri yang ada setirnya. Jadi mereka main skateboard tidak dengan berdiri, tapi duduk sambil memegang kendali yang terbuat dari tali rapia, ada yang mendorong dari belakang. Skateboard pun meluncur di jalan menurun dengan kencang. Mereka berteriak merdeka! Atau histeris sampai suara habis. Tidak jarang ada yang terjungkal cium aspal. Duh, anak-anak.

Bapak-bapak di sini kalau berkendara dengan motor tidak kencang-kencang. Bahkan mengendaranya sambil merem-merem mangab saking mulusnya jalan. Saya tentunya merasa aneh melihat hal ini. Bertanyalah saya kenapa berkendaranya tidak kencang-kencang. “Enak Pak Guru! Jalannya mulus, jadi saya menikmati jalan yang mulus” kata Kang Jahar warga yang pernah dipenjara, dulunya dia residivis perampokan dengan kekerasan (membunuh). Saya sering ngopi dengan dia sampai larut, medengarkan cerita masa lalunya yang kelam di Jakarta. Sampai akhirnya dia tobat, memperistri orang Ambon, belajar agama di Salafi (pondok pesantren informal) dan hidup tenang meski tatonya masih full di sekujur tubuh.

Para pemuda di sini beda lagi. Mereka menjadikan jalan beraspal yang baru itu sebagai arena balapan (liar). Kalau larut malam mereka mencoret-coret aspal dengan kapur, arang, dan cat (grafiti) meski terlihat kreatif bin alay. Kata-kata yang di tulis di aspal; I Lope You Anah, demi cinta akang rela kredit motor, biar jelek saya tidak munapik, (I & I) Iyos dan Inah sampai mati, saya anak TURKI (turunan kidul). Dan tulisan-tulisan lainnya dengan font-font yang tidak jelas. Meski sudah hilang diguyur hujan, besoknya masih ada lagi.

Tapi Kang Wahyu Kepala Pemuda di sini sering menegur para pemuda, bahkan setiap malam Senin saat pengajian pemuda (pengawasan pemuda oleh tetuah dan tokoh masyarakat). “Inilah fungsinya pengajian pemuda (pengawasan pemuda), sarana pengingat pemuda. Alhamdulillah para pemuda sudah belajar banyak bersyukur. Saya itu marah sekali kalau ada pemuda yang hilang ingatan sepeti itu Pak Pandi!” Kang Wahyu memberi penjelasan dengan serius. Tapi benar, setelah diingatkan terus menerus, tidak ada lagi balapan liar. Tapi coretan di jalan masih saja.

Guru-guru di sini kadang menggoda saya. “Wah, Pak Pandi enak sekarang, jalanya beraspal! Tidak kayak Pak Adji (PM sebelum saya) dulu, menderita jalannya rusak” kata mereka. Lalu saya menjawab (meski agak dongkol dengan pernyataan itu); “Alhamdulillah dong kalau Lebuh sudah di aspal Pak! Saya sangat senang kalau Lebuh diaspal. Artinya masyarakat Lebuh berpeluang maju sejahtera, tidak menderita lagi” kataku mengklarifikasi pernyataan guru itu. Karena pernyataan itu saya artikan agak berbeda. Huff.

Kalau naik angkutan desa, warga tidak henti-hentinya berbicara tentang jalan yang sudah diaspal. Waktu saya naik angkutan desa menuju Rangkasbitung, warga berdebat soal aspal dibuat dari apa. Ada yang bilang aspal di buat dari bebatuan cadas yang di campur oli. Ada juga yang bilang aspal diambil dari dasar laut. Yang agak betul aspal itu diambil dari dalam tanah seperti barang tambang. Sopir yang mulai suntuk mendengar debat para penumpang lalu membuat suasana hening dengan berkata; “Tidak penting aspal dibuat dari apa, yang penting jalan kita sudah diaspal” kata sopir mengheningkan suasana. Saya cekikikan dalam hati, entah tentang apa.

Ya, begitulah kalau aspal masuk di Kampung Lebuh, kampung di mana warganya sangat polos. Kampung yang jarak tempuhnya 6 jam dari Jakarta. Yang dekat dengan kekuasaan. Yang dekat dari Istana President. Yang dekat dengan pengambil kebijakan. Tidak perlu menyebrang pulau berjam-jam atau naik pesawat perintis. Kampung Lebuh yang meintrepretasikan Indonesia, atau miniaturnya Indonesia. Kampung yang berada di Kabupaten Lebak dengan Ibu Kota Rangkasbitung yang pernah dikunjungi pendiri republik Soekarno. Kampung yang berada di Kabupaten Lebak, di mana cerita Saijah dan Adinda yang legendaris itu menurut Pramoedia Ananta Toer memicu semangat juang rakyat Indonesia untuk merdeka. Kampungku yang mengaduk-aduk rasaku. Lebuh yang juga Indonesia. Alhamdulillah sudah diaspal. Mulus kayak Gitar Spanyol!


Cerita Lainnya

Lihat Semua