Kalau Malu, Tidak Bisa Apa-apa
Fajrie Nuary 25 Maret 2014Siang itu aku sedang duduk-duduk santai di para-para yang dibuat murid-muridku kelas 5 & 6. Para-para adalah tempat duduk lebar yang dibuat dari bambu, kalau di betawi lebih dikenal dengan istilah “bale”. Para-para biasa dibuat di bawah pohon rindang untuk menghalangi sinar matahari. Saat keluar bermain aku sering duduk santai di sini bersama murid-murid sambil menikmati pemandangan laut di depan kami, dibuai oleh suara ombak dan angin semilir membuat tak jarang orang yang duduk di sini sampai ketiduran. Saat tengah asyik bersantai kulihat ada orang tua murid yang baru saja pulang dari kebun, percakapan singkat pun terjadi.
Bapak Mursalam Patur, biasa dipanggil pace Van Dem, entah kenapa beliau dipanggil demikian, katanya sih karena mirip dengan aktor film action tersebut, hehe.
“Tabana oooo”, aku menyapa.
Matahari yang tengah bersinar terik itu membuat pace Van Dem menghampiriku untuk berteduh sejenak. Percakapan singkat seputar cuaca, kondisi laut, kebun dan obrolan santai lainnya bermuara pada obrolan tentang para murid, termasuk anak dari bapak Van Dem sendiri. Kuceritakan bahwa anak beliau sudah baik di sekolah, masalahnya hanyalah pada kepercayaan dirinya yang masih kurang.
“Iya pak guru, katong pu anak memang begitu sudah. Pak guru ajar dorang boleh, suruh dong azan di masjid kah baru dong bisa berani”, kata pace Van Dem.
“Iyo bapak, katong su pernah suruh dorang azan di masjid tapi dong bilang dong tra tau azan”, balasku.
“Dong tau bapak guru”, pace Van Dem menjelaskan.
“Oo oo, berarti dong malu yang itu. Katong su sering bilang bapak ke tong pu murid semuanya supaya berani, harus percaya diri”, kataku kemudian.
“Iyo pak guru, kalau malu terus begitu tra bisa bikin apa-apa toh”, singkat pace Van Dem.
Statement singkat dari pace Van Dem itu membuatku diam sesaat, dan langsung kujawab, “betul itu sudah bapak, kalau malu tidak akan bisa apa-apa”, kataku mengulang pernyataannya. Pernyataan ini terasa begitu tepat saat itu, bukan saja tepat untuk anak muridku tapi juga tepat untukku. Aku pun seringkali merasa malu dan segan untuk melakukan sesuatu, padahal sesuatu itu hal baik, tapi entah alasannya apa kadang rasa malu dan seganku mengalahkan segalanya.
Pernyataan singkat dari pace Van Dem ini kuulangi di depan murid-muridku ketika mengaji selesai shalat maghrib. Semua muridku mendengarkan dengan seksama, berpuluh pasang mata menatapku, sebuah pandangan yang semoga saja mengartikan kepahaman. Bahwa mereka harus berani dan percaya diri, tidak malu, karena apa? “Kalau malu tidak akan bisa apa-apa”, kata murid-muridku serentak. Malam itu juga kutantang beberapa muridku yang punya kemampuan menyanyi tapi pemalu untuk maju menyanyikan lagu yang paling bagus untukku di sekolah nanti, di depan kelas dengan disaksikan teman-temannya. Kadang diriku suka tergelitik, kalau koruptor saja tidak malu melakukan perbuatan buruk begitu, kenapa aku harus malu melakukan sesuatu yang baik. Terima kasih pace Van Dem atas kata-kata inspiratifnya...
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda