Karena Semangat Itu Ada

Fahmi Fachrudin Syah 7 Juli 2014

“Pak, kapan kita main pak?”

“Pak, kapan tanding bolanya pak?”

Itulah perkataan yang sering terucap dari bibir mungil para cikal penggerak desa yang sangat bersemangat kalau diajak bermain. Jarang sekali mereka mengajak untuk belajar. Hanya sebagian kecil saja yang selalu bersemangat belajar hingga datang ke rumahku.

Apa boleh buat, selama mereka bersemangat untuk melakukan hal-hal yang positif kenapa tidak aku turuti mereka. Bermain tidak saja berlari dan tertawa. Kalau denganku, mereka akan kuajak untuk terus bersekolah lewat bermain. Lewat bermainlah aku bisa menyuntikkan semangat pendidikan ke mereka. Hanya sekedar memberi motivasi bersekolah atau pengetahuan lainnya yang berhubungan. Karena angka putus di desa ini cukup terkenal dan aku tidak ingin jiwa-jiwa yang bersih ini ternodai oleh kebisingan dunia yang membuat mereka malas sekolah. Selama mereka bersemangat walaupun hanya untuk bermain, disitulah kesempatanku untuk memberi inspirasi.

Mereka tidak sadar, kalau setiap bermain kuajak untuk mempelajari alam yang dihubungkan dengan pelajaran sains maupun kesadaran akan cinta tanah air. Meskipun terkadang pernyataan yang aku lontarkan dikritisi dengan ketidaktahuan mereka yang membuatku selalu menghela nafas. Ketika naik diatas bukit Kasippong maupun di lembah Rura yang sering aku singgahi ketika bermain dengan anak-anak, aku berkata pada mereka.

“Kalian lihat, desa kalian yang indah ini! Lihat itu perkebunan, persawahan maupun laut yang biru disana! Apa yang kalian rasakan? Indah bukan?”

“Iya Pak, indah sekali memang. Bagus Pak.” Jawabnya singkat.

“Kalian sadar itu?” Terusku.

“Sadar Pak.” Singkat lagi jawaban mereka sambil tertawa.

“Tapi kenapa kalian tidak menjaga kebersihan itu? Siapa yang menciptakan alam semesta?” Tanyaku lagi.

“Allah Pak.” Sambil tersenyum mereka menjawab.

Berarti kalu kalian tidak menjaga dengan baik atau merusaknya, sama saja kalian menyakiti atau tidak menghargai siapa? Imbuh tanyaku.

“Oooh, iya benar Pak. Sama saja menyakiti atau tidak menghargai Allah ya Pak?”

“Coba lihat itu pohon mangga sebelah kalian! Kalian selalu ambil buahnya saja. Kalian tidak tanya dulu sama pohon mangganya. Dia mau tidak buahnya kalian ambil? Dia sudah susah payah membuat makanannya sendiri padahal tidak kalian rawat atau beri makan to?”

“Dia juga menghasilkan udara oksigen untuk kalian bernafas secara gratis kan? Dia mengambil air dan mineral sendiri dari tanah pakai akarnya. Menghirup udara kotor menggunakan stomata di daunnya yang berbahaya bagi kalian kalau kalian hirup yaitu karbon dioksida. Terus disalurkan ke daun untuk diolah menggunakan zat hijau daun atau klorofil dan cahaya matahari. Hasil olahan itu menjadikan udara oksigen bagi kalian untuk dihirup secara gratis kan?” kataku memberi ceramah.

Muncul perkataan dari mulut mereka sambil tersenyum, “Ooooh, iya Pak. Kami tidak pernah membari makan pohon mangga itu dan juga tidak merawatnya.”

“Bagaimana kalau alam kalian yang indah ini diambil orang asing yang ingin merebut desa kalian dan diubah menjadi pabrik-pabrik?” tegas tanyaku.

Mereka senyum sambil melihat satu sama lain dan menjawab, “Kan yang memberi makan dan menjaga tumbuhan maupun hewan sudah ada Pak. Jadi tidak mungkin diambil.”

Itu yang membuatku sedikit menghela nafas dalam-dalam. Jawaban yang membuatku speechless.

Sambil tersenyum juga aku mengajak mereka turun dari bukit dan memberi suntikan semangat ke mereka untuk terus bersekolah mengejar cita-citanya.

ternyata meng coaching anak-anak juga tak cukup mudah. Tapi perjuangan tidak akan berhanti karena kesusahan itu menghadangku, aku terus akan mengajak mereka ke arah kebaikan untuk dirinya maupun lingkungannya. Selama semangat itu ada, aku akan terus mengobarkannya.

“Lebih baik menyalakan satu lilin daripada mengutuk kegelapan” –ini yang sering dikatakan di pelatiahan-


Cerita Lainnya

Lihat Semua