info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Pohon Masa Depan yang Kita Tanam

Erwin Irjayanti 6 April 2011
Saya begitu bersemangat untuk mencoba menginspirasi anak-anak ini. Namun gaya saya masih kekota-kotaan. Gaya menginspirasi saya masih terlalu “tinggi” bagi mereka. Jadi ke depan, “Di sini, menginspirasilah dengan hal-hal yang konkret, dari hal-hal yang terdekat, dengan bahasa se-sederhana mungkin.” *** Pelajaran Pengembangan Diri. Kelas 1-6 gabung. Bu Guru berdiri di depan kelas. Matanya berbinar, bibirnya tersenyum penuh arti. Spidol warna warni di tangan kirinya, segulung kertas besar di tangan kanan. Bu Guru, dia berkata, seperti biasa, penuh semangat, “Anak-anak, hari ini... kita akan membuat pohon mimpi!!!” Bu Guru bicara tentang pohon mimpi. Itu semacam cita-cita dan impian besar yang dimiliki setiap anak, setiap orang, setiap siapapun. Namun, sementara Bu Guru bicara berapi-api tentang “hal-hal besar” dalam “bahasa langit”nya, dahi anak-anak berkerut. Alis mereka bertaut. Anak-anak tidak mengerti. Mereka belum bisa bermimpi sebagaimana mimpi yang diceritakan Bu Guru di depan kelas. Bu Guru menyapu peluh. Tersenyum kecut. Menaruh kembali spidol warna-warni dan gulungan kertas besarnya di atas meja. Tidak, menaruhnya di dalam lemari. Lemari besar. Lalu dikuncinya rapat-rapat lemari itu. Suara Bu Guru sekarang jauh lebih pelan, tetapi tetap dengan senyumnya, “Anak-anak, ayo kita ke bukit!” Riuh. Anak-anak melempar sandal dan sepatunya. Bertelanjang kaki mereka berlomba-lomba menjadi yang pertama tiba di ujung bukit sana. *** 45 menit kemudian, di atas bukit. Bu Guru mengarahkan mereka untuk mencari buah jati yang jatuh dari pohon. Buah jati yang sudah busuk yang lebih baik. Mereka juga mencari anakan pohon jati. Yang masih kecil, yang sekiranya cukup ditaruh di polybag. “Kenapa yang busuk Bu?” “Karena lebih cepat tumbuh ketika dibenihkan nanti.” “Kenapa cari yang kecil bu? Yang besar saja..!” “Kalau sudah besar sudah tidak perlu dijaga. Cari yang kecil supaya tidak kena ganggu babi. Kita amankan yang kecil-kecil.” “Kenapa pohon jati Bu?” “Karena, kalau kayunya dijual harganya mahal.” “Aih, tapi lama berkayunya, Ibu!” “Justru itu!” “Justru itu?” “Iya.” “Buat apa bu?” “Buat kita jadikan Pohon Masa Depan.” “Aih? Apa ri’o?” Apa itu? Bu Guru tersenyum. *** 9 Jam kemudian, di dalam kamarnya yang tak lebih besar dari sel penjara kapasitas 1 orang tanpa toilet namun menawarkan pemandangan mahacantik berupa hamparan bukit di siang hari dan bintang gemintang di malam hari yang semua itu bisa disaksikan melalui jendela 0,5x1 meternya, Bu Guru menulis: Saya begitu bersemangat untuk mencoba menginspirasi anak-anak ini. Namun gaya saya masih kekota-kotaan. Gaya menginspirasi saya masih terlalu “tinggi” bagi mereka. Jadi ke depan, “di sini, menginspirasilah dengan hal-hal yang konkret, dari hal-hal yang terdekat, dengan bahasa se-sederhana mungkin.” Haha. Siapp! Pada hari dimana saya ingin mencontoh teman saya Yunita, Zaki dan Roy untuk membuat “Ruang Mimpi” atau “Pohon Mimpi” atau “Pesawat Mimpi” bersama murid-muridnya, pada hari itu juga saya merasa seperti ditampar. Haha. Ijinkan saya tersenyum pahit. Anak-anak ini daya imajinasinya masih rendah. Pun kemampuan berbahasanya. Maka berbicara panjang lebar tentang pohon mimpi dan cita-cita di masa depan adalah suatu bahasa langit yang tak tersentuh khayal mereka. (Mendadak ingat, pada hari ketiga saya masuk kelas, saya bertanya pada murid-murid tentang tanggal lahir mereka—berharap bahwa dalam setahun ke depan akan merayakan beberapa kali ulang tahun di kelas kecil kami. Namun berakhir dengan senyum maklum ketika mereka terbengong-bengong. Saya tanya kenapa, mereka bilang, “tidak ditahu, Bu...” Well, itu seperti 50 tahun lalu di Jawa, ketika belum setiap penduduk menyadari pentingnya mencatat tanggal lahir. And its happen here, now, 2010.) Jadi baiklah saya sepakat dengan Agung yang meyakinkan saya bahwa kita memulai dari “garis start” yang berbeda. Maka alih-alih menggambar pohon mimpi dan menggantungkan dedaunan dari kertas warna warni berisi cita-cita di pohon itu, saya mengajak mereka ke atas bukit. Mencari buah jati dan benih pohon jati untuk dirawat. Disemai sementara di polybag agar aman dari gangguan babi. Karena sudah mengerti “tanggungjawab”, maka setiap anak kelas 4-6, saya beri 15 polybag. Jumlah mereka 28. Jadi jumlahnya ada sekitar 420-an benih. Sisanya, murid kelas 1-3 yang masih amat belia dan senang bermain-main, saya minta mereka menanam buah jati di halaman kosong belakang sekolah. Butuh waktu 1-2 bulan agar buah jati itu tumbuh menjadi anakan jati. Seorang murid bertanya, “Kenapa pohon jati Bu?” Saya jawab ringan, “Karena, kalau kayunya dijual harganya mahal.” Lalu dia protes, “Aih, tapi lama berkayunya, Ibu!” Saya bilang, “Justru itu!” Ya, justru itu. “Tepat saat nanti kalian mau melanjutkan kuliah, pohon-pohon jati ini sudah siap untuk ditebang. Kayunya bisa kalian jual, untuk biaya kuliah. Kalau kalian punya 15 pohon jati, dan kalian butuh waktu 5 tahun untuk kuliah, setiap tahun kalian bisa tebang 3 pohon jati. 1 pohon jati yang bagus, harga kayunya bisa buat kalian hidup selama 4-6 bulan. Itu berarti, orangtua kalian tidak perlu pusing memikirkan biaya kuliah kan? Dan itu juga berarti, kalian tidak boleh punya alasan untuk tidak kuliah. Hmm?” Lalu saya meminta anak-anak mencari lidi, dan sementara mereka mencari lidi, saya memotong kertas manila warna warni dan selotip. Anak-anak datang dan saya memerintahkan mereka, “sekarang, tuliskan: nama kalian, kelas, dan mau jadi apa kalian nanti, di kertas yang sudah ibu siapkan. Lalu tempel kertas itu pada lidi menggunakan selotip, dan terakhir, tancapkan lidi kalian di polybag masing-masing.” Mata anak-anak berbinar-binar. Mereka menulis nama dan kelas. Dan cita-cita. Yaaa, yaa, ya... akhirnya saya membuat mereka menuliskan cita-cita. 28 anak. 420 polybag. 28 nama dan 420 batang lidi. 4 cita-cita jamak: Guru, polisi, pemain bola dan dokter. Ah, ada satu yang pencilan. Nurmala. Kelas 4. Cita-cita: Menjadi Penulis Surat, seperti Ibu Guru. Wassalam[gallery]

Cerita Lainnya

Lihat Semua