info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Pak Sumolang; Kata Siapa Guru Tua Patah Arang?

Ertina Priska Erlayas Sebayang 24 September 2012

 

Namanya Pak Sumolang. Beliau guru senior yang sudah lama sekali mengajar disini, sejak dari 1991.

Sekali waktu aku pernah ngobrol dengan Jessica soal beliau ketika kami menyambangi tempat tinggalnya di Marore. Jaraknya sekitar 10 mil laut, atau 45 menit perjalanan dengan pamboat dari Kawio. Beliau sendiri asli Marore. Di seluruh kecamatan sudah di kenal kalau keluarga Sumolang memang adalah keluarga pendidik. Empat bersaudara; dosen, guru SMA, guru SMP, dan beliau sendiri, mengabdi mencerdaskan bangsa bahkan sebelum diangkat menjadi PNS tahun 1997.

Setelah obrolan waktu, ternyata bagiku bahwa Pak Sumolang dulu adalah pemuda idealis yang berapi-api soal memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anak. Saat ini usianya 55 tahun, luar biasa banyaknya tantangan dan jatuh bangun beliau memperjuangkan pendidikan tentu tidak perlu lagi diuraikan disini.

Pada dasarnya Pak Sumolang kaya akan metode pengajaran yang kreatif dan pendekatan pendidikan bagi anak-anak di perbatasan, tapi ketegasan dan kerasnya beliau dalam mendidik kedisiplinan anak-anak lambat laun membikin kelelahan juga, sehingga lebih sering kita lihat pembawaan beliau yang tenang, cenderung kaku.

Beliau tidak mentolerir siswa yang tidak mengerjakan PR atau tidak mempersiapkan pelajaran di hari sebelumnya. Cara beliau ‘mengatasi’ anak-anak yang ‘lambat menyerap’—sayangnya—masih mistar dan telapak tangan, pada pipi, bahu atau kaki, anak-anak. Anak-anak kelas VI yang diampunya saat ini jelas adalah kelas yang tenang kalau dibandingkan dengan kelasku. Hampir tidak pernah aku mendengar keributan yang signifikan dari tembok sebelah.

***

Saat ini Pak Sumolang duduk di hadapanku, wajahnya lesu. Beliau tarik nafas panjang. Sambil mengisap rokok dalam-dalam, mata beliau menerawang jauh melampaui pintu kantor guru yang terbuka siang itu.

Ya, beliau marah dengan situasi hari pertama masuk sekolah hari ini; hanya 14 orang murid, dan gurunya? Hanya kami berdua.

Memang hari ini semua orang masih sibuk, terutama karena rombongan tim penilai dari panitia lomba desa tingkat nasional yang semalaman sudah menginap di Kawio, hari ini akan keliling untuk menilai.

“Tetapi kami sudah mengingatkan, mbak, kami memastikan sekolah sudah menginformasikan bahwa siswa tetap masuk seperti biasa hari ini, dengan seragam lengkap dan siap menerima pembelajaran.”

Benar apa yang dikatakan beliau. Bahkan Kepala Sekolah sendiri sudah mengkonfirmasi hal itu kepadaku semalam.

Tetapi kami menerima info dari murid-murid yang menyusuri kampung mengiringi rombongan tadi, bahwa ada guru ‘meliburkan’ mereka hari ini.

Pak Sumolang menceritakan kekecewaanya terhadap kinerja para pendidik sekarang, dimana kita tidak memberikan yang terbaik saat kita dipercaya akan memberikan yang terbaik. Tentang kedisiplinan pendidik untuk kembali ke Kawio tepat waktu, tentang patuhnya pendidik pada ketertiban, tentang nasib anak-anak yang tidak akan memahami konsep disiplin & tertib lantaran tidak pernah melihat contoh yang konkrit, bahkan dari pendidik mereka sendiri.

Beliau sudah banyak memberi masukan kepada Kepala Sekolah mengenai keadaan ini, dan fakta bahwa almh.Kepala Sekolah sebelumnya belum optimal dalam mengimplementasikan peraturan.

Kami sepaham dan serasa tentang kekecewaan hari ini. Namun tidak bisa kubayangkan betapa besarnya kekecewaan yang dia simpan selama puluhan tahun sebagai tenaga pendidik. Lebih daripada itu, ternyata bagiku bahwa harapan yang beliau miliki itu masih lebih besar kuasanya daripada kekecewaan yang membawa putus asa. Sungguh pun raganya lelah dan bingkai lesu ada pada wajahnya, semangat masih mencari cara untuk bercahaya di matanya.

Duduk dan bertukar pikiran banyak dengan beliau siang itu membongkar habis kotak-kotak prejudis di pikiranku tentang generasi lama yang sudah patah arang. Angkatan tua yang sudah termakan kekecewaan, tunduk pada keterbatasan dan menyerah pada keadaan.

Disini masih ada Pak Sumolang, yang sudah membuktikan masih setia dengan cintanya pada pendidikan. Walau tampak baginya seakan segala usaha adalah sia-sia, tapi sedikit demi sedikit, terus dan konsisten beliau mencicil melunasi hutang kemerdekaan; mencerdaskan bangsa.

Mata beliau menerawang jauh melampaui pintu kantor guru yang terbuka siang itu.

Aku dapati diriku tersenyum. Ternyata bagiku bahwa bukan lamunan kosong yang ada padanya, tapi sikap tenang dan teguh menantang terik matahari. Pak Sumolang masih semangat, dan kekecewaan pada keterbatasan kemampuan dan keadaan tidak mengalahkan kekuatan, bahwa besok masih ada harapan bagi pagi.

Duduk dan bertukar pikiran banyak dengan beliau pagi ini membuat aku bertanya lagi, "melihat ketekunan dan kepercayaan yang sebesar ini? Akankah aku menyerah?"


Cerita Lainnya

Lihat Semua