Budaya TIPCE Sampai ke Pulau Terdepan Nusantara
Ertina Priska Erlayas Sebayang 2 Oktober 2012
“Maka pengalaman adalah guru terbaikmu.”
Aku percaya tidak ada hal yang kebetulan dalam hidup ini, termasuk segala pengalaman yang pernah kita lalui dalam hidup. Dalam setiap hari jadi, tahun demi tahun, aku sendiri merayakannya dengan berhenti sejenak. Merefleksikan lagi kehidupan satu tahun yang sudah aku lalui. Seperti membaca buku; ada bab dimana pencapaian gemilang kita kecap, ada juga bagian yang kita rasa sekali ingin hapus dan ulangi. Segala kemenangan dan kekalahan, kebangkitan dan kehancuran, keberhasilan dan kegagalan. Saat duduk diam dan tinggal tenang, menyadari bahwa aku berada di tengah sebuah mahakarya besar, buku cerita kolaborasiku dengan Sang Pencipta.
**
Aku membiarkan lemari-lemari memori dan mimpi dalam akalku terbuka dan saling sapa. Mereka bertemu; memori/mimpiku 3 tahun lalu, dengan memori/mimpiku kini menjadi guru. Mereka berkenalan dan bertukar pikiran, kemudian sampai pada satu kesimpulan yang membuat mereka cepat akrab. Sebuah pengalaman budaya yang dulu pernah jadi pengalaman terbaikku, dan nyatanya sampai sekarang masih jadi guru terbaikku. Budaya yang dulu mungkin kukira hanya terdokumentasi dalam simbol-simbol semu, yang tak susangka ternyata sebegini melekat dalam benakku dan tercermin dalam perilaku.
Trust.
Familiar dengan kata credit? Tahukah kamu kalau kata credit yang dipakai dalam istilah perbankan itu berasal dari bahasa Yunani, crederé, yang artinya trust, atau percaya? Istilah itu digunakan karena sistem kerja bank yang memang bisnis kepercayaan.
Maksudnya? Kamu misalnya, punya sekarung besar uang. Kemudian dengan sukarela kamu melangkah ke bank dan setorkan untuk disimpan. Kamu keluar hanya membawa secarik kertas bukti setor. Kan kamu percaya bahwa uang itu aman disimpan di bank itu? Atau kamu datang ke bank berharap dapat pinjaman dengan modal berkas identitas, keluar dengan dokumen kesepakatan pemberian kredit. Bank itu kan percaya bahwa kamu bisa mengembalikan uangnya?
Tapi disini aku tidak hendak membahas bank, tapi nilai kata “percaya” atau trust yang nyatanya jadi budaya sampai aku menjadi guru di SD GMIST Smirna Kawio. Pulau kecil minim sinyal yang ada di ujung batas utara Indonesia. Aku tertegun sejenak, membayangkan ada 51 anak-anak di sana, yang orangtuanya percaya penuh kepadaku untuk dapat mendidik anak mereka. Membiarkan anak-anak itu menghabiskan lebih dari setengah hari setiap hari selama setahun bersamaku, menerima apapun yang aku ajarkan, berpengalaman apapun bersamaku. Bayangkan betapa besar trust yang dimiliki orangtua untuk dapat menyerahkan anaknya kepada pendidikan, sekolah, guru yang mereka yakini adalah yang terbaik untuk masa depan anaknya. Ini baru orangtua, belum lagi binar cemerlang mata anak-anak yang tulus percaya menyerahkan seluruh harapan dan mimpi pada orangtua dan gurunya.
Now, if they trust you that much, will you dissapoint them?
Integrity.
“Pahlawan tanpa tanda jasa,” katanya. Tapi muridnya sekali waktu terbelalak melihat dia menghapus seluruh jawaban di kertas ulangan, dan menggantinya dengan jawaban yang benar. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.
Atau cerita mengenai orangtua yang mengirimkan surat; “Ibu, 20 tahun lalu ibu pernah menolak keras untuk membeli soal & jawaban ujian untuk anak saya. Eben, murid ibu, masih ingat kejadian itu. Sampai sekarang dia masih setia berjuang mempertahankan integritas di Kemendiknas.
Aku tak perlu bicara banyak tentang betapa mutlaknya ini tercermin dalam perilaku. Saat aku lanjut usia, mana cerita yang anak dan cucuku akan dengar tentang diriku?
Professionalism.
Jarak antara sekolah dan bagaimana tantangannya perjalanan laut, darat, air, yang ditempuh para guru di seluruh pelosok negeri. Sekali waktu ada kudengar cerita tentang seorang guru dari Kapuas Hulu yang setiap hari harus mengayuh sendiri perahu kecil dari rumahnya ke sekolah tempat dia mengajar. Jaraknya 10 mil air waktu tempuh seperempat jam.
Atau cerita tentang Pak Sumolang, yang membikin sendiri pamboat sekolah, agar guru-guru tidak lagi ketergantungan dengan jadwal kapal perintis yang carut-marut. Semata supaya murid-murid mereka tidak terbengkalai di sekolah, tetap mendapatkan hak mereka untuk menerima pendidikan yang layak. Semata-mata karena yang ada di benak mereka adalah satu janji; mencerdaskan bangsa. Semata-mata karena mereka tidak punya cara yang lain selain yang terbaik. Semata-mata karena profesionalisme mereka sebagai seorang guru.
Customer focus.
“The educator with a democratic vision or posture cannot avoid in his teaching praxis insisting on the critical capacity, curiosity, and autonomy of the learner.”—Paulo Freire, dan semua tokoh revolusioner dalam sistem pendidikan di bumi manusia ini sepakat bahwa pendidikan terbaik adalah pendidikan yang berpusat pada muridnya. Maka baik-baiknya materi dan metode yang seorang guru gunakan adalah materi dan metode yang berpusat pada kebutuhan muridnya; kedewasaan akal dan nurani yang mandiri.
"Mediocre teacher tells. Good teacher explains. Superior teacher states. Great teacher inspires."—A. A. Ward
Excellence.
Sore itu aku duduk menikmati senja melihat matahari tergelincir di ujung laut. Ditemani Pramoedya Ananta Toer, W. S. Rendra, dan Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi, aku lamunkan kata-kata Pram, bahwa kewajiban seorang yang terdidik adalah mendidik. Ternyata kini bagiku bahwa ucapan Pram inilah yang kebenaran yang merasuki manusia yang seluruh tenaga, hati, dan pikirannya diabdikan menjadi tenaga pendidik.
Tidak takut dan patah bertemu masalah, seorang guru yang menjadi guru dari hatinya tahu, bahwa yang tidak bisa dilakukannya adalah membangkitkan orang mati. “Bukan maut yang menggetarkan hatiku tetapi hidup yang tak hidup karena kehilangan daya dan kehilangan fitrahnya,” kata Rendra. Keteguhan hatinya tahu, selama masih ada degup jantung mengiringi akal dan nurani, maka harapan masih ada.
Lagi, Sam Ratulangi berkata, “sitou timou tumou tou,” sebaik-baiknya hidup manusia hendaklah memanusiakan manusia lain. Pada seorang guru terpatri janji dan harapan, membentuk dan mendidik betul satu-satu pribadi manusia lain, anak-anak masa depan, dengan segala harapan bahwa setidak-tidaknya hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan esok akan lebih baik dari hari ini. Bukankah begitu satu-satunya cara menuju kesempurnaan?
***
Trust. Integrity. Professionalism. Customer focus. Excellence.
TIPCE. Itu dia, lagi, budaya yang dulu mungkin kukira hanya terdokumentasi dalam simbol-simbol semu, yang tak susangka ternyata sebegini melekat dalam benakku dan tercermin dalam perilaku.
Tiga tahun lalu aku tak pernah menduga-duga kalau ceritaku hari ini akan bertemu bahkan bermitra dengan memori/mimpi dari pengalaman.
Terima kasih pengalaman, budayamu mengalir di urat nadi kubawa, jauh sampai ke pulau terdepan di utara Nusantara.
Dirgahayu Mandiri!
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda