Chairil Anwar yang Menyebarkan

Ertina Priska Erlayas Sebayang 23 September 2012

 

Kalau ada seorang bocah berumur 9 tahun di muka bumi manusia ini yang—dengan sedapat-dapat pemahaman bahasanya—tergugah oleh tulisan Chairil Anwar, itu adalah jagoanku.

Setelah berapa lama ini aku bergumul apakah sebaiknya aku kasih dia buku ini untuk dibacanya atau tidak. Bukan apa-apa, memberikan buku itu pun harus pakai strategi, salah-salah aku berikan buku itu sembarangan, bisa lebih heboh kecaman—bukan hanya keluarga—masyarakat kalau mendapati Eben membaca buku berjudul provokatif itu dan memukulnya buta, ketimbang Eben sendiri yang tergugah karena karya sastra.

***

Sore itu, sebagaimana sore biasa, pukul  15.00-17.00 aku memberikan les tambahan untuk anak-anak di sekolah.  Sampai di rumah aku tukar baju, duduk-duduk barang 15 menit, kemudian mulai pukul lima setengah senja aku mulai melanjutkan baca buku sampai waktu mempersiapkan makan malam. Aku sudah selesai membaca ¾ bagian dari otobiografi Bung Hatta, Untuk Negeriku, jadi aku masih sesuai jadwal membacanya sampai selesai sebelum akhir pekan.

Sedaritadi pulang les, sebagian besar anak pulang ke rumah masing-masing, sebagian lagi—seperti biasa—mengikut aku ke rumah. Kali ini yang lingering di sekitar muka rumah, tempat aku seperti biasa menggelar tikar untuk baca buku, ada Bethahai Bunch, Amelia dan Icon; muridku kelas lima, Kheren dan Eben; dan sebagian anak kelas tiga dan dua, Riski, Erika, Regina.

Sebelum akhirnya kukeluarkan setumpuk buku seri tokoh dunia, kecuali yang sibuk bermain duduk karung di halaman depan, mereka bergelayutan di punggung, bersandar di kedua bahu, dan berlomba-lomba menanyakan buku apa yang sedang kubaca. Baru sesudah berkelahi berebut bukulah akhirnya mereka memilih lapak masing-masing di seluruh penjuru rumah untuk membaca. Keributan yang kunikmati itu ketika mereka melafalkan apa yang mereka baca, keras-keras, berbeda-beda.

Masih bersandar di bahu kiriku, cuma Eben.

"Tebalnya banyak banyak banyak itu, Encik, buku apa itu? Gambarnya juga enggak ada. Aduuh mati Eben kalau baca buku ituu." Katanya merengek manja, masih mencuri-curi sandaran, terjebak sendiri antara kebocahan dan gengsinya.

“Eben kenal Bung Hatta?“ kataku, dan sebelum sempat melanjutkan kalimatku, “Bapak kemerdekaan! Wakil presiden pertama Indonesia!” sambarnya .

“Ding ding ding! Betul sekali, nak! Masak nggak mau baca buku catatannya bapaknya Indonesia?”

“Doh~ itu buku catatannya? Waktu sekolah? Pelajaran apa, encik? Madidi, encik, tebal tebal tebal sekali itu,” katanya, “encik saja baca, nanti ceritakan sama Eben.”

“Okelah. Tapi encik baca ini sebantar Eben juga baca puisi mau?”

“Mau!” katanya cepat . Kemudian mata berbinar itu mengikuti arahku ke kamar mengambilkan buku untuknya.

Nah ini bang Eben suka,” sambutnya puas sambil membalik-balik kertas dan memastikan tulisannya tidak banyak. Sungguh pun begitu, masih juga dia kecewa kenapa Chairil tidak menggambar pada bukunya.

Sore itu kami habiskan waktu dengan membaca. Untung juga suaca seminggu ini benar-benar deterjen-friendly. Kukatakan ini maksudnya angin teduh dan matahari bersahabat, sehingga kami tidak mudah rasa panas dan basah kuyup keringat dan membikin cucian jadi menumpuk.

Yang kuingat setelah itu setengah jam kemudian kami sama-sama diam dalam gumaman masing-masing. Sesekali kulirik dia, mengecek apakah dia benar-benar membaca dan memahami makna , atau sekedar mencerna barisan huruf-huruf.

Wajahnya sesekali sangat serius, berkerenyit kulihat pangkal hidungnya, dan mulutnya komat-kamit melafalkan apa yang dibacanya. Sesekali dia membolak-balikkan satu lemabaran ke lembaran lain (belakangan aku tahu kalau ia sedang membandingkan tulisan Chairil yang sama dalam beberapa versi yang memang ditulis juga di buku itu). Sesekali kudapati juga senyum di wajahnya, setengah dan simpul.

Tetiba suasana syahdu itu pecah oleh tawa yang benar-benar keras. Tawanya Eben.

Aku tersentak dari —entah lamun entah bacaan—tenang, dan bukan kaget lalu marah, aku malah ikut tertawa. Begitu bahagia tawanya itu sampai langsung terasa ke anak-anak rambut di tengkukku sampai ke ujung jari-jariku.

Kai, Ben?”  tanyaku pada bocah yang sudah tergeletak di lantai dan terbahak-bahak.

“Ampun, Enciik, ini, aduuuh,” katanya dengan suara penuh kekaguman, kunikmati sekali melihat matanya menerawang langit-langit, mencari tata bahasa—dari lemari kosakata terbatasnya—untuk menyampaikan pemikiran, “sungguh menyebarkan!”

“Menyebalkan?”

“Enggak, encik, menyebarkan! Menyebarkan apa...,” mencari kata, dia tertawa lagi

menyebarkan perasaan.. percintaan, peperangan, benci, kehilangaan, ooh,” lanjutnya, masih menatap langit-langit.

“Aduuh, Eben sudah menemukan, puisi tentang cintaa,” lanjutnya sambil berdiri, dengan alunan roman, menggoda anak-anak yang sedari tadi juga sudah heboh penasaran dengan gelak tawanya.

“dan perjuangan cinta, sayaang,” sekarang dia menggoda Amelia yang sejak tadi tidak berhenti memotret kami dengan kameraku. Setelah Amelia kesal dan keluar rumah mencari objek foto lain, Eben mulai tenang dan duduk di sampingku, katanya, “siapa itu Chairil Anwar, encik? Dia binatang jalang?”

“Pujangga, Eben. Penulis puisi angkatan 1945, Eben”

“apa itu pujangga, encik?”

“Eben tahu kalau kita lagi nyanyi dalam bahasa Indonesia, terus Eben mengulang lagi apa yang kita nyanyikan, menyampaikannya ke Lokito dan Diana dalam bahasa Sangir supaya mereka paham?”

“Iya.”

“Pujangga itu seperti Eben itu, ia mengerti bahasa alam semesta, menyanyikan lagi apa yang dikatakan alam semesta, kepada manusia, dengan bahasanya, supaya dimengerti.”

“Bagus sekali bahasanya, ya, Encik,”

***

Sisa senja itu kami membaca beberapa puisi Chairil Anwar sambil Eben mencerna banyak kosakata baru yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Melek huruf melek makna, jagoan Nusantara.


Cerita Lainnya

Lihat Semua