Merunut Pikiran Bijak dari Bisul
Endah Astuti 24 September 2013
Sepertinya ada kebutuhan rakyat untuk berbicara kepada seseorang –siapapun-di temaram sinar matahari. Seorang nelayan di Lipang bangga memamerkan tangkapannya. Nelayan yang lebih beruntung mungkin bisa menangkap ikan merah sepanjang dua meter. Namun merasa cukup meski terjadi penurunan hasil adalah teknik bertahan hidup yang laazim di Lipang. Inilah jalur kehidupan sebuah pulau yang penuh kesulitan. Ancaman yang diperbesar saat kelangkaan pengadaan BBM dan harganya yang melangit. Saat pembuat kebijakan harus mengorbankan rakyat dengan pragmatis angka yang dibilang tidak tinggi katanya.
Lain lagi, tidak bisa “sebuah kebijakan” dipemaklumankan analogi ia coba samakan kisahnya seperti bisul. Penyakit bisul terjadi ketika bakteri atau subtansi lain yang umumnya berbahaya, merangsang sistem kekebalan yang tak merasakan ada bahaya. Sepintas masalah bisul kelihatannya sederhana. Dan bagi kebanyakan orang solusinya sederhana juga: memencet bisul sampai pecah. Tetapi mungkin tak sederhana itu. Orang – orang di antara kita, tak ingin membahas soal bisul di sekolah. Sekarang enam persen siswanya menderita bisul- dan jumlah mereka yang berpotensi bisul parah berlipat dua antara bulan Juli dan Agustus 2013.
Beginilah cara suatu bisul terjadi dalam kulit: suatu hari, tubuh terekspos pada protein dalam sesuatu yang kelihatan yang sangat tidak berbahaya-terlalu sering mengkonsumsi ikan, misalnya. Tetapi karena beberapa alasan yang tidak jelas, tubuh mengenali protein itu dan menemui kesulitan. Takkan ada gejala-gejala awal, namun tubuh mengingat ikan itu-dan merencanakan.
Ada, secara pasti, suatu komponen turun temurun terhadap bisul. Seorang anak dengan satu orang tua penderita bisul memiliki peluang baik mengembangkan kondisi itu. Walau demikian, peningkatan dalam bisul-bisul terlalu cepat untuk dijelaskan hanya dengan hipotesa higiene. Informasi hipotesa higiene tidak dapat mengubah banyak dalam waktu sedemikian singkat”. Artinya bisul itu tentu ada penyebab-penyebab lingkungan dan perilaku juga.
Penyebab lain yang mungkin: diet. Kurang asupan buah dan sayur segar, lebih banyak makanan tinggi protein hewani, lebih sedikit antioksidan dan asupan rendah beberapa mineral-ini semua ditunjukkan menjadi risiko.
Penggunaan air kurang bersih dapat juga menjadi penyebab meningkatnya tingkat bisul. Bakteri tertentu dalam subkutan berkaitan dengan lebih besar atau lebih sedikit menderita penyakit kulit-penyakit higiene (gigi gagal tubuh-angenetik, kutu rambut).
Tunggu, disinilan keunikan yang perlu dicermati. Semakin banyak yang kita ketahui tentang kehidupan sosial dan emosional, semakin kita menyadari bahwa mereka hidup dalam kelompok keluarga yang tertata dengan kekerabatannya lewat kesediaan air bersih permanen yang terbatas dan keevolusian alam yang berbeda. Jika secara acak kita perhatikan: Pertama, secara genetis tidaklah bertanggung jawab untuk terus menerus memerangi bisul toh selanjutnya mereka akan kebal dan survival dengan bakteri dan faktor resiko penyebab bisul. Kedua, setiap kali kita mencoba memisahkan kebiasaan dari habitatnya, efisiensi perilakunya terhadap adaptasi akan menghancurkan kebiasaannya yang menjadi sumber pangan bisa jadi kelaparan (misal: galakkan memerangi bisul dengan mogok makan ikan *parah), kehidupan kepulauannnya dan kearifan lokalnya yang memang bisul adalah efek negatif yang tidak mematikan. Jadi, menghormati dan bertugas mamastikan adanya keseimbangan itu sudah cukup, tidak perlu menyamaratakan pola hidup di pulau Lipang dengan kesehatan komunitas lain. Yakin “Kesehatan kawanan pulau Lipang lebih baik jika alam yang menentukan mana yang bisa bertahan dan mana yang tidak, bukan manusia dengan segala ego disiplin teorinya tanpa melihat bahwa bisul itu patut adanya”.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda