info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Membeo Perihal Guru dan Pendidikan, Turun Tangan Sajalah!

Endah Astuti 24 September 2013

 

Upaya memerangi masalah jumlah, kualitas dan kehadiran penggiat  pendidikan tak lain  guru di Indonesia dalam kurun dasawarsa terakhir ini membuahkan impact. Ada dua kontradiksi yang tidak dapat dielakkan, yakni positif dan negatif.

Positifnya, bertambahnya jumlah guru yang diperbantukan ataupun gerakan peduli pendidikan dengan menempatkan guru di daerah perdesaan dan revisi kebijakan tentang perhatian kesejahteraan guru  merupakan bukti, bahwa reputasi guru makin membaik di masyarakat. Perhatian masyarakat dan pemerintah terhadap profesi yang satu ini makin meningkat. Masyarakat berfikir, bahwa profesi yang satu ini, perlu diperhatikan.

Ada benarnya!

Mereka berpendapat bahwa mendapatkan pendidikan adalah hak dari semua warga negara, dan mencerdaskan kehidupan bangsa adalah menjadi janji kita bersama. Guru yang serta merta menjadi garda depan soal pendidikan dan kami yang terdidik mempunyai andil untuk turut iuran mengabdikan diri.

Sayang sekali  kenyataan di lapangan, bukan karena jumlah guru yang kurang, bukan kualitas yang rendah dan bukan kehadiran guru yang sering dijumpai alpa di sekolah-sekolah yang dinantikan berdirinya mereka di depan kelas. Toh pada dasarnya pemerataan penempatan guru yang masih menjadi PR (Pekerjaan Rumah) besar, gaji yang memang sudah menjanjikan dengan macam-macam tunjangannya, namun lebih pada kesiapan untuk kedepannya dan konsisten menjalankan profesinya di pulau terpencil, di daerah perbatasan, atau off road dengan infrastruktur yang jauh dari perhatian dan ketinggalan dari tempat yang jaraknya hanya beberapa mil dari para pembuat kebijakan.

Janji bisa jadi tinggal janji, manakala tidak ditepati. Kita harus sadar lembaga pendidikan dan dinas pendidikan bukanlah pengerah penyalur tenaga pendidik guru. Diperburuk lagi dengan kenyataan, bahwa kemampuan pemerintah untuk mengangkat seluruh lulusan guru yang jumlahnya di atas angka 70 ribu lebih per tahun, bukan persoalan mudah.

Jika mau diakui keberadaanya, harus ikut aturan! Aturan atau kerennya procedure, urusannya tidak simple.

Bahkan berbelit!

Tetapi bergantung dari sudut mana kita memandangnya. General, teknikal, profesional atau kapital. Sebagian kita mengatakan, bahwa mereka bukan tenaga-tenaga profesional. Banyak pula yang mengatakan, semua bentuk bisnis harus disama-ratakan.

Di mata pemerintah, mereka diperlakukan sama. Berpendidikan tinggi atau rendah. Mengikuti kursus atau tidak. Kompetensinya dipenuhi atau tidak, yang namanya pemerintah 'tidak peduli'! Syarat minimal yang ditetapkan, harus dipenuhi. Mereka harus menjawab kriteria yang telah menjadi kesepakatan pembuat kebijakan.

Tiga dasawarsa terakhir, perubahan profesi guru di negeri ini luar biasa. Jumlah profesional tanpa tanda jasa ini sudah mencapai lebih dari angka 700.000 orang. Sebuah jumlah yang lebih dari tujuh ratus kali penduduk negara terkecil di dunia, Vatikan.

Guru di Indonesia dikeluarkan oleh lembaga pendidikan yang jumlahnya sekitar 700 buah, lebih dari 25 provinsi. Dua puluh kali lipat yang ada di Australia.

Guru di negeri ini tersebar di seantero Nusantara dengan kompetensi handal, meski ada di peringkat termasuk paling bawah dalam daftar International Teacher Council.

Guru di Indonesia, telah lahir, besar, sekolah, beraktivitas di dunia nyata, bekerja dan mendidik, tanpa pengakuan formal dari pemerintah.

Padahal, sekolah yang mendirikan juga pemerintah. Kalaupun banyak yang dari swasta, itu juga atas restu pemerintah. Ujian, juga pemerintah lah penyelenggaranya. Tidak terkecuali sumber pengeluaran ijazahnya!

Guru lah yang berada di baris depan, hampir di setiap layanan pendidikan. Mulai dari mengenal huruf a, memberikan contoh salam, senyum dan sapa, mengenalkan siapa Tuhan kita, memberikan rasa nyaman saat siswa menangis, hingga memberikan nama saat masyarakat  tasyakuran atas kelahiran buah hatinya, serta mendamaikan wali murid yang  membawa parang ke sekolah lantaran tidak terima anaknya saling pukul dengan teman sepermainannya sampai mengusulkan beasiswa agar anak didiknya tetap sekolah dengan nasib kemiskinan siswanya yang tak terelakkan. Tidak jarang, di sekolah, siswa mengompol dan ingus nongol di muka lubang hidung, gurulah yang mengurusinya! Lucu, kadang! Tapi itulah realita!

Memang...amat tidak fair, manakala tenaga guru dibutuhkan, pengakuan mereka diabaikan. Bukan pengakuan dalam artian verbal. Namun secara yuridis, harus jelas! Jangan sampai guru hanya gampang dijaring lantaran hanya bagi mereka yang PNS (Pegawai Negeri Sipil), tanpa ada dasar hukum pemerataan penempatan yang jelas!

Oleh karenanya, pemberian payung hukum pada guru, bukan semata-mata untuk kepentingan finansial seperti perbaikan kesejahteraan PNS di atas. Bukan pula semata membuat guru jadi kaya raya. Kesetaraan siswa mendapatkan pendidikan dari guru profesional adalah kebutuhan. Itulah barangkali yang dikehendaki.

Sudah saatnya Pendidikan Indonesia bergerak! Bukan dalam bentuk anarkis! Namun saya setuju menyentuh aspek profesional intelektual!

Jadi, biarlah jika ada yang memilih aktif di pengabdian pendidikan kayak Pengajar Muda sebagai peminatannya; atau  CEO ber-entreprenueur CSR perihal pendidikan, karena bisnis adalah dunianya namun tak pernah lupa untuk turut memajukan ekspansi pendidikan; memasuki dunia konsultasi pendidikan karena hobinya memberikan layanan pendidikan psikologi perkembangan; atau jadi dosen karena memiliki jiwa pendidik; ada pula yang memasuki dunia training, karena lebih menyukai non formal education; ada pula yang merangkap sebagai writer lantaran akrab dengan hobi menulisnya dan dengan ceritanya adalah menasihati tanpa menggurui!

Semuanya menjadi kembang warna-warni, menghiasi kecantikan profesi humanistik ini dan mengingatkan bahwa kita semua yang terdidik memiliki janji untuk mendidik.

Membendung aspirasi mereka sebagai warga negara untuk mendapatkan pendidikan demi mencerdaskan bangsa, sama saja seperti menjajah Palestina, yang berhak merdeka, di depan mata dunia!


Cerita Lainnya

Lihat Semua